Profile Company Technology

Bimasakti Multi Sinergi, Perusahaan Fintech Superior di Kawasan Timur

Didin Noor Ali, chief commercial officer PT Bimasakti Multi Sinergi (BMS).
Didin Noor Ali, chief commercial officer PT Bimasakti Multi Sinergi (BMS).

Perusahaan teknologi finansial (fintech), sebagai alternatif penyedia layanan keuangan nonbank, bukan hanya berkembang di Jakarta, tetapi juga di Surabaya, Jawa Timur. Pemain fintech penting dari Kota Pahlawan ini adalah PT Bimasakti Multi Sinergi (BMS), yang menyediakan jasa micro-payment, payment gateway, dan mobile transaction solution.

BMS didirikan pada 2009 oleh Ibnu Sunanto. Tujuannya, memanfaatkan keunggulan teknologi industri telekomunikasi untuk mendukung kebutuhan finansial sektor mikro, seperti bank perkreditan rakyat (BPR), koperasi simpan–pinjam (KSP), dan balai usaha mandiri terpadu (BMT).

Ibnu menempuh pendidikan di STT Telkom. Ia pernah berkarier di Telkom Group hingga kemudian memutuskan untuk mendirikan bisnis sendiri. Sebelum bernama BMS, perusahaan ini dinamai PT Bimasakti Multiwealth, yang mulai beroperasi pada 2004.

Perusahaan ini banyak ditopang oleh bisnis Telkom, seperti distribusi perangkat hardware dan distribusi pulsa, baik untuk wholesale maupun pasar ritel. Untuk membesarkan perusahaan, Ibnu bertandem dengan Didin Noor Ali yang menjadi chief commercial officer, dengan tanggung jawab menciptakan produk dan layanan baru.

Dalam perjalanannya, BMS mengembangkan bisnisnya ke layanan payment gateway dan payment switching provider. Fokusnya pada transaksi pembayaran elektronik, interkoneksi antarserver (host to host) dengan berbagai macam sistem biller, hingga pengembangan layanan transaksi pembayaran elektronik (e-payment) dengan merek Fastpay.

Fastpay adalah layanan pembayaran online rekening listrik, air, telepon, transportasi (kereta api dan pesawat), dan berbagai tagihan lainnya. Dalam perjalanannya, rupanya Fastpay tidak hanya dibutuhkan oleh lembaga mikro seperti BPR, tetapi juga masyarakat luas secara komersial sehingga mereka bisa membuka loket pembayaran menggunakan platform ini.

Manajemen BMS mengklaim memiliki keunggulan teknologi payment point dan kekayaan konten untuk aneka tagihan. Antara lain, PLN, PDAM, asuransi, pulsa, travel, voucher game, multifinance, kartu kredit, TV berlangganan, dan pajak.

Memang, Fastpay telah menjadi mitra pertama PT KAI dalam program digitisasi penjualan tiket kereta di luar stasiun pada 2011. “Keberhasilan ini membawa kami dipercaya oleh banyak perusahaan, baik BUMN maupun swasta, yang memiliki sistem tagihan agar menerima pembayaran melalui channel kami,” ungkap Didin.

Menurutnya, kekuatan BMS ada pada kemampuannya mengagregasi biller dan konten yang tersedia hingga lebih dari 1.000 jenis konten pembayaran. Hal ini dimungkinkan lantaran BMS juga merupakan perusahaan penyelenggara payment gateway, yang mengintegrasikan biller dengan delivery channel. “Ketika perusahaan pemilik sistem biller terkoneksi dengan kami, mereka akan dengan mudah hadir di gerai minimarket, e-commerce, dan channel lainnya,” kata Didin. Ia menyebut pihaknya memiliki keunggulan karena punya “kaki” yang sangat banyak dari sisi delivery channel.

Didin juga menggambarkan bahwa selama ini hiruk-pikuk persaingan layanan payment system masih dipancarkan dari Jakarta. Ia merasa bersyukur, eksistensi BMS di Surabaya membuat perusahaan ini bisa menikmati posisi yang cukup superior karena hampir tidak ada kompetitor di area Ja-Tim.

Namun, Didin mengakui, ada tantangan tersendiri bagi industri digital payment di wilayah Indonesia Timur, yakni ketertinggalan yang cukup jauh dari Jakarta, terutama dari segi literasi finansial dan pemahaman penggunaan teknologi di masyarakat. “Literasi finansial wilayah Indonesia Timur masih rendah. Area-area tersebutlah yang akan kami masuki dan menjadi target kami,” katanya.

Menurut Didin, sejak awal berdiri BMS terus mengalami pertumbuhan. Di antaranya karena ditopang oleh bermunculannya para pemain fintech baru. “Meskipun saat ini bermunculan banyak startup yang mengambil porsi bisnis kami, sebagai penyedia payment getaway yang memiliki kekayaan fitur dan konten, pada akhirnya data dari BMS diambil oleh para startup tersebut,” ungkapnya.

Sebelumnya, Didin menceritakan, databiller BMS diproteksi hanya untuk bisnisnya sendiri. “Tapi, sejak tahun 2016 proteksi ini dibuka lewat platform RajaBiller sebagai pemasok layanan host to host terlengkap di Indonesia,” katanya.

Tidak hanya itu, BMS pun mengajak pelaku UMKM untuk menerapkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dalam upaya digitalisasi pasar di berbagai daerah di Indonesia melalui WinPay dan SpeedCash. Winpay sebagai enterprise payment gateway sudah mendapat lisensi dari Bank Indonesia untuk membantu e-commerce atau perusahaan pemilik tagihan agar mempunyai kanal pembayaran beragam.

Adapun Speedcash adalah uang elektronik berbasis server yang memiliki kapasitas untuk menerbitkan QRIS. Speedcash telah bekerjasama dengan berbagai stakeholder dari kalangan pemerintah daerah, antara lain Pemda Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Aceh, Sumatera Utara, dan Papua.

BMS saat ini memiliki mitra loket pembayaran sebanyak 250 ribu mitra Fastpay. Kemudian, pemilik sistem biller yang sudah bergabung sekitar 700 perusahaan. Dari sisi payment getaway, yang memproses transaksi elektronik lewat platform milik BMS ada sekitar 2.300 institusi, baik perusahaan maupun usaha level UMKM. Sementara untuk perputaran dana, Didin mengklaim bila dikonsolidasi bisa mencapai Rp 700 miliar-900 miliar setiap bulan.

Didin menceritakan, BMS berkali-kali ditawari untuk diakuisisi pemain asing. Namun, pihaknya bertekad tidak akan menjual perusahaan ini dan tetap berdiri secara mandiri dengan organik. “Pendapatan yang kami peroleh setiap bulan, setiap hari, setiap detik sudah lebih dari cukup untuk membuat kami tetap eksis dan melayani masyarakat Indonesia,” katanya bangga. (*)

Jeihan Kahfi Barlian

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved