Profile Company Editor's Choice

Mi Hijau dari Sang Senior

Mi Hijau dari Sang Senior

Kecemasan terhadap efek samping mi instan yang dikonsumsi berlebihan mendorong Djajadi Jaya menggebrak pasar makanan yang selama ini didominasi para raksasa seperti Indofood (Indomie) dan Wings (Mie Sedaap). Dia berani memelopori mi instan hijau dari rumput greenbarley, tanpa penambahan MSG, rendah lemak dan tanpa pewarna, dengan nama Healtimie. Inovasi mi sehat ini diklaim Djajadi yang pertama di Indonesia, bahkan dunia.

Djajadi Djaja

Djajadi Djaja

Produk Healtimie dilempar ke pasar sejak Januari 2012. Namun, jauh sebelum itu Djajadi telah melakukan riset lima tahun lamanya dengan puluhan jenis ubi, sayur atau buah lain yang dijadikan uji coba sebagai bahan baku sampai akhirnya terpilih green barley, sejenis sereal gandum yang mengandung zat besi, vitamin B, C, kalsium plus serat tinggi. “Di luar negeri, green barley sudah banyak dimanfaatkan untuk jus sehat. Jadi, mengapa tidak saya campurkan untuk mi,” ujarnya tentang alasan penggunaan bahan baku green barley. Lalu, tahun 2011, ide itu dieksekusi dan dilakukan tes pasar. Hasilnya, pasar cukup antusias, sehingga dia berani memproduksi secara massal mulai awal tahun ini.

Siapa Djajadi? Lelaki ini bukan nama asing di dunia mi. Pria kelahiran November 1941 ini memiliki jam terbang tinggi di industri mi. Dia adalah sosok senior, bahkan salah seorang pionir, di bidang mi di Tanah Air, karena telah menggeluti industri ini sejak 1972. Banyak orang yang tidak tahu dia dulu adalah pemilik merek Indomie yang dikibarkan melalui bendera PT Samaru. Sejak 1984 Samaru berkongsi dengan Grup Salim. Namun, terhitung pada 1992 saham Samaru dijual seluruhnya ke Grup Salim. Beberapa tahun kemudian, Djajadi mendirikan PT Jakarana Tama yang memproduksi Gaga Mie dan Mie Gepeng, serta Healtimie sekarang.

Kehadiran Healtimie diharapkan Djajadi menjadi alternatif konsumen mi instan. Pasalnya, seiring dengan tren gaya hidup sehat, masyarakat mulai banyak yang mencari makanan sehat, termasuk mi. “Tapi, selama ini yang terjadi adalah variasi rasa saja. Jadi, kapan industri mi kita akan maju,” katanya tandas. Alhasil, diproduksinya mi sehat dengan nilai gizi cukup tinggi akan membantu meningkatkan gizi masyarakat dan memajukan industri mi.

Djajadi mengungkap, Healtimie memiliki diferensiasi dari mi instan kebanyakan. Dari sisi bahan baku pembuatan blok mi, misalnya, Healtimie terbuat dari green barley yang kaya air, vitamin, kalsium dan klorofil, sehingga tidak perlu zat pewarna. Begitu juga komponen pelengkap, seperti bumbu, sambal dan minyak sayur, terkontrol kualitasnya. “Penambahan pengawet hanya diberikan ke saus sambal dengan kadar sangat kecil, jauh dari standar toleransi zat aditif yang disarankan Badan POM,” dia mengklaim.

Proses pembuatan Healtimie juga sangat berbeda. Proses konvensional: mula-mula mi di-steam, setelah itu digoreng agar air di dalam mi berevaporasi. Namun, yang terjadi adalah minyaknya tertinggal dan mengendap di dalam mi. Normalnya setiap blok mi instan memiliki kandungan minyak 18%-20%, sedangkan kadar air hanya 3%-3,5%. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat mengonsumsi mi instan berlebihan karena mengandung banyak minyak. Healtimie?

Produk ini diolah dengan oven, teknologi Jepang tanpa penggorengan. Evaporasi air dilakukan dengan pemanasan tinggi sehingga tidak mengandung minyak sama sekali. Minyak hanya ditambahkan dalam komponen pelengkap, yakni minyak sayur, dengan kadar rendah (low fat).

Karena proses produksinya berbeda, Djajadi membuat lini baru. Meski demikian, dia enggan buka kartu berapa total volume atau nilai produksi Healtimie. Yang jelas, baik lini baru maupun lini konvensional (biasanya dipakai Gaga Mie dan Mie Gepeng) tiap hari memproduksi 200-250 ribu unit mi. Dan yang pasti, dia rela menggelontorkan dana investasi sekitar Rp 20 miliar untuk produksi Healtimie. “Investasi terbesar pada know how,” dia menandaskan.

Perbedaan lainnya, soal harga yang lebih tinggi. Tiap bungkus Healtimie dibanderol Rp 2.800-3.000, sedangkan mi instan umumnya Rp 1.300-1.500. Lantaran membidik segmen menengah-atas, untuk sementara penetrasi Healtimie 90% di pasar modern dan sisanya tradisional. Adapun wilayah jangkauan pasarnya di Jakarta, Bandung, Suarabaya plus Medan.

Kendati pemilihan bahan baku dan proses produksi Healtimie unik, soal jurus pemasaran tidak jauh beda dari mi instan lain. Sebut saja, melalui iklan di media sosial, seperti Facebook, Twitter, atau website. Juga, iklan di majalah, televisi, talkshow, demo masak dan, tak kalah pentingnya, strategi word of mouth. Karena dana promosinya terbatas, Djajadi mengaku iklannya pun tidak gila-gilaan. “Setidaknya puluhan miliar rupiah telah kami keluarkan untuk promosi Healtimie. Iklan di televisi yang kami prioritaskan adalah rate program, bukan rate stasiun tevenya,” paparnya tanpa merinci jumlah dana promosi yang dimaksud.

Djajadi optimistis terhadap prospek pasar Healtimie. Alasannya, potensi pasar mi instan di Indonesia sangat besar dengan asumsi konsumsi tahunan rata-rata mencapai 75-80 bungkus/orang atau senilai Rp 30 triliun.

Agar Healtimie makin diminati pasar, Yuswohady menyarankan agar rasa yang enak sangat diperhatikan. Begitu pula harga harus kompetitif. “Healtimie harus menyesuaikan fitur, harga dan pola komunikasinya dengan segmen yang dibidik. Dari sisi promosi, Healtimie bisa menggunakan rules of the game sesuai dengan produk lain yang sudah eksis. Jalur promosi above the line harus kuat dan distribusinya juga harus diperluas,” demikian saran pakar pemasaran itu.

Djajadi sepakat. Dia berjanji meningkatkan varian rasa. “Karena sehat saja tidak cukup. Rasa enak juga menjadi prioritas kami,” ujarnya. Itulah sebabnya, dalam waktu dekat Healtimie hendak meluncurkan mi kuah untuk melengkapi mi goreng yang sudah beredar. Kalau semua lancar, dia pun punya harapan besar. “Kami targetkan market share Healtimie hingga akhir 2012 sebesar 10% bisa tercapai,” ujarnya. (***)

Eva Martha Rahayu & Tri Wahyuni

Riset: Adinda Khalil


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved