My Article

Wawasan Baru Balance Score Card (BSC) dalam Bingkai Syariah

Oleh Editor
Wawasan Baru Balance Score Card (BSC) dalam Bingkai Syariah

Oleh: Dr. Kautsar Riza Salman, Dosen STIE Perbanas Surabaya

Dr. Kautsar R. Salman,

Pandemi covid-19 hampir setahun melanda negeri ini dan seluruh negara di dunia. Tentu saja, berdampak menggerus kinerja perusahaan, bahkan banyak perusahaan yang harus ‘gulung tikar’ karena mengalami kerugian besar dan ketidakmampuannya membayar gaji karyawannya. Namun, tidak sedikit perusahaan yang masih tampil ‘kokoh’ dan tetap berkinerja positif.

Berbicara mengenai kinerja perusahaan, tentu tidak dapat dilepaskan dengan cara untuk mengukur kinerja. Ada yang masih konvensional dengan melihat pada kinerja keuangan saja, namun ada yang sudah menggunakan pengukuran kinerja yang lebih kompleks yang dikenal dengan Balance Score Card (BSC).

Artikel ringkas ini mencoba menelusuri lebih jauh bagaimana konsep BSC dalam bingkai syariah. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran sebuah wawasan baru mengenai konsep BSC dalam bingkai syariah baik dari sisi filosofi, konsep, dan indikator-nya.

Konsep BSC

Konsep BSC yang kita kenal adalah pengukuran kinerja perusahaan yang dikembangkan dan diperkenalkan pertama kali oleh Robert Kaplan dan David Norton pada tahun 1992. Konsep ini lahir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap keterbatasan pengukuran kinerja sebelumnya yang menitikberatkan pada kinerja keuangan semata. BSC sebagai sistem pengukuran kinerja, tidak saja melihat pada kinerja keuangan, tetapi juga mengukur kinerja non keuangan seperti pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran.

Lebih jauh lagi, BSC saat ini merupakan sistem manajemen strategis yang menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam tujuan dan ukuran yang lebih operasional.

Komponen BSC

Yang unik dari BSC adalah konsep berimbang (balanced). Konsep balanced mengindikasikan adanya keseimbangan dalam mengukur kinerja perusahaan antara perspektif keuangan dan perspektif non keuangan. Perspektif non keuangan sendiri terdiri dari perspektif pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran.

Bicara tentang perspektif keuangan sudah biasa kita dapati seperti penggunaan ukuran return on asset (ROA), return on investment (ROI), earning per share (EPS), dan ukuran kinerja keuangan lainnya.

Perspektif non keuangan diawali dari sisi perspektif pelanggan. Perspektif ini jelas berfokus pada kepuasan pelanggan dan seberapa baik perusahaan berlomba-lomba dalam memenuhi kepuasan pelanggan.

Perspektif non keuangan kedua adalah perspektif proses bisnis internal. Perspektif ini mempertimbangkan seberapa baik perusahaan mengembangkan, memproduksi, dan menyerahkan produk dan jasa.

Selanjutnya perspektif non keuangan ketiga adalah perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif ini mengevaluasi kemampuan karyawan untuk berubah dan melakukan perbaikan diri.

Wawasan Baru Sharia-based Balance Score Card (SBSC)

Narasi BSC sebelumnya masih dalam bingkai konvensional, belum ada nuansa syariah didalamnya. Wawasan baru yang ditawarkan penulis, sebenarnya tetap mengacu pada empat perspektif sebelumnya, namun dengan narasi dan indikator yang sesuai dengan prinsip syariah.

Prinsip syariah pertama adalah prinsip persaudaraan (ukhuwah). Prinsip persaudaraan memiliki nilai-nilai universal yang menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat saling tolong menolong. Prinsip ini menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing economics), sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian orang lain.

Dalam konsep BSC, prinsip persaudaraan dapat diterapkan pada interaksi antara perusahaan dengan pelanggan, perusahaan dengan karyawan, perusahaan dan investor, dimana interaksi tersebut saling memberikan keuntungan dan kemanfaatan untuk semua pihak.

Prinsip syariah kedua adalah prinsip keadilan (‘adalah). Prinsip keadilan berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya kedzaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan unsur haram (baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait)

Praktik prinsip keadilan dalam konsep BSC adalah perusahaan tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat merugikan pihak lain karena semua itu adalah bentuk kedzaliman, baik dzalim kepada karyawan maupun dzalim kepada pelanggan. Selain itu, dalam proses bisnis internal, perusahaan tidak boleh memproduksi barang dan jasa yang diharamkan serta proses produksinya sendiri harus bebas dari unsur yang haram. Prinsip keadilan dan kehalalan dijunjung tinggi oleh perusahaan yang menerapkan SBSC.

Prinsip syariah ketiga adalah prinsip kemaslahatan (maslahah). Segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif merupakan inti dari prinsip kemaslahatan.

Aplikasi prinsip kemaslahatan dalam SBSC adalah apapun proses bisnis dan produk perusahaan harus memenuhi dua unsur yaitu: kepatuhan syariah (halal) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudharatan. Perusahaan harus berpandangan bahwa proses produksinya dan produknya tidak hanya halal saja, tetapi juga bermanfaat kepada pelanggan.

Prinsip syariah keempat adalah prinsip keseimbangan (tawazun). Prinsip keseimbangan meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, serta keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian.

Aplikasi prinsip keseimbangan dalam SBSC adalah perusahaan tidak hanya berorientasi pada maksimalisasi keuntungan saja untuk kepentingan shareholder, akan tetapi juga pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi perusahaan. Perusahaan yang menerapkan SBSC akan berlomba-lomba membayar zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) sebagai realisasi aspek spiritual. Perusahaan menjadikan pembayaran ZISWAF sebagai indikator kinerja perspektif keuangan, artinya semakin baik kinerja keuangan perusahaan tidak diukur pada laba, tetapi diukur pada seberapa besar ZISWAF yang telah dikeluarkan.

Demikian artikel ringkas ini ditulis sebagai sebuah wawasan baru mengenai Sharia-based Balanced Score Card (SBSC), yang merupakan modifikasi konsep BSC konvensional dalam bingkai syariah.

Semoga bermanfaat


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved