My Article

Siapakah Pemenang di Masa Pandemi?

Siapakah Pemenang di Masa Pandemi?

Oleh: Dr. Wendra – Trainer/Konsultan PPM Manajemen, Pengajar Tetap di Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Dr. Wendra

Pandemi covid-19 merupakan pukulan terhadap dunia bisnis. Banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Beberapa perusahaan raksasa seperti NPC internasional (pemegang waralaba Pizza Hut dan Wendy’s asal AS), Muji (perusahaan dekorasi rumah tangga, alat tulis, & pakaian asal Jepang), Brooks Brothers (ritel pakaian pria asal AS), J.Crew (perusahaan retail asal AS), Diamond Offshore (perusahaan minyak asal AS), dan Latam Airlines Group (maskapai asal Chile, terbesar di Amerika Latin) saat ini dalam proses pengajuan kepailitan sebagai akibat kelesuan usaha.

Perusahaan rintisan (startup) yang selama ini digadang-gadangkan sebagai mesin perekonomian masa depan, juga tidak terlepas dari kesulitan. Sebut lima diantaranya, Sorabel, Eatsy, Stoqo, Hooq, dan Airy Rooms yang telah menurtup layanan di Indonesia akibat pandemi covid-19. Sejumlah perusahaan di tanah air pun terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun penutupan usaha.

Di samping adanya perusahaan yang mengalami penurunan bisnis, terdapat juga perusahaan-perusahan yang mengalami rebirth atau kelahiran kembali. Perusahaan yang mengalami rebirth adalah perusahaan yang sudah mempunyai model bisnis yang teruji, namun karena tuntutan perubahan lingkungan maka mereka secara cepat mampu merubah model bisnis dan beradaptasi. Sebut saja Martha Tilaar, perusahaan yang dikenal sebagai produsen kosmetik ini mengubah model bisnisnya dengan memproduksi hand sanitizer. PT Paragon Technology and Innovation, perusahaan induk Wardah, melakukan ekspansi melalui penjualan secara online, bukan dengan memaksakan untuk membuka outlet.

PPM Manajemen, lembaga yang bergerak dibidang executive training, konsultansi dan Sekolah Tinggi Manajemen PPM S1/S2, juga bergerak cepat dengan mengubah layanan manajemennya dari sistem offline ke sistem online learning & consulting. Bahkan hasil survey global yang dilakukan oleh Aruba – Hewlett-Packard Enterprise menunjukkan bahwa saat ini banyak perusahaaan berinvestasi dalam jaringan berbasis cloud, analytic and assurance, edge computing, dan teknologi jaringan artificial intelligence guna mendukung kebutuhan baru mereka. Temuan tersebut menandakan bahwa banyak perusahaan mulai bergerak ke arah pemanfaatan teknologi tinggi guna menjawab kebutuhan saat ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa perusahaan yang secara lincah (agile) mampu mengubah model bisnisnya menjadi pemenang dalam menghadapi pandemi. Dengan kata lain, perusahaan yang mampu bertahan adalah perusahaan yang memiliki “agility”. Apa itu Agility?

Dave Ulrich, Professor dari Michigan Ross School of Business, sekaligus pakar human capital global mendefinisikan agility sebagai kemampuan untuk membentuk masa depan, mengantisipasi kesempatan, beradaptasi secara cepat, dan selalu belajar. Sedangkan Holbeche dalam bukunya The Agile Organization: How to Build an Engaged, Innovative, and Resilient Business menjelaskan agility sebagai kapasitas organisasi untuk merespons, beradaptasi dengan cepat, dan berkembang dalam perubahan lingkungan. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa agility dibangun di atas dua kaki:

Secara sederhana, bisa dirumuskan bahwa:

AGILITY = SENSITIVITY + FLEXIBILITY

Berdasarkan tingkat sensitivitas dan fleksibilitas yang dimiliki, maka perusahaan-perusahaan bisa dikategorikan ke dalam salah satu dari empat kuadran pada gambar 1:

Perusahaan dapat dikatakan masuk ke dalam kuadran Panik jika mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam melihat perubahan, melihat peluang, dan ancaman pada lingkungan bisnis dan industri. Tapi mereka loyo dalam beradaptasi, belajar, dan rekonfigurasi sumber daya yang dimilikinya. Ketika lingkungan bisnis dan industri sudah berubah, perusahaan hanya sekedar panik. Kemungkinan besar model bisnis mereka saat ini sudah tidak relevan. Strategi atau cara-cara baru untuk menjawab perubahan lingkungan tersebut belum mampu dikelola dan dikembangkan.

Sebaliknya, ada perusahaan yang sebenarnya memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengadaptasi, belajar terus menerus, dan rekonfigurasi sumber daya. Namun mereka belum didukung oleh kemampuan untuk melihat perubahan lingkungan dan industri, mendeteksi peluang dan mengantisipasi ancaman. Perusahaan yang seperti ini bisa digolongkan sebagai perusahaan yang bergerak Tanpa Arah. Sensitivitas adalah pedoman ke arah mana perusahaan harusnya bergerak. Hal inilah yang belum dimiliki oleh mereka bahwa proses belajar dan rekonfigurasi sumber daya seolah-olah dilakukan tanpa arah yang jelas dan belum sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Sedangkan perusahaan yang memiliki sensitivitas dan fleksibilitas yang rendah, bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang Statis. Perusahaan yang statis, kecil kemungkinannya mampu bertahan di lingkungan yang berubah. Tidak ada pemimpin bisnis yang menginginkan perusahaannya berada di kuadran ini.

Tentu saja perusahaan berharap memiliki sensitivitas dan fleksibilitas yang tinggi. Perusahaan seperti inilah yang disebut Agile. Perusahaan akan selalu mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Mereka mampu beradaptasi, mengubah model bisnis, dan melakukan pivoting usaha secara luwes.

Pemimpin bisnis bisa menggunakan asesmen sederhana, tapi powerful seperti gambar 2 untuk menilai pada kuadran mana perusahaan mereka berada:

Nilai hasil asesmen tersebut kemudian dirata-ratakan. Adapun makna nilai disajikan pada tabel berikut:

Jika perusahaan masih tergolong, Statis, Panik, ataupun Tanpa Arah, maka agenda utama dari pemimpin perusahaan adalah mengembangkan sensitivitas dan fleksibilitas perusahaan mereka hingga mencapai kuadran agile. Karena inilah yang akan menjamin keberlangsungan hidup perusahaan di lingkungan yang terus menerus mengalami perubahan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved