Profile Company Editor's Choice

Kolaborasi Dua Penari Melambungkan United Dance Works

Kolaborasi Dua Penari Melambungkan United Dance Works

Dentum dinamis musik hip hop menyergap seluruh ruangan di sebuah gedung dua lantai di kawasan Kemang Utara, Jakarta Selatan. Sekelompok anak muda asyik berjingkrak-jingkrak, sementara yang lainnya serius mendengarkan pemaparan dari instrukturnya. Di belakang mereka, di salah satu sisi dinding ruangan, terpampang semboyan berhuruf besar, The World is Our Stage. Itulah suasana kantor sekaligus studio dan sekolah tari tenar United Dance Works (UDW).

Adhisty J. Kampono dan Yessy HutabaratYa, UDW, yang dibesut dua penari – Adhisty Juliani Kampono dan Yessy Hutabarat – telah menjelma jadi sebuah perusahaan tari terkenal di Jakarta. Sejak didirikan pada 13 Februari 2004 hingga kini, UDW telah mementaskan koreografi dan penarinya di ratusan acara terkemuka. Program musik dan variety show di berbagai stasiun televisi, konser musik penyanyi terkenal dalam dan luar negeri, berbagai peluncuran produk elektronik, fashion, hingga farmasi telah menjadi pelanggannya.

Kelahiran UDW berawal dari pertemuan Isty dan Echie di sebuah lantai dansa di Jakarta tahun 2000. Tak dinyana, pertemuan itu memercikkan ide bisnis, yaitu melahirkan sebuah dance production yang mampu memberikan atmosfer kerja yang nyaman bagi penari. “Saya ingin dihargai, tidak ada diskriminasi, karena pada saat itu dunia tari mengalami sedikit kemunduran,” ujar Isty yang menguasai tari Bali. Sementara Echie, sejak kecil belajar di sekolah balet Namarina. Bahkan Echie pernah menjadi salah satu pengajar termuda di sana.

Sayang, Isty kala itu harus merampungkan kuliahnya di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, sehingga mereka mengendurkan ambisinya. Namun, saat itu, Echie mulai merintis jaringan bisnis mereka. Akhirnya, ketika Isty kembali ke Jakarta pada 2003, mereka berdua mulai tancap gas. “Saya menganggap UDW sebagai S-2 saya. Saya belajar bagaimana membangun merek, strategi pemasaran, cara-cara promosi yang tidak perlu menguras dana,” ujar Isty.

Berdua, mereka pun bersinergi. Keahlian pemasaran dan kekayaan jaringan Isty dipadukan dengan kehebatan Echie dalam produksi kreatif dan konsep artistik. Kala itu, mereka menggarap aspek branding-nya lebih dulu, khususnya logo. Selanjutnya mereka mulai mengkotak-kotakkan segmen pasar. Karena ingin fokus pada kualitas, mereka menembak kelas A dan B plus. “Kalau telanjur salah pemasaran, bisa-bisa klien tidak peduli kualitas, yang penting murah. Padahal dari segi bisnis, saya tidak ingin karya seni dinilai murahan. UDW memberikan yang maksimal dan itu ada harganya,” ujar Isty yang menjabat sebagai Direktur Pengelola UDW. Adapun Echie kini menjabat sebagai Direktur Artistik.

Awalnya, UDW bertempat di ruang tamu rumah Echie di kawasan Tebet. Belakangan, mereka menyewa studio di Jl. Bangka X1, Kemang Utara, yang dipakai hingga sekarang. Dana senilai Rp 500 juta dikeluarkan untuk menyewa plus membangun studio dua lantai yang kini memiliki tiga panggung.

Isty menekankan, investasi utama mereka sejatinya membangun jejaring dengan orang-orang kunci di industri tersebut. Termasuk, para penari profesional di luar UDW dan orang kunci di industri televisi. “Bisnis UDW sesungguhnya dimulai dari investasi nol rupiah. UDW hanya mempunyai bakat dan sumber daya manusia, awalnya hanya saya dan Echie,” ujar Isty yang berencana membeli lokasi yang mereka tempati saat ini.

Strategi membangun jaringan terbukti mujarab. Buktinya, begitu berdiri, UDW langsung dipercaya RCTI mengisi segmen acara dangdut. Terus terang, bagi Isty dan Echie, segmen musik tersebut kurang sesuai dengan pasar yang dibidiknya. Meski demikian, realitas berbicara. “Walaupun kurang sesuai dengan segmen UDW, kami lebih mengutamakan tampil di TV dulu. Hampir semua stasiun TV menggelar acara dangdut,” ujar Isty.

Betul juga. Setelah itu, mereka dipercaya di berbagai acara. Ratusan acara hingga kini sudah mereka meriahkan. “Baru-baru ini, kami dipercaya menjadi penari dalam acara HUT Trans TV. Selain itu, UDW tampil dalam HUT SCTV, GlobalTV, konser Rossa, Siti Nurhaliza, Lionel Richie, dll. Kepercayaan klien berawal dari branding kami yang menarik,” papar Isty.

Keberhasilan itu tak lepas dari tangan dingin Echie sebagai direktur artistik. “Sebagai pelatih yang perfeksionis, saya berpendapat latihan membuat kami sempurna,” ujarnya seraya menyebutkan hingga kini UDW mempunyai 40-50 orang penari profesional hasil audisi. Jika dirata-rata, dalam sebulan UDW bisa tampil hingga lebih dari 8 kali. Selain itu, demi mengasah skill dan memperluas jejaring, UDW kerap mendatangkan berbagai koreografer ataupun penari tingkat dunia untuk bekerja sama seperti Julia Mitomi dan Gerard Mosterd dari Belanda, The Beat Freaks, Luam Keflezgy dan Gigi Torres dari Amerika Serikat, Nishant Bhola dari India, dan Prince dari Filipina.

Sejak 2010, selain membadanhukumkan usahanya dengan nama PT UDW Indonesia, UDW juga merambah bisnis yang masih selaras dengan bisnis inti mereka, yaitu sekolah tari, mereknya UDW Dance Academy. “Tujuan kami membuat sekolah adalah menghasilkan penari-penari didikan UDW, berhubung pendidikan tari di Indonesia terbilang minim, masih kalah dari Singapura. Maka, ini merupakan salah satu sekolah tari modern yang pertama di Indonesiadengan kurikulum dan silabus sendiri,” Isty menguraikan.

UDW menyediakan kelas untuk anak berusia empat tahun hingga orang dewasa. Terdapat pula kelas privat bagi yang ingin belajar secara eksklusif. Jenis tariannya beragam, dari tari tradisional Indonesia, balet, hingga hip hop dan berbagai tarian kontemporer lainnya di bawah instruksi 8 pengajar. Tarifnya berkisar Rp 85 ribu untuk kelas single visit hingga Rp 1,6 juta untuk kelas privat.

Keputusan terjun di pendidikan tari sungguh tepat. Pasalnya, kontribusi pendapatan terbesar kini berasal dari UDW Dance Academy. Dengan 150 murid, Rp 50-100 juta/orang masuk ke kocek UDW tiap bulan. Jumlah ini belum terhitung dari pemasukan pentas serta dari bisnis propertinya yakni penyewaan studio UDW. Tiga panggung yang ada di studio UDW memang disewakan untuk umum. Tarif panggung yang mampu menampung 8-30 orang itu dibanderol Rp 100-150 ribu per jam. Meski demikian, hingga kini mereka belum kembali modal. “Targetnya tahun 2013. Pertumbuhan kami sendiri sangat bagus, 20%-30% per tahun,” kata Isty.

Emil Syarif, Vice President Divisi ProduksiTrans TV, mengaku puas bekerja sama dengan UDW. “UDW merupakan salah satu grup tari yang sudah lama bekerja sama dengan Trans TV. Sejak awal berdirinya, mereka sudah tampil di Trans TV. Mereka menjadi salah satu pilihan utama kami untuk penari karena rekam jejak mereka sudah terbukti,” ujar Emil.

Ditambahkan Emil, selain penari UDW sangat profesional, koreografinya juga unik dan tidak pasaran. Karena itulah, Trans TV memercayai UDW menjadi penari tetap dalam program Extravaganza dan DivaDangdut. Mereka juga tampil setiap tahun dalam acara HUT Trans TV. “Baru-baru ini, kami bekerja sama dengan UDW untuk coachingIndonesia Mencari Bakat,” imbuh Emil.

Ke depan, menurut Isty, UDW ingin berafiliasi dengan berbagai penari ataupun studio dance lainnya di Asia Pasifik. “Bisnis ini masih dalam tahap perjuangan karena sebagian orang memandang sebelah mata profesi penari. Menurut saya, penari tidak pantas dibedakan dari penyanyi ataupun pemusik karena semuanya berada di panggung yang sama,” katanya tandas.

Rosa Sekar Mangalandum dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Adinda Khalil


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved