Profile

Hariadi Adnan, Perintis Budidaya Rumput Laut Indonesia

Hariadi Adnan, Perintis Budidaya Rumput Laut Indonesia

Indonesia memiliki beberapa komoditas ekspor unggulan salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut sudah lama menjadi andalan komoditas ekspor sebab permintaan rumput laut di pasar internasional masih tinggi. Data BPS di tahun 2015, sektor hulu rumput laut mampu menyumbangkan devisa sebesar US$ 160.408.809. Angka tersebut belum termasuk devisa dari segi hilirnya yang mencapai angka US$ 45.056.021.

Di balik manisnya bisnis rumput laut, ternyata ada orang-orang yang sangat berjasa dalam pengembangan rumput laut di Tanah Air. Hariadi Adnan merupakan salah satu di antarannya. Ia merupakan perintis budidaya rumput laut di Indonesia. “Pada tahun 1967 pertama kali kami mencoba percobaan budidaya rumput laut jenis Eucheuma Spinosum di Pulau Tikus, Kepulauan Seribu,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, persentuhannya dengan dunia rumput laut sebenarnya tanpa rencana dan kesengajaan. Bermula dari ajakan Soerdjoginoto, pegawai Dinas Hidroskopis TNI Angkatan Laut, ia melakukan penelitian rumput laut jenis spinosum di Pulau Tikus, Gusus Pulau Pari, Kepulauan Seribu . Waktu itu Hariadi baru saja lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan belum punya pekerjaan, ajakan Soerdjo baginya merupakan peluang untuk mencari pengalaman di dunia kerja.

Pada 1975 hasil kerja Hariadi dan kawan-kawan di Kepulauan Seribu dilirik oleh perusahaan dari Denmark, Amerika Serikat dan Perancis. Namun, hanya Mr Hans Porse dari perusahan Denmark Kopenhagen Pactin yang menunjukkan ketertarikannya membiayai proyek percobaan budidaya rumput laut di perairan Pulau Samaringa, Sulawesi Tengah.

Penelitian rumput laut di Kepulauan Seribu, yang sempat terhenti lantaran Soerdjoginoto meninggal, pun direkonstruksi ulang. Saat itu, Hariadi dibantu beberapa orang seperti dari Balai Penelitian Perikanan laut, Departemen Pertanian Bambang Tjipto Rahadi dan Bambang Basuki, Hasan Mubarak, Muhari dan Harmoko.

Pada 1978, Hariadi dan timnya meninggalkan Samaringga dan membawa bibit spinosum 6 kilogram basah ke Bali, tepatnya di Tenure, Benoa. Ujicoba di Bali terbilang berhasil, selain karena kualitas air yang baik, juga karena diterapkan metode pembibitan khusus dan pembesaran yang sudah maju. Pada 1981, untuk pertama kalinya melakukan pengiriman ekspor ke Kopenhagen-Denmark dengan jumlah fantastis. “Ketika itu kami ekspor 81 juta ton Eucheuma Spinosum kering hasi budidaya,” ungkapnya.

Pada tahun-tahun itu juga permintaan terhadap rumput laut cotoni meningkat,sehingga berangkatlah mereka ke Filipina untuk itu Hariadi dan kawannya berkunjung ke Filipina untuk memperoleh bibit langsung Eucheuma Cottoni sebanyak 8 kg dari Filipina. “Bibit dari Filipina inilah yang digunakan hingga sekarang,” terang Hariadi.

Segala usaha kerja kerasnya saat ini telah menjadi cikal bakal merebaknya industri rumput laut. Sejak tahun 1980-an, ia mengungkapkan beberapa daerah mulai tertarik dengan usaha budidaya dan industri rumput laut. Termasuk pengusaha Aksa Mahmud yang kala itu bekerja sama dengan Pemda Sulawesi Selatan dan Safari Azis untuk melakukan uji coba budidaya Gracilaria sp. Di tambak Tanjung Bunga, Makassar. “Kalau saya tidak pintar berbisnis, pernah mencoba namun tidak berhasil,” ungkapnya.

Maka itu, tak heran bila kemudian, ia lebih banyak memberi sumbangan pemikiran dan advokasi kepada pengembangan rumput laut masyarakat kecil. Sepanjang karirnya, ia habiskan untuk menjadi peneliti rumput laut dan juga konsultan dan aktif di Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI). “Beberapa kali saya jadi konsultan perusahaan-perusaan asal luar negeri,” imbuh pria kelahiran tahun 1943 itu.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved