My Article

Seputar Gadai Emas dalam Sudut Pandang Muamalah

Oleh Editor
Seputar Gadai Emas dalam Sudut Pandang Muamalah

Oleh: Dr. Kautsar Riza Salman, SE., CPA, Dosen Universitas Hayam Wuruk (UHW) Perbanas Surabaya, Penulis Buku Akuntansi Syariah

Dr. Kautsar R. Salman,

Pendahuluan

Menjelang dan setelah hari raya biasanya ramai di tengah masyarakat transaksi yang berkaitan dengan gadai emas dan jual beli emas. Masyarakat menggadaikan emas di toko emas, bank syariah, atau pegadaian syariah yang memberikan jasa gadai emas. Demikian pula, masyarakat juga melakukan tukar menukar emas (perhiasan) lama yang dimilikinya dengan emas (perhiasan) model terbaru.

Artikel ini akan mengulas transaksi seputar gadai dan jual beli emas yang benar menurut pandangan fiqh muamalah. Berikut ulasannya.

Ketentuan syariah

Ketentuan mengenai gadai disebutkan sebagai bagian dari transaksi utang piutang. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi “Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang …” Disebutkan pula dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Aisyah “Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”

Kepemilikan barang gadai tetap berada di tangan pemilik aset (rahin), bukan pihak yang menerima barang gadai (murtahin). Pihak pemilik aset juga lah yang tetap menerima manfaat dan menanggung risikonya. Hal ini didukung oleh hadits Ibnu Majah dan ad-Daruqutni dari Abu Hurairah, dimana disebutkan: “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.“

Namun, bila penerima gadai (murtahin)memanfaatkan barang gadai maka pihak murtahin lah yang harus menanggung biayanya, termasuk biaya pemeliharaan aset. Standar acuannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak para ahlul hadits kecuali Muslim dan an-Nasai, dimana Rasulullah bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.“

Bolehnya akad gadai ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan) dari para ulama. Senada juga dengan kaidah fiqh, dimana dinyatakan: “pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Konsep Gadai

Gadai ini dibahasakan dengan ‘rahn’ yang artinya menggadaikan barang yang dimiliknya sebagai bagian dari transaksi utang piutang atau pinjam meminjam. Masyarakat yang menggadaikan emasnya disebut dengan ‘rahin’, sedangkan lembaga pegadaian atau lembaga keuangan syariah (LKS) yang menerima barang gadai dinamakan dengan ‘murtahin’. Barang yang digadaikan diistilahkan dengan ‘marhun’.

Aturan mengenai ‘rahn’ diatur dalam Fatwa DSN MUI Nomor 25 tahun 2002 dan ‘rahn emas’ diatur dalam Fatwa DSN MUI Nomor 26 Tahun 2002.

Prinsip operasionalnya dalam Gadai

Pertama, penerima barang gadai (murtahin) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang gadai) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

Kelima, penjualan barang gadai (marhun) dapat dilakukan dalam kondisi berikut: (a) apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya; (b) apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah; (c) hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; dan (d) kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

Prinsip operasional dalam Gadai Emas

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam kegiatan operasional gadai emas dan seharusnya menjadi pedoman baik bagi rahin dan terkhusus bagi murtahin, dalam hal ini adalah pihak pegadaian syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.

Pertama, rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn. Dalam praktiknya, gadai emas tidak hanya menggunakan akad rahn saja, tetapi juga menggunakan akad ijarah untuk jasa penyimpanan emas. Hal ini diistilahkan dengan bahasa “hybrid contract”, karena mengandung lebih dari satu akad, dalam hal ini akad rahn dan ijarah.

Kedua, ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). Hal ini sesuai dengan prinsip operasional rahn yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa manfaat dan biaya masih ditanggung oleh pemilik barang gadai.

Ketiga, besarnya ongkos didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Poin ketiga ini harus menjadi perhatian serius dari pihak lembaga keuangan syariah. Ongkos yang dimaksudkan disini termasuk biaya administrasi dan biaya penyimpanan emas. Biaya administrasi dan penyimpanan emas tidak boleh didasarkan pada jumlah pinjaman. Sebab jika dikaitkan dengan jumlah pinjaman, maka biaya administrasi dan penyimpanan berubah menjadi bunga yang diharamkan oleh prinsip syariah.

Keempat, biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah. Meskipun dalam pengenaan biaya penyimpanan menggunakan akad ijarah (jasa), tetap tidak diperkenankan didasarkan pada jumlah pinjaman. Pihak lembaga syariah dalam membebankan biaya penyimpanan dapat didasarkan pada biaya riil yang dikeluarkan dalam penyewaan emas tersebut menyangkut safe deposit box.

Penutup

Masyarakat dapat memanfaatkan gadai emas karena gadai emas hukumnya diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan umum dan khusus yang terdapat dalam Fatwa DSN MUI Nomor 25 dan 26 Tahun 2002 tentang gadai dan gadai emas. Terkhusus saran untuk lembaga pegadaian dan lembaga keuangan syariah agar menerapkan ketentuan yang diatur dalam kedua fatwa tersebut agar tidak terjatuh pada praktik riba yang diharamkan. Demikian dan semoga bermanfaat.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved