My Article

Taksonomi Hijau Indonesia dan Peran Perbankan dalam Mendukung Green Economy

Oleh Editor
Taksonomi Hijau Indonesia dan Peran Perbankan dalam Mendukung Green Economy

Oleh: Lisa Fitriyanti Akbar, Konsultan Lembaga Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

Lisa Fitriyanti Akbar, Konsultan Lembaga Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

Pada 20 Januari 2022 lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia yang akan digunakan sebagai panduan dalam mendukung pengembangan ekonomi hijau (green economy) di Indonesia. Terbitnya dokummen ini perlu diapresiasi mengingat Indonesia menjadi negara kedua di ASEAN setelah Malaysia yang mengeluarkan dokumen taksonomi hijau.

Dokumen ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk memenuhi target Paris Agreement. Juga, sejalan dengan penegasan Presiden RI atas komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim yang disampaikan pada UN Climate Change Conference ke-26 (CCP26). Isi padoman ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pedoman yang telah disusun di beberapa negara lain seperti EU Green Taxonomy dan China Green Catalogue.

Dokumen ini akan digunakan sebagai acuan kementerian dan lembaga dalam pemberian insentif dan disinsentif. Dalam dokumen ini terdapat 2.733 sektor dan subsektor yang telah dikaji. Sebanyak 919 di antaranya dapat dipetakan pada subsektor/kelompok/kegiatan usaha serta terklarifikasi mengenai ambang batasnya oleh kementerian teknis terkait.

Dari 919 subsektor ini, terdapat 904 yang belum dapat dikategorikan secara langsung sebagai sektor hijau (terdapat prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu), sementara 15 lainnya dapat masuk secara langsung sebagai kategori hijau.

Ada 3 klasifikasi kriteria pada taksonomi hijau. Pertama, ‘hijau’ yaitu ‘do no significant harm apply minimum safeguard provide positive impact to the environment and align with the environmental objective of the taxonomy’. Kedua, ‘kuning’ yang berarti ‘do no significant harm’. Ketiga, ‘merah’ yang berarti ‘harmful activities’.

Taksonomi Hijau Indonesia tentu saja merupakan living document. Dokumen ini terbuka untuk dilakukan penyesuaian, baik terkait pengembangan klasifikasi maupun masuknya kegiatan usaha baru. Dokumen ini diharapkan dapat mendorong mempercepat implementasi keuangan berkelanjutan di Indonesia.

Peran Perbankan

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peran perbankan dalam mendukung perkembangan green economy? Para pelaku bisnis dewasa ini dituntut untuk melakukan transformasi bisnis menuju green economy melalui penggunaan clean energy yang ramah lingkungan.

Upaya ini tentu saja membutuhkan investasi yang cukup besar. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan, sampai tahun 2035 kebutuhan dana investasi untuk clean energy mencapai sekitar USD 2,4 triliun per tahun. Di samping itu, sampai 2050 terdapat kebutuhan dana sekitar USD 1,6 triliun dan USD 3,8 triliun per tahun untuk investasi dalam sistem pasokan energi.

Mengingat kebutuhan investasi yang signifikan, sektor keuangan diharapkan memainkan peran penting, sebagai tulang punggung ekonomi riil, dalam menyediakan sumber daya keuangan. Sektor perbankan tidak hanya memenuhi kebutuhan keuangan sektor usaha, tetapi juga menyalurkan kredit ke rumah tangga dan individu.

Lebih dari itu, sektor perbankan juga memainkan peran penting bagi negara dalam mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan finansialnya terhadap risiko iklim. Bank juga dapat membantu mengurangi risiko perubahan iklim, mengurangi dampak risiko iklim, dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Peran ini dapat diwujudkan dengan mengalokasikan pembiayaan ke sektor yang peka terhadap iklim.

Perubahan iklim memengaruhi sistem keuangan karena dampaknya yang luas, baik dari aspek sektor dan geografi. Perubahan iklim juga menimbulkan adanya risiko yang membahayakan jika tidak dimitigasi. Namun, risiko terkait iklim belum sepenuhnya dinilai dan diperhitungkan dalam penilaian aset saat ini (NGFS 2019).

Peran bank dalam membiayai transisi ke ekonomi hijau adalah untuk membuka investasi swasta, menjembatani penawaran dan permintaan dengan mempertimbangkan seluruh spektrum risiko dan untuk mengevaluasi proyek dari perspektif ekonomi dan lingkungan (EBF 2017).

Meskipun beberapa bank di berbagai belahan dunia telah menunjukkan kemampuan mereka dalam mendanai proyek hijau atau iklim, namun portofolio hijau sebagian besar bank masih sangat rendah.

International Finance Corporation (IFC) memperkirakan total pinjaman hijau dan kredit bank ke sektor swasta di negara berkembang pada tahun 2016 sekitar USD 1,5 triliun. Jumlah ini hanya mencapai sekitar 7% dari total klaim pada sektor swasta di pasar negara berkembang (IFC 2018).

Portofolio ini masih rendah dihasilkan karena kurangnya kerangka peraturan dan pengawasan. Rendahnya portofolio ini juga disebabkan kegagalan untuk mengintegrasikan risiko lingkungan dan perubahan iklim ke dalam strategi dan sistem manajemen risiko bank. Selain itu, juga ada hambatan di tingkat sektoral dan kelembagaan (Mazzucato dan Semieniuk 2018).

Lebih Hijau

Menanggapi kurangnya kerangka peraturan dan pengawasan, semakin banyak bank sentral dan regulator di seluruh dunia melakukan perubahan. Bank sentral dan regulator sudah menyadari peran pentingnya dalam mengatasi risiko perubahan iklim dan lingkungan yang dihadapi oleh sektor perbankan dan keuangan (Volz, 2017).

Misalnya, sekelompok bank sentral dan pengawas meluncurkan Networking for Greening Financial System (NGFS) pada tahun 2017. NGFS berkontribusi pada analisis dan pengelolaan risiko terkait iklim dan lingkungan di sektor keuangan. NGFS juga berkontribusi untuk memobilisasi pembiayaan arus utama untuk mendukung transisi menuju ekonomi berkelanjutan.

Secara paralel, lebih banyak bank, terutama bank komersial swasta, mulai menghijaukan operasi mereka. Bank-bank tersebut mengintegrasikan risiko lingkungan dan perubahan iklim ke dalam strategi dan sistem manajemen risikonya. Mereka juga meluncurkan produk keuangan hijau untuk memperluas cakrawala bisnis mereka.

Ke depan, semakin hari semakin banyak bank yang berkeinginan menjadi lebih hijau dan mulai meluncurkan produk keuangan hijau. Ini tidak hanya untuk meningkatkan nilai ekonominya, tetapi juga untuk menjadi good corporate citizens.

Produk keuangan hijau mendorong bank untuk mematuhi peraturan atau pedoman pemerintah, meningkatkan reputasi perusahaan, dan menangkap peluang bisnis yang muncul. Ukuran pasar hijau terus tumbuh dan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi.

Bank yang dapat memantapkan diri sebagai penggerak awal dan pemimpin pasar lebih mungkin untuk meningkatkan reputasi mereka yang pada gilirannya dapat membantu menarik klien baru. Selanjutnya, dari perspektif strategis, perubahan perilaku pembelian konsumen bisa dilakukan dengan mendorong mereka untuk memaksimalkan penggunaan produk keuangan hijau adalah yang paling diinginkan.

Untuk itu, bank harus mengembangkan standar perlindungan lingkungan dan sosial yang kuat, mengacu pada peraturan atau pedoman yang berlaku. Standar ini harus diterapkan dalam mengelola produk keuangan hijau mereka.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved