My Article

Triple Bottom Line: Lebih dari Sekadar Profit

Oleh Neviana
Triple Bottom Line: Lebih dari Sekadar Profit

Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas. Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global warming.

Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009, Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan tersebut benar.

Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam waktu lima bulan.

Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P – People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk implementasi TBL.

Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).

Mari kita lihat secara detail bagaimana perusahaan di Indonesia bisa mengaplikasi konsep 3P ini secara riil. People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang mendukung kepentingan tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini melindungi kepentingan tenaga kerja dengan menentang adanya eksplorasi yang mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang wajar, lingkungan kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi. Bukan hanya itu, konsep ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi tenaga kerja.

Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah produksi dan mengolah kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi emisi CO2 ataupun pemakaian energi, merupakan praktik yang banyak dilakukan oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep ini. The Body Shop, dalam Values Report 2005, mencantumkan salah satu target inisiatif Protect Our Planet untuk tahun 2006 dengan mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik yang digunakan di gerainya. Starbucks memiliki program Coffee and Farmer Equity (CAFE) untuk memperoleh dan mengolah kopi dengan memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan. Starbucks mendefinisikan sustainability sebagai model yang layak secara ekonomis untuk menjawab kebutuhan sosial dan lingkungan dari semua partisipan dalam rantai pasokan dari petani sampai konsumen.

Profit di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini berarti menciptakan fair trade dan ethical trade dalam berbisnis. Starbucks dan The Body Shop selalu mengaplikasikan fair trade – bukan mencari harga termurah – dalam mencari bahan bakunya.

Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa perusahaan menerapkan program ini karena “terpaksa” untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan, hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi tentang penyajian pelaporan nonfinansial.

Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus program tanggung jawab sosial pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program tanggung jawab sosial akan dipotong lebih dulu.

Jika di seluruh belahan dunia, para jawara global telah mulai mengadopsi konsep TBL, apakah perusahaan Anda juga telah siap?

Penulis adalah Konsultan di sebuahGlobal Business Advisory Firmdi Jakarta


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved