My Article

Teori Organisasi dan Work from Home dalam Kacamata Post-Modernisme

Teori Organisasi dan Work from Home dalam Kacamata Post-Modernisme

Oleh: Bagus Adi Luthfi, Talent Analytics Specialist Lembaga Management FEB UI

Bagus Adi Luthfi

Dalam momentum work from home (WFH) saat ini, perasaan kita mungkin sama dengan apa yang telah dirasakan oleh Merleau Ponty. Ia pernah berkisah dalam bukunya yang berjudul phenomenology of perception bagaimana ia menikmati kesendiriannya di sebuah desa yang jauh dari rumahnya di Paris, sampai dia menerima berita penting dari Paris (ancaman peperangan) yang membuatnya merasa terkucilkan dari kehidupan nyata sebagaimana jejak kata yang dituliskannya

“kemudian saya merasa terkucilkan di desa ini, dari kehidupan nyata, dan terkurung jauh dari segalanya. Tubuh dan persepsi kita selalu meminta kita untuk mengambil lanskap yang mereka tawarkan sebagai pusat dunia. tetapi lingkungan ini tidak harus kehidupan kita sendiri. Saya dapat “berada di tempat lain” saat tinggal di sini, dan jika saya berada jauh dari apa yang saya sukai, saya merasa tidak bisa terhubung dengan kehidupan nyata” (Merleau Ponty, 1981, hal. 285-286)

Kegelisahan, kesunyian, dan kebingungan sebagaimana dirasakan Merleau Ponty menjadi hal yang lazim dirasakan oleh semua pegawai yang harus menjalani aktivitas WFH di tengah pandemi Covid-19. Ungkapan-ungkapan seperti “duh, udah kangen banget nih sama kantor” rasa-rasanya sudah menjadi bagian “pandemi kerinduan” tersendiri sebagai bentuk kebutuhan manusia akan eksistensinya. Namun, kesadaran yang ingin dibicarakan oleh Merleau Ponty bukanlah soal kerinduan biasa, tetapi kerinduan spasial yang tidak diikat oleh koordinat kaum cartesian. Sebuah definisi spasial, yang ditentukan oleh sebuah pengalaman yang penting dan yang tidak penting bagi seseorang, bukan oleh jarak fisik.

Definisi Merleau Ponty ini memberikan sebuah garis tegas mengenai budaya kerja tradisional kita yang dibatasi oleh empat sudut dinding di kantor dengan pola kerja baru yang difasilitasi oleh dunia digital. Secara konvensional, rutinitas kerja di balik tembok kantor telah membangun pusat rasa identitas pegawai di sekitar bangunan dan kehadiran fisik. Keteraturan diciptakan di bawah kondisi tersebut melalui pengawasan dan isolasi individu dengan absensi harian, cctv, serta kubikel. Sebuah kedisiplinan, yang digambarkan dengan metafora panopticon (menara pengawas penjara) oleh Focault.

Kebingungan muncul ketika keteraturan yang ada terdesak oleh keharusan untuk melakukan WFH guna menghindari akibat buruk dari pandemic Covid-19. Rasa kesepian yang melanda selama WFH menjadi isu eksistensial bagi pegawai sebagaimana dinyatakan oleh Said (2001) bahwa keterkucilan yang sangat akut adalah kesunyian di luar kelompok; dirampasnya sebuah perasaan kebersamaan di tempat tinggal yang sama. Situasi melankolis ini mendapat penekanan lebih dalam dari seorang Hannah Arendt. Lewat tulisannya, dia menggambarkan bagaimana terpisah dari komunitas merupakan sumber rasa sakit dan kehilangan bagi manusia dengan kalimat yang menusuk.

Setelah kami menjadi seseorang yang peduli dengan orang-orang, kami dicintai oleh teman-teman, dan bahkan dikenal oleh tuan tanah… [tetapi] tidak ada orang di sini yang tahu siapa saya! (Arendt,2017)

Kesadaran pusat rasa yang telah terbentuk (bangunan dan kehadiran fisik) mendapatkan tantangan yang serius pada hari-hari ke depan. Pusat rasa identitas atas identitas bangunan fisik harus bergeser pada pusat rasa yang lain, karena kembali “ke kantor” saat ini dan mungkin di masa depan bukanlah jawaban yang terbaik. Menurut Butler (2016) sifat manusia yang rentan di tengah ketidakpastian, mendorong mereka untuk mencari alternatif imunitas baru melalui pencarian atas ikatan sosial dan keluarga. Dengan demikian, pusat rasa pegawai harus digeser kepada rasa kepemilikan atas tim dan organisasi dibandingkan bangunan dan kehadiran fisik, karena mereka dapat melakukan pekerjaan dimanapun dan kapanpun melalui fasilitas digital.

Untuk mewujudkan semua itu, perusahaan perlu membangun sebuah budaya baru yang dicirikan dengan ikatan sosial yang dibangun atas komitmen, kepercayaan dan hubungan keluarga (Roberts, 2009). Pegawai tidak lagi menjadi objek yang diawasi, namun menjadi anggota keluarga yang “dikendalikan” melalui tekanan sosial. Pola pengawasan seperti ini, membantu perusahaan dalam mengurangi hirarki struktur organisasi menjadi lebih datar. Pengelolaan organisasi berubah dari model kontrol manajerial menjadi komitmen atas keluarga dan tim. Pengorganisasian perusahaan beralih dari model birokrasi menjadi semi-anarki, karena pegawai bisa bekerja lebih baik tanpa pengawasan (Sewell dan Taskin, 2015).

Siapkah anda menerima tantangan budaya kerja baru ini?


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved