Profile Company

Agate Studio, Rilis Varian Game Terbaru dan Masuk ke Segmen Korporasi

Arief Widhiyasa, CEO & co-founder Agate.
Arief Widhiyasa, CEO & co–founder Agate.

Pola konsumsi dan perilaku belanja masyarakat berubah drastis di masa pagebluk ini. Untuk mencegah penyebaran virus corona, pemerintah menganjurkan masyarakat untuk bekerja dari rumah (work from home) dan membatasi kegiatan luar ruang. Sehingga, waktu luang masyarakat di rumah cukup banyak apabila dibandingkan dengan di masa normal. Untuk mengusir rasa bosan, masyarakat melakukan berbagai kegiatan, antara lain bermain game.

Tren tersebut direspons oleh Agate Studio, perusahaan pengembang game yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat. Agate bermitra dengan perusahaan operator telekomunikasi PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), meluncurkan game terbaru, Code Atma, pada Juni 2020.

Code Atma merupakan permainan di peranti bergerak yang berformat RPG (roleplaying game) yang memadukan elemen supranatural khas Indonesia dengan teknologi bernama Asterisk, sehingga para pemain dapat memanggil Atma –sebutan khusus untuk karakter makhluk halus di dalam permainan yang tersedia di Google Play ini.

CEO & co–founder Agate, Arief Widhiyasa, menjelaskan, kunci sukses Agate sejak berdirinya pada 2009 adalah membuat permainan yang menyodorkan pengalaman unik kepada pengguna, seperti Code Atma, yang memadukan latar belakang budaya Indonesia yang dikemas modern ala game global. ”Misalnya, karakter utama Code Atma ini bisa berdialog dengan makhluk halus tapi didesain dengan keren. Misalnya, Pocong atau Mak Lampir, tapi digambarkan dengan karakter yang modern dan visualnya keren. Ini salah satu diferensiasi produk yang dilakukan Agate,” tutur Arief.

Ciri khas permainan buatan Agate yang seperti itu mendulang sukses karena diminati pengguna, terutama di masa pandemi ini. Bahkan, varian permainan yang dirilis Agate beberapa tahun lalu masih banyak yang memainkannya. “Kondisi pandemic seperti ini memberikan berkah ke Agate, tiba-tiba game yang lama dimainkan, masyarakat menghilangkan bosan dengan bermain game,” kata Arief. Ia menambahkan, dampak dari fenomena ini, penjualan Agate pada Maret-Mei 2020 naik tiga kali lipat jika dibandingkan Desember 2019-Februari 2020. “Tren pengguna Agate kian melonjak per Agustus lalu,” ujarnya.

Keberhasilan ini melanjutkan kisah manis Agate tahun 2010-2011, yang berhasil menciptakan permainan Earl Grey and this Rupert Guy yang dimainkan 1 juta pengguna per pekan. Selanjutnya, Agate kian getol merilis permainan terbaru. Di antaranya, game berbasis web social pertama, Football Saga, pada Februari 2011. Game bertema sepak bola itu pun mendulang sukses menggarap segmen business to costumer (B2C).

Rangkaian kesuksesan menghampiri Agate di tahun berikutnya. Pertama, menjalin kerjasama dengan perusahaan pengembang game sekaligus game publisher terkemuka asal Jepang, Square Enix Co. Ltd., untuk mendistribusikan game berjudul Sengokuixa di 2013. Kedua, memperoleh pendanaan seri A dari Maloekoe Ventures (lembaga modal ventura Indonesia) senilai US$ 1 juta pada 2016. Ketiga, mendistribusikan secara fisik varian game berjudul Valthirian Arc: Hero School Story untuk PlayStation 4 pada 2018, serta merilisnya di Indonesia pada Maret 2020 yang dilengkapi bahasa Indonesia dan Sunda.

Sederet keberhasilan ini kian memompa semangat 18 pendiri dan 250 pegawai Agate untuk meluncurkan layanan terbaru yang membidik korporasi atau segmen business to business (B2B). Januari 2019, Agate meresmikan sub–brand Agate Level Up yang menawarkan solusi gamification, yakni sistem pembelajaran atau penilaian dalam perusahaan yang dikemas dalam konsep interaktif ala video game. Beberapa perusahaan terpincut dengan gamification ini, di antaranya Warunk Upnormal yang dibuatkan game-based training oleh Agate untuk sarana melatih tim operasionalnya. “Selain game yang B2C, kami juga ada layanan B2B. Kami menawarkan ke company untuk membuat gamification untuk kampanye brand-nya, HR training, assessment, dan sebagainya,” tutur Arief.

Cikal bakal pengembangan bisnis Agate itu berawal dari tekad Arief dan para pendiri lainnya untuk membesut perusahaan game. Mereka berpatungan untuk mengumpulkan modal kerja Agate senilai Rp 135 juta di tahun 2009. Sebanyak Rp 100 juta dari total modal ini untuk menyewa ruang kantor. Jalan berliku ditempuh Arief dkk. karena strategi bisnis Agate di fase awal itu pernah salah jalan lantaran harus berhadapan langsung dengan pengembang game global.

Mereka pun bekerja ekstra selama 90 jam per minggu, mulai pukul 8 pagi hingga malam. Pelan-pelan, Agate mengidentifikasi strategi bisnis yang terukur, yaitu mendaftarkan game di skala internasional; memonetisasi hak intelektual seperti gameFootball Saga; menggandeng mitra lokal dan global, misalnya komikus Tahi Lalat dan Upin Ipin demi Metromillenium yang dibuat game-nya; serta bekerjasama dengan Sony untuk permainan konsol di PlayStation 4.

Arief mengatakan, strategi Agate menembus pasar global dengan Sony itu adalah bermitra dengan perusahaan lain untuk mendapat izin dari Sony. Dengan kata lain, Agate melakukan stategi berkelok-kelok karena pengembang game asal Indonesia tertimpa stigma negatif sebagai pembajak game. “Kami bekerjasama dengan perusahaan partner untuk bisa menggunakan proxy-nya agar dapat izin. Sebab, kalau pakai proxy langsung dari Indonesia, nggak akan diakui, sampai sekarang pun statusnya masih belum berubah,” ungkap Arief mengenai taktik Agate menembus Sony. Hingga tahun lalu, Agate telah memproduksi 250 game dan gamification.

Target berikutnya, Agate berancang-ancang meluncurkan game ke pasar regional, lalu ke global dalam tiga tahun mendatang, mencari ceruk pasar baru, mengikuti perubahan tren game yang beralih ke peranti bergerak, memperkuat segmen pengguna dari kalangan pekerja kantoran, dan beromset Rp 1,5 triliun per tahun yang diharapkan tercapai pada 2025. “Omset Agate masih di bawah Rp 1 triliun per tahun,” ujar Arief.

Ia mengestimasikan perputaran uang di industri game Indonesia mencapai Rp 15 triliun per tahun, sehingga potensi Agate untuk meningkatkan pendapatan sangat terbuka lebar. Sebab, menurutnya, sekitar 50% dari total nilai perputaran uang itu dikuasai perusahaan game lokal, sedangkan sisanya disabet pengembang game asing yang beroperasi di Indonesia. Jikalau Agate mampu menguasai ceruk pasar baru dan menciptakan blue ocean, peluangnya mencetak omset Rp 1,5 triliun setahun itu bisa terealisasi dalam jangka pendek. Semoga. (*)

Arie Liliyah & Vicky Rachman

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved