My Article

Work Life Balance di Era Digital

Oleh Editor
Work Life Balance di Era Digital

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM FISIP Universitas Airlangga

Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Keseimbangan kerja dan kehidupan (work-life balance) merupakan topik hangat dalam setiap diskusi tentang karyawan di era digital saat ini. Dalam dunia kerja yang penuh tantangan, karyawan dituntut agar selalu aktif dan mampu mengatur waktu seefektif mungkin. Tantangan pekerjaan terus bertambah seiring kemajuan teknologi digital hingga menyebabkan tekanan (stress) kian meningkat serta kelelahan menimpa baik fisik maupun mental.

Menghadapi tekanan tersebut, work-life balance merupakan kata kunci bagi setiap upaya mengembangkan alternatif solusi mengatasi masalah kehidupan kerja dan sosial karyawan. Karena itu, pimpinan perusahaan harus memiliki pengetahuan mendalam tentang makna definitif dari work-life balance yang telah dikembangkan oleh berbagai ahli dan praktisi.

Secara praktis, work-life balance dapat diartikan sebagai kenyamanan dalam mengatur kehidupan pribadi selama hari-hari aktif bekerja tanpa harus membuat laporan kegiatan dan izin formal kepada pimpinan. Sementara ada pula yang mengartikannya sebagai waktu yang sama atau seimbang antara aktivitas untuk kepentingan pribadi dan pekerjaan.

Namun, harus dipikirkan pula bahwa setiap karyawan harus dapat memutuskan sendiri apakah mereka akan bersedia menerimanya dengan berbagai pertimbangan. Karyawan memiliki pertimbangan utama yakni keseimbangan kehidupan kerja dapat mempengaruhi karir di masa depan serta persepsi organisasi terhadap karyawan. Karena itu, peran pimpinan perusahaan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bagi kelangsungan hidup karyawan.

Pimpinan perusahaan harus memiliki definisi keseimbangan kerja dan kehidupan yang tepat dan relevan dengan lingkungan bisnis di era digital saat ini. Maura Thomas (2022) dalam tulisannya bertajuk ”What Does Work-Life Balance Even Mean?” yang diterbitkan oleh Forbes, menjelaskan definisi yang relevan dapat berfungsi sebagai pedoman bagi perusahaan dalam menyusun kebijakan yang dapat diterima karyawan, bermanfaat dalam menarik (attract) dan sekaligus mempertahankan SDM berbakat, serta memandu perilaku karyawan di perusahaan.

Sementara itu, Ioana Lupu & Mayra Ruiz-Castro (2021) dalam tulisannya di Harvard Business Review berjudul “Work-Life Balance Is a Cycle, Not an Achievement” menunjukkan hasil riset bahwa terlalu banyak bekerja tidak baik bagi karyawan meskipun sulit dalam praktek guna mengatasi kebiasaan kerja tak sehat dan mencapai keseimbangan secara berkelanjutan khususnya menghadapi situasi pekerjaan di era digital.

Era Digital

Saat ini masyarakat dunia telah memasuki era digital. Teknologi digital digunakan secara masif baik untuk kegiatan sosial maupun bisnis. Digitalisasi telah mengakibatkan perubahan pada hampir seluruh dimensi kehidupan sosial. Sementara di dunis bisnis, kemajuan teknologi digital mempermudah aktivitas dan transaksi lebih praktis, efisien, dan efektif.

Di dunia kerja juga telah terjadi pergeseran cara bekerja sebagai akibat teknologi digital. Jika semula pekerjaan dilaksanakan di kantor, kini para karyawan bekerja setiap saat dalam posisi baik di kantor maupun di rumah (working from home). Bahkan pekerjaan dapat dilakukan atau dituntaskan saat karyawan berada jauh dari lokasi kerja atau tempat kerja. Makna pekerjaan menjadi kian fleksibel alias lebih lentur.

Impian fleksibilitas dalam penyelesaian setiap jenis pekerjaan kini telah dapat diwujudkan melalui teknologi digital. Di luar beban tugas, kegiatan pertemuan atau rapat koordinasi tak lagi terhambat keterbatasan waktu dan tempat. Sebelumnya, perusahaan acap sulit menentukan jadwal pelaksanaan rapat karena dilakukan secara daring (offline) atau tatap muka. Kini setiap kegiatan rapat dapat dilaksanakan secara daring (online).

Namun, transisi kegiatan penyelesaian pekerjaan yang lebih fleksibel dan mudah ternyata mengaburkan batas suasana pekerjaan formal dan kehidupan pribadi dan sosial. Waktu bekerja formal tak lagi mengenal istilah working hours (jam kerja). Istilah office hours alias jam buka kantor pun kian sirna.

Karyawan mengalami tekanan hebat karena harus “bekerja kapan saja dan dimana saja”. Untuk dapat menyelesaikan semua urusan pekerjaan menuntut karyawan dapat bekerja setiap saat sonder mengenal istilah waktu dan tempat. Sementara karyawan butuh aktualisasi dalam kehidupan sosial yang tersita aktivitas bekerja secara formal. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sosial karyawan pun terancam.

Jika keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan baik secara pribadi maupun sosial (work life balance) terancam, maka diperkirakan akan mempengaruhi pencapaian kinerja dan produktivitas karyawan. Tiap individu yang imbalance dalam pekerjaan dan hidupnya dikuatirkan akan mengalami difisiensi, misalnya, penurunan motivasi bekerja, kehilangan semangat kerja sehingga menurunkan kepuasan kerja, prestasi, dan kinerja. Dalam beberapa kasus tertentu, bahkan karyawan mengalami gangguan mental alias kejiwaan.

Perusahaan harus memiliki program atau kegiatan khusus bagi karyawan untuk work-life balance tersebut. Program perusahaan bertujuan mendukung dan membantu setiap karyawan mampu menyeimbangkan antara penyelesaian tugas dan pekerjaan formal dengan kehidupan pribadi maupun interaksi sosial yang bersifat lebih informal.

Manfaat Work Life Balance

Jika perusahaan mampu mewujudkan tujuan program dan kegiatan tersebut, maka dapat diperoleh sejumlah manfaat. Dalam tulisannya di Harvard Business Review berjudul Work-Life Balance: The Surprising Benefits of Work/Life Support, Alexandra Kalev dan Frank Dobbin (2022) menguraikan manfaat work-life balance bagi karyawan dalam menghadapi berbagai tantangan yang lebih besar sementara di sisi lain ketersediaan sumber daya sangat terbatas guna dapat digunakan untuk menetralisir serangkaian masalah dan pencapaian tujuan.

Program perusahaan dalam menyeimbangkan kerja dan kehidupan karyawan juga berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan survei terhadap sekitar 800 perusahaan di Amerika Serikat, Kalev dan Dobbin menyajikan data perusahaan yang menawarkan jadwal kerja fleksibel, cuti untuk keluarga, dukungan pengasuhan anak kepada semua karyawan, serta jumlah total persentase wanita dan orang kulit berwarna meningkat secara signifikan sebagai pemicu kepuasan kerja. Manfaat program menyeimbangkan kerja dan kehidupan berdampak positif.

Perusahaan juga memetik manfaat dalam upaya mendukung peningkatan produktivitas, pengurangan kasus pergantian/perpindahan karyawan (turn-over), dan peningkatan kesehatan baik fisik maupun mental. Program work-life balance merupakan strategi efektif bagi pencapaian tujuan perusahaan lebih produktif.

Karyawan memiliki perasaan lebih bahagia sedemikian rupa mampu membuatnya lebih produktif. Kebahagiaan dalam bekerja juga diyakini mampu mendorong inisiatif untuk berkreasi dan berinovasi.

Work-life balance juga membantu karyawan menghadapi tekanan kerja atau mencegah working stress. Beban kerja berlebih di era digital dengan pola kerja tak mengenal waktu sangat berpotensi mempengaruhi stres. Dukungan perusahaan sangat dibutuhkan karyawan agar mampu mengelola waktu secara efektif menyeimbangkan kerja dan berkegiatan non-pekerjaan.

Kegiatan non-pekerjaan merupakan bentuk aktualisasi karyawan secara sosial. Melalui program work-life balance, karyawan mampu menjalin relasi lebih baik tak sekadar dengan keluarga, namun juga kerabat, tetangga, dan masyarakat dalam skala yang lebih luas. Karyawan memiliki waktu seimbang atau proporsional untuk kegiatan sosial.

Terdapat berbagai manfaat lain yang dapat dipetik sesuai tujuan yang ditetapkan. Namun, perusahaan harus memiliki komitmen untuk melaksanakan program work-life balance secara konsisten agar berbagai manfaat tersebut dapat diwujudkan. Konsistensi pelaksanaan program mewujudkan work-life balance tersebut dapat ditempuh melalui kebijakan yang memihak pada kepentingan sosial para karyawan.

Di sisi karyawan, setiap individu harus berkomitmen pula untuk memanfaatkan program work-life balance tanpa merugikan kepentingan perusahaan. Karyawan menentukan prioritas kegiatan sosial atau non-pekerjaan sehingga waktu yang tersedia efektif atau optimal. Komitmen karyawan terhadap pemanfaatan program work-life balance akan mempengaruhi perusahaan memastikan program dan kegiatan dilakukan secara berkelanjutan.

Relasi perusahaan dan karyawan dalam pelaksanaan program work-life balance tak hanya mampu mengatasi tekanan akibat tuntutan kerja di era digital, namun juga efektif menciptakan kualitas kehidupan kerja (quality or working life) secara maksimal. Kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu bentuk karakteristik perusahaan yang memiliki kepedulian pada karyawan agar mampu mengatasi berbagai tantangan pekerjaan.

Referensi:

Maura Thomas. (July 26, 2022). What Does Work-Life Balance Even Mean?

Retrieved from: https://www.forbes.com/sites/maurathomas/2022/07/26/what-does-work-life-balance-even-mean/?sh=44b5ea3f2617

Ioana Lupu & Mayra Ruiz-Castro. (January 29, 2021). Work-Life Balance Is a Cycle, Not an Achievement.

Retrieved from: https://hbr.org/2021/01/work-life-balance-is-a-cycle-not-an-achievement

Alexandra Kalev & Frank Dobbin (September–October 2022). Work-Life Balance: The Surprising Benefits of Work/Life Support.

Retrieved from: https://hbr.org/2022/09/the-surprising-benefits-of-work-life-support


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved