My Article

Prinsip Already But Not Yet

Prinsip Already But Not Yet

Oleh : Dr. Rio Christiawan dan Figgo Secenko*)

DR. Rio Christiawan

Kebutuhan pokok manusia dibedakan menjadi tiga yakni, sandang, pangan dan papan. Kebutuhan pokok ini seringkali disebut sebagai kebutuhan primer, artinya kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh manusia. Dari kebutuhan pokok tersebut kebutuan papan (perumahan) yang paling sulit dipenuhi. Baru-baru ini, lembaga survei Rumah 123 merilis hasil surveinya yang juga dimuat di sejumlah koran nasional, dalam survei tersebut menyatakan bahwa 45 persen dari seluruh penduduk di Jawa dan Bali termasuk Jabodetabek tidak mampu membeli perumahan karena faktor harga dan sisanya tinggal di rumah warisan .

Warga negara yang mampu membeli rumah adalah hanya sebagian kecil saja, hal ini disebabkan karena harga perumahan baik landed house maupun apartemen semakin tidak terjangkau, kenaikan pendapatan masyarakat tidak mampu mengimbangi kenaikan harga perumahan sehingga memiliki rumah semakin jauh dari angan masyarakat.

Pengembang harus dipersepsikan sebagai mitra strategis pemerintah dalam penyediaan tempat tinggal layak huni untuk lingkungan sosialisasi dan tumbuh kembang. Mengacu pada konstitusi Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin , bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Selanjutnya terkait kewajiban negara dijabarkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman, dijabarkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan Kawasan permukiman yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.

Figgo Secenko

Saat ini harus dilakukan reorientasi dalam hubungan kemitraan strategis antara pengembang dan pemerintah dengan kembali mengacu pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman yang berorientasi pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Mengacu pada Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman peran pemerintah juga sebagai Pembina para pengembang, sehingga dalam perannya sebagai pembina pemerintah harus mencegah dan mengantisipasi masuknya unsur politik praktis dalam persoalan penyediaan tempat tinggal layak huni.

Dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah hanya dapat menyediakan 200.000 unit tempat tinggal layak huni melalui perumnas, angka tersebut termasuk penyediaan keperluan rumah dinas pegawai negeri. Jika dibandingkan dengan pengembang di seluruh Indonesia pada periode yang sama, pengembang telah membangun 2 juta unit tempat tinggal.

Dengan melihat fakta diatas artinya pengembang harus diberikan apresiasi sebagai mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan melalui penyediaan tempat tinggal yang layak huni sehingga kemitraan strategis ini akan melahirkan mutualisme. Melahirkan mutualisme artinya bagi pemerintah pengembang dapat membantu pemerintah memenuhi amanat konstitusi, sebaliknya bagi pengembang pemerintah dapat mewujudkan kepastian berinvestasi dan bagi rakyat pada umumnya dapat tersedia perumahan dan tempat tinggal yang layak huni sesuai idaman setiap keluarga sebagai sarana tumbuh kembang.

Memahami Already But Not Yet

Setelah dilakukan reorientasi hubungan kemitraan strategis antara pengembang dan pemerintah maka pada tahap berikutnya perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat, mengingat saat ini masih banyak masyarakat yang kurang bijak dan kurang kritis dalam menyikapi persoalan yang terjadi pada setiap pengembang. Masih banyak dijumpai masyarakat mengirim hoak terkait pengembang, atau mengirim pesan/video yang tidak utuh terkait pengembang atau proses pembangunan rumah dan diakhiri dengan menyebarkan propaganda atau hasutan sehingga timbul konflik antara pengembang dan masyarakat.

Perlu dihindari tindakan-tindakan diatas karena justru akan membuat penyediaan perumahan layak huni sebagai perbaikan dari kondisi hidup yang berkelanjutan sebagaimana diakui secara internasional dalam Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya akan terganggu. Konvensi tersebut merupakan turunan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia. Sehingga barang siapa mengirim hoak terkait pengembang, atau mengirim pesan /video yang tidak utuh terkait pengembang atau proses pembangunan rumah dan diakhiri dengan menyebarkan propaganda atau hasutan sesungguhnya telah melanggar hukum dan hak orang lain.

Masyarakat perlu diedukasi konsep already but not yet sehingga tidak mudah terpancing oleh provokasi dan hoak yang beredar. Already but not yet artinya pengembang terus melakukan pembangunan perumahan sesuai yang dijanjikan secara bertahap, tetapi tidak langsung selesai sebagaimana dilihat pada gambar maupun iklan. Dalam proses menyelesaikan kewajibannya tersebut tentu saja pengembang memiliki banyak stake holder yang mungkin saja bermasalah dengan pengembang, tetapi hal ini tidak ada kaitan langsung dengan hubungan pengembang dan konsumen. Hak konsumen adalah menerima unit tempat tinggal sebagaimana diperjanjikan sehingga jikapun ada isu terkait stake holder lain, hal tersebut merupakan proses komersial yang lazim terjadi pada setiap perusahaan sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

Rumah Subsidi sebagai Solusi?

Pemerintah Indonesia memiliki 2 jenis perumahan bersubsidi yaitu Rumah Umum dan Rumah Susun Umum, walaupun bentuk kedua jenis rumah bersubsidi tersebut berbeda namun tujuannya sama yaitu untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam menentukan masyarakat mana yang dimaksud dengan MBR, maka ditetapkan batasan penghasilan masyarakat yang berbeda-beda di setiap provinsinya dan biasanya disesuaikan dengan pendapatan setiap individu di masing-masing daerah. Mengenai batasan ini diatur melalui Keputusan Menteri PUPR yang diperbarui setiap tahunnya, sedangkan untuk tahun 2020 peraturan yang berlaku adalah Keputusan Menteri PUPR Nomor 242/kpts/m/2020.

Berbeda dengan Indonesia, negara tetangga kita yaitu Singapura menunjukan program rumah bersubsidinya untuk keseluruhan masyarakatnya dan tidak tergantung pada suatu golongan saja. Hal ini bertujuan supaya perumahan dapat tersedia dan terjangkau bagi setiap warga negaranya, mengingat keterbatasan lahan yang ada di Singapura yang menyebabkan harga tanah yang semakin tinggi. Untungnya pemerintah singapura melalui penerapan peraturan Land Acquisition Act 1966, memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melakukan pembelian ulang tanah-tanah milik masyarakat dengan harga yang murah.

Hasil dari kebijakan ini adalah pemerintah Singapura pada tahun 1985 menguasai 76,2% tanah di Singapura dibandingkan dengan 31% pada tahun 1949. Tanah yang dimiliki tersebut kemudian dialih fungsikan ke berbagai sektor pengembangan oleh pemerintah, salah satunya adalah untuk perumahan yang dibangun dan dikembangkan oleh badan House Development Board (HDB). Pemerintah Singapura, melalui Housing and Development Act 1959, mendirikan badan perumahan HDB guna menyediakan perumahan yang berkualitas dan terjangkau bagi penduduk singapura serta membentuk komunitas masyarakat yang terjamin pendapatanya.

Perumahan bersubsidi yang tersedia di Singapura berbentuk rumah bertingkat atau sering disebut dengan HDB Flats, program pemerintah yang dibangung dan dikendalikan badan HDB dapat dikatakan berhasil bahkan menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Masyarakat yang tinggal di HDB Flat mencapai 78.6 persen dari total populasi di Singapura dan dari jumlah tersebut 90 persen masyarakatnya memiliki hak milik atas unit HDB Flat yang ditempatinya.

Keberhasilan badan HDB tidak terlepas dari kepemilikan tanah di Singapura yang hampir seluruhnya dimiliki oleh pemerintah, hal ini mendorong pengembangan dan perencanaan pembangunan rumah bersubsidi semakin mudah dilaksanakan sepenuhnya oleh badan pemerintah. Selain itu wewenang dari HDB sangatlah luas, mulai dari pembuatan peraturan penghuni, penentuan syarat penjualan dan pembelian unit, dan sampai proses pengembangan kembali daerah perumahan.

Sebenarnya apabila dilihat dari segi kebijakan rumah susun umum (public flats) di Indonesia yaitu UU No.20 Tahun 2011. Kebijakan ini telah mengatur mengatur segala ketentuan mengenai awal proses pembangunan, pengelolaan, hingga penjualan unit kepada masyarakat, hal ini hampir serupa dengan kebijakan yang berlaku di Singapura. Namun hal yang membedakan adalah pada lembaga pelaksana, sebenarnya amanat pembentukan lembaga pelaksana pembangunan ini telah dituliskan dalam Pasal 72 Ayat (1) UU No.20 Tahun 2011 akan tetapi hingga saat ini lembaga tersebut belum kunjung terbentuk. Sehingga tugas dan tanggung jawab lembaga tersebut masih dilaksanakan oleh Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Perumahan.

Sudah lebih dari 8 tahun semenjak peraturan tersebut diundangkan oleh pemerintah, namun hingga saat ini masih belum dibentuk lembaga perumahan rakyat yang mandiri dan efektif sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang. Pemerintah perlu untuk segera membentuk badan pelaksana ini, supaya dapat segera memfokuskan perencanaan serta pengawasan terhadap proses pembangunan dan penggunaan rumah bersubsidi agar mencapai target.

*)Kedua Penulis adalah Pengamat Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved