Entrepreneur

Bebek Bengil, Inspirasi dari Hewan Suci

Bebek Bengil, Inspirasi dari Hewan Suci

Anak Agung Raka Sueni (60) tidak pernah bercita-cita menjadi pengusaha bisnis resto seperti sekarang ini. Bersama suami tercinta, Anak Agung Gde Raka (alm), pasutri ini memulai usaha di tahun 1983 dengan membuka galeri lukisan sembari tetap menjadi PNS di Pemkab Gianyar. Tak dinyana, bisnis galeri memberinya banyak keuntungan yang kemudian dipakai membeli tanah dibeberapa kawasan Ubud yang saat itu relatif masih sepi.

“Kami ingin berkembang. Hotel, galeri dan restoran kami anggap satu paket yang tepat”, ujar ibu dua anak kelahiran 3 September 1955 ini mengemukakan alasan sederhana mereka ekspansi membangun hotel dan restoran.

Untuk hotelnya, mereka sepakat menamai Agung Raka Villa, sama seperti galeri lukisan yang dimilikinya sejak 1983, sesuai nama depan mereka. Untuk restoran, hingga tahap akhir pembangunan, pasangan ini belum sepakat akan menjual jenis makanan apa. Bahkan, nama restorannya pun belum ada.

Hingga saat “kedatangan” serombongan bebek yang basah kuyup dan berlumpur dari sawah sekitar memasuki areal restoran yang sedang dalam taraf pembangunan dan meninggalkan jejak-jejak kotor yang akhirnya memberi ide pasangan ini menamai restorannya “Bebek Bengil”–bebek yang basah kuyup dan berlumpur, kotor (bahasa Bali). Mereka lalu merangkainya menjadi “Bebek Bengil Dirty Duck Diner” agar lebih mudah dipahami turis mancanegara.

Anak Agung Raka Sueni, pendiri Bebek Bengil "Dirty Duck Diner"

Anak Agung Raka Sueni, pendiri Bebek Bengil “Dirty Duck Diner”

Bahan baku bebek akhirnya dipilih menjadi menu utama restoran mereka. Padahal, bagi masyarakat Bali (saat itu), bebek adalah hewan suci biasanya hanya untuk persembahan di upacara keagamaan, bukan makanan sehari-hari. Ternyata, nama yang tak lazim itu menggubah minat para wisatawan untuk datang berkunjung ke Ubud dan mencoba Bebek Crispy yang disajikan dengan 3 jenis sambal dan sayur urap. “Baru melihat papan nama saja mereka sudah tertawa. Ternyata olahan bebek kami bisa diterima,” tutur Sueni.

Kedatangan Mick Jegger dan Jerry Hall turut menjadikan Bebek Bengil makin dikenal luas. Selain karena cita rasa masakannya yang bisa diterima lidah orang bule. “Menyiapkan bebek tidak mudah dan perlu penanganan serius, bau amisnya sulit hilang. Jadi harus pandai meramu bumbunya supaya bebek tidak berbau dan gurih ketika disantap,” katanya.

Untungnya, Sueni sudah terbiasa meracik menu bebek dan masakan khas Bali yang mempunyai kekuatan rasa dan kaya rempah. Sueni mematok bebek yang akan diolah di restorannya merupakan bebek cukup umur yang minimal mempunya berat 1.000 gram. “Terlalu muda akan hancur, terlalu tua dagingnya keras,” katanya.

Untuk menjamin ketersediaan bahan baku Sueni mendatangkan bebek dari Jawa. Saat libur panjang yang menyebabkan penyeberangan dan transportasi darat terganggu, tak jarang Sueni harus membekukan 10.000 bebek untuk memenuhi kebutuhan restorannya di Ubud.

Perlahan tapi pasti restoran sederhana yang awalnya hanya berkapasitas 25 tempat duduk dengan 16 tenaga kerja itu kini berkembang menjadi 700 tempat duduk dan mampu menyerap 130 orang tenaga kerja. Menu yang disajikan juga tidak hanya berbahan dasar bebek saja, tapi menyediakan juga ayam dan ikan.

Namun bebek crispy tetap yang paling banyak dicari pengunjung. Tak kurang dari 300 porsi bebek crispy yang dibanderol Rp125.000 harus disediakan pada hari-hari biasa, hingga 1.500 porsi di akhir pekan atau saat liburan.

Sepeninggal suaminya di tahun 2003, Sueni memutuskan mundur dari PNS dan fokus mengelola bisnis. Ia sukses membuka cabang pertamanya di kawasan Menteng pada 2007 yang kapasitas 400 tempat duduk, sebelum akhirnya membuka cabang keduanya di areal Nusa Dua, dan berlanjut ke BSD, Epicentrum Walk, Garuda Wisnu Kencana, Gandaria City dan Karawaci yang rata-rata berkapasitas antara 300-500 tempat duduk. Tahun ini juga cabang ke-7 di Pantai Indah Kapuk akan mulai beroperasi. (Reportase: Silawati)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved