My Article

Pro dan Kontra Dana Wakaf untuk Pembangunan

Pro dan Kontra Dana Wakaf untuk Pembangunan

Oleh: Dr. Kautsar Riza Salman, SE., Kaprodi D3 STIE Perbanas Surabaya

Dr. Kautsar R. Salman,

Salah satu isu yang menarik dan sempat menjadi “trending topic” di media elektronik dan media sosial adalah seputar dana wakaf untuk pembangunan, tarik ulur antara yang pro dan kontra. Namun sebelum masuk ke ujung pro dan kontra, perlu diketahui definisi, dasar hukum, dan unsur-unsur dari wakaf terlebih dahulu. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Jika dimanfaatkan selamanya maka merujuk pada istilah wakaf permanen, sedangkan jika dimanfaatkan selama jangka waktu tertentu maka merujuk pada istilah wakaf temporer.

Dasar Hukum Wakaf

Kebolehan wakaf, diatur di dalam Surat Ali Imran ayat 92, yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja harta yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” Ayat ini merupakan dasar hukum dari wakaf. Berdasarkan ayat ini, orang yang berwakaf dengan sebagian dari harta yang dicintainya, ia akan mencapai derajat kebaikan yang sempurna.

Ketika ayat ini turun, sahabat Nabi yang bernama Abu Thalhah, bergegas menemui Rasulullah dan me-wakaf-kan harta yang paling dicintainya yaitu tanah bairuha’. Tanah bairuha’ berupa kebun kurma yang terletak di depan masjid Nabawi yang dikelola dan dikembangkan, sehingga masuk dalam kategori wakaf produktif.

Wakaf Temporer dalam Standar Akuntansi Wakaf

Salah satu poin yang menarik dari standar akuntansi wakaf (PSAK 112) yaitu adanya istilah wakaf temporer. Wakaf yang selama ini kita kenal berupa tanah, masjid, dan mushaf, serta masih sebatas pada wakaf permanen. Berbeda dengan wakaf permanen, wakaf temporer ini mensyaratkan adanya pengembalian kembali (return) ke pihak yang menyerahkan (wakif) setelah jangka waktu tertentu yang diperjanjikan habis, dan hasilnya dapat disalurkan kepada penerima manfaat wakaf (mauquf alaih).

Berdasarkan PSAK 112, aset wakaf temporer diakui sebagai liabilitas oleh pengelola wakaf (nazhir) karena nazhir wajib mengembalikan ke wakif di masa mendatang. Hasil dari pengelolaan dan pengembangan wakaf temporer diakui sebagai penghasilan bagi nazhir dan dialokasikan kepada mauquf alaih.

Unsur-unsur dari Wakaf

Unsur dari wakaf: wakif, nazhir, aset wakaf, ikrar wakaf, dan mauquf alaih. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf.

Nazhir dapat menerima wakaf produktif dan wakaf non produktif. Hasil pengelolaan dan pengembangan diakui oleh nazhir sebagai tambahan aset wakaf. Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa nazhir mempunyai tugas: (1) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, (2) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, (3) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, serta (4) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Aset wakaf sebagaimana dalam UU 41 Tahun 2004, tidak terbatas hanya pada aset tidak bergerak seperti tanah makam dan masjid, serta aset tidak bergerak lainnya, tetapi juga mencakup aset bergerak seperti wakaf tunai, saham, sukuk, dan aset bergerak lainnya. Aset wakaf harus dikelola dan dikembangkan oleh nazhir sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Aset wakaf tidak boleh dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan melalui pengalihan hak lainnya.

Pandangan yang Pro

Menyikapi dana wakaf untuk pembangunan, terdapat dua pandangan yang mengemuka, dimana salah satu satunya adalah setuju, bahwa dana wakaf boleh dan sah-sah saja digunakan untuk pembangunan. Pandangan dipelopori oleh intelektual BWI, BI, dan Pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan. Pandangan ini berargumen bahwa tidak terdapat dalil yang secara tegas melarang penggunaan dana wakaf untuk pembangunan.

Wakaf tunai menurut pandangan ya pro ini, tidak terbatas pada wakaf permanen saja, bahkan juga boleh untuk wakaf temporer sebagaimana telah diatur pula dalam standar akuntansi wakaf (PSAK 112). Sehingga BWI menginisiasi terbitnya cash wakaf link sukuk (CWLS) sebagai salah satu instrument wakaf yang bersifat temporer. Dalam CWLS ini terdapat beberapa pihak diantaranya: wakif, nazhir, dan Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). LKS-PWU diantaranya adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah, Bank BTN Syariah dan lainnya.

Selain itu, pandangan yang setuju juga menguatkan karena adanya jaminan jika investasi tersebut mengalami kerugian. Dalam hal ini, pemerintah yang menjamin kerugian tersebut sehingga tugas nazhir untuk menjaga aset wakaf tidak berkurang dan rusak adalah tercapai. Sebagai penguat juga, dalam instrument wakaf CWLS ini menyediakan kupon sebesar 5,5% per tahun yang akan diterima atau diperoleh nazhir dari LKS-PWU serta dapat dialokasikan kepada mauquf alaih sesuai peruntukannya.

Pandangan yang Kontra

Pandangan yang berseberangan dipelopori oleh ulama yang ada di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tentu saja para cendikiawan muslim yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pendapat ini berargumen dengan isi Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi: “Fakir-miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.” Tugas negara adalah memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, sehingga bila dana wakaf digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan semacam jalan tol dan proyek jangka panjang lainnya, maka tentu saja tugas negara menjadi terbengkalai dalam mengurus fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Selain itu, yang lebih mendesak dari tugas BWI adalah menyelesaikan persoalan banyak tanah dan aset wakaf yang belum bersertifikat. Tercatat, tanah wakaf di Indonesia yang belum bersertifikat sebesar 40% baik tanah wakaf yang lama melalui proses yang turun menurun maupun tanah wakaf yang baru. Dengan fakta ini, BWI seharusnya melakukan program percepatan sertifikasi tanah wakaf dalam rangka mengamankan aset wakaf tersebut, dibandingkan dengan program wakaf tunai semacam CWLS.

Pendapat kedua ini hakikatnya juga mengakui bahwa tidak ada yang salah atau dilanggar dari penerapan wakaf tunai temporer ini. Hanya saja, perlu kehati-hatian dalam penerapannya agar aset wakaf tidak hilang karena menjaga aset wakaf merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari nazhir. Tugas nazhir yang pokok adalah mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, serta mengawasi dan melindungi harta wakaf. Sesuai dengan tugas itu, jika aset wakaf diinvestasikan atau digunakan untuk dana pembangunan maka aset wakaf bisa hilang atau setidaknya mengalami kerugian.

Penutup

Bila melihat secara teliti kedua pandangan tersebut, penulis dapat meringkas dua poin penting sebagai berikut: (1) dana wakaf temporer boleh diperuntukkan untuk pembangunan, namun dengan ketentuan yang ketat, diantaranya harus ada jaminan dari kerugian dan jaminan untuk mengembalikan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati; dan (2) pendapat kedua harus dipandang sebagai sebuah masukan atau kritikan yang membangun agar nazhir menjaga harta wakaf supaya tidak hilang dan melakukan program sertifikasi lahan wakaf. Alangkah eloknya jika kedua poin ini bisa diterapkan oleh semua pihak. Oleh karenanya, penulis berdoa agar pembaca sekalian dapat melihat masalah ini secara jernih dan berupaya menerapkan kedua poin ini. Semoga bermanfaat.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved