Profile Entrepreneur

Kiat Sukses Pepeng Kembangkan Klinik Kopi

Kiat Sukses Pepeng Kembangkan Klinik Kopi

Klinik Kopi merupakan gerai kopi yang menyajikan aneka kopi Nusantara yang disuguhkan tanpa gula, susu, ataupun zat penambah rasa. Kopi yang disuguhkan oleh pengelolanya itu berbeda 360 derajat jika dibandingkan kopi dari kedai sejenis atau gerai kopi waralaba internasional. Sebab, Firmansyah, sang pemilik, memproses biji kopi hingga menjadi bubuk kopi tanpa banyak memakai mesin. Kopi diolah secara manual untuk mempertahankan citarasa kopi asli yang membuat kesengsem pelanggannya.

Firmansyah

Firmansyah alias Pepeng, pendiri klinik kopi

Selain itu, biji kopinya berasal dari berbagai daerah yang langsung dipasok para petani kopi. Sekadar kilas balik, Firmansyah bersama istrinya, Viviana Asri, pada 2013 mendirikan Klinik Kopi di Jalan Gejayan, Yogyakarta. Biji kopi diracik olehnya sesuai dengan pesanan konsumen yang bertandang ke gerai kopinya tersebut. Lantas, sambil meracik kopi, dia menceritakan asal muasal biji kopi di hadapan konsumen. Hal ini menggugah rasa ingin tahu pengunjung sehingga terjalin komunikasi dua arah.

Pepeng, demikian Firmansyah disapa dan dikenal konsumennya, memang acapkali menyambangi sentra kopi atau daerah pelosok yang berpotensi memproduksi biji kopi. Itu dilakukannya bersama istrinya sambil melancong dan berburu biji kopi. Hobi itu menginspirasi Pepeng untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan dan mendirikan Klinik Kopi.

Modalnya, “Rp 6-8 juta,” ujar Pepeng. Sebagian besar modal dibelanjakan untuk memborong biji kopi. “Saya memulai Klinik Kopi bersama istri dan dua karyawan,” tambahnya. Pada 2013, dia belajar otodidak dari pembuat kopi di Jawa Barat. Ia mempelajari teknik menanam, memupuk, memetik, mengolah dan menyuguhkan kopi.

Pepeng pertama kali memperoleh biji kopi dari Desa Nagari Lasi, Sumatera Barat. Saat ini, biji kopi dipasok dari Takengon, Situjuh, Solok, Ciwidey, Temanggung, Malang, Kintamani, Bajawa dan Baliem. “Kami sengaja tidak mengambil kopi dari daerah yang sudah terkenal di Indonesia karena masih banyak potensi kopi yang belum terkenal. Saat ini kami masih membina 16 titik wilayah di Jawa dan Sumatera yang akan kami publikasikan,” Pepeng mengungkapkan.

Nah, biji kopi yang didapatkannya itu tak hanya bercitarasa tinggi, tetapi juga menyimpan kisah atau sejarah. Dia kerap mengisahkan cerita di balik biji kopi yang dibuatnya tersebut. Walhasil, konsumennya semakin jatuh cinta pada Klinik Kopi. Kedai kopi ini pun semakin dikenal setelah menjadi lokasi syuting film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2). Pengunjungnya dua kali lipat berkat film tersebut. Menurut Pepeng, setiap hari rata-rata ada 80-100 pengunjung. Setelah film AADC 2 ditayangkan di bioskop, jumlah konsumen yang ingin menikmati kopi seharga Rp 15 ribu per gelas itu melonjak menjadi 200-350 orang/hari. “Tiap hari, kami menghabiskan sekitar 3 kg untuk 200 gelas,” ujar pria kelahiran Sleman 14 November 1979 ini.

Bertambahnya jumlah pengunjung turut mendongkrak omsetnya. “Kalau omset, saya tidak tahu karena istri yang mengelola keuangan. Pendapatan bersih dalam seminggu sekitar Rp 12 juta,” ujarnya. Jika mengacu hal itu, tiap bulan dia mengantongi Rp 48 juta. Setahun, pendapatan bersih Klinik Kopi sekitar Rp 576 juta.

Jam operasional kedai kopi ini pukul 4 sore hingga 8 malam. Kendati jam operasionalnya terbatas, Klinik Kopi menjelma jadi kedai kopi favorit bagi pencinta kopi yang ingin menikmati kopi sambil lesehan. Bisnis Pepeng berkembang berkat ketelatenannya mencari biji kopi, juga ketekunannya menyisihkan keuntungan untuk membeli lahan seluas 200 m2 di Jalan Kaliurang Km 7,5, Yogyakarta. ”Dana untuk membeli lahan di Kaliurang kami dapatkan dari keuntungan Klinik Kopi di lokasi yang pertama,” ungkapnya. Konsep Klinik Kopi, katanya, terinspirasi kedai kopi di Jepang, seperti Onibus, Sando dan Jokata. Dia mempelajari pola kedai kopi di Jepang yang umumnya menempati lahan yang tidak luas tetapi bisa menyuguhkan kopi berkualitas. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang menguatkan tekad Pepeng untuk menyempurnakan konsepnya.

Arsitektur bangunan di Kaliurang itu didominasi bambu. Yu Sing, sang arsitek, merancang bangunan Klinik Kopi dengan unsur-unsur alami. Hal ini selaras dengan keinginan Pepeng. Lahan yang tersisa ditanami aneka tanaman, antara lain cabe dan kunyit. Lokasi Klinik Kopi di Kaliurang berada di dalam gang. Suasana yang asri itu menambah daya pikat Klinik Kopi. Tak hanya itu, kedai kopi ini juga menawarkan pengalaman bernilai tambah bagi konsumen. Sebagai contoh, Pepeng senantiasa mengajak konsumen untuk berkunjung ke ruangan sangrai (roasting) yang terletak di belakang ruang utama.

Di awal perjalanan, dia membeli biji kopi di toko online. “Rasanya enak,” katanya. Akan tetapi, kualitasnya semakin menurun di pembelian berikutnya. ”Pembelian yang kedua dan ketiga kok rasanya tidak enak. Akhirnya, kami memutuskan membeli mesin roasting dari Bali di April 2014,” katanya. Dia diajari produsennya dalam menggunakan mesin sangrai tersebut. Mesin bermerek Williams seharga Rp 14 juta/unit itu dia beli agar bisa mengolah biji kopi berkualitas rendah tersebut.

Akan tetapi, akar permasalahan belum tuntas. Dia mengindentifikasi inti permasalahan biji kopi yang berkualitas rendah itu terletak di mata rantai distribusi yang didominasi tengkulak. Singkat cerita, Pepeng langsung membeli biji kopi ke petani. Alasannya, “Tengkulak tidak memahami kualitas biji kopi dan pengetahuan petani mengenai kopi sangat minim,” tutur lulusan D-3 Mesin Pesawat Terbang Universitas Nurtanio, Bandung, ini. Maka, dia mentransfer ilmu kepada petani di berbagai pelosok. Mereka diajari cara memilih bibit tanaman, menanam, dan memetik biji kopi. Itu dilakukannya tanpa memungut bayaran sepersen pun. Dia berpendapat setiap jenis kopi itu enak jika tepat mengolahnya

Pepeng lalu merekrut seorang petani. Nah, keberhasilan si petani ini menular ke rekan-rekan seprofesinya. Dia kini mengedukasi enam kelompok petani kopi yang menghasilkan 30 jenis biji kopi. Kisah sukses ini berlanjut dengan pendirian empat koperasi yang mengatur harga dan pengiriman kopi ke Klinik Kopi. “Kami terus membeli biji kopi dari mereka. Walau rasanya tidak enak, tetap kami beli dengan harga wajar. Misalnya, 1 kg kami beli seharga Rp 60 ribu. Kalau sudah enak, harganya kami naikkan menjadi Rp 85 ribu,” ungkapnya.

Dia menjual produknya di situs Klinikkopi.com dan media sosial. “Setiap hari, kalau open order, jumlah pemesanan bisa mencapai 100 orang dalam 8 jam. Kami membatasi pemesanan sesuai dengan ketersediaan stok,” katanya. Setiap biji kopi diberi nama sesuai dengan nama lokasi, aroma, atau nama petaninya. Rencananya, Pepeng akan melansir 10 biji kopi terbaru dari sejumlah daerah.

Pelan tetapi pasti, para petani telah menghasilkan kopi yang berkualitas. Laju bisnis Firmansah juga berjalan mulus. Menu Klinik Kopi dilengkapi aneka kue, bolu dan roti yang dibuat sang istri.

Yuswohady, pengamat pemasaran dari Inventure, mengategorikan Klinik Kopi sebagai gerai kopi bagi penggila kopi. ”Mereka kan tidak menyediakan gula dan susu. Itu cara sebenarnya menikmati kopi,” demikian ulasan Yuswo.

Target pasarnya pun sangat khusus. “Klinik Kopi itu unik dan market-nya niche, itu berbeda dengan Starbucks Coffee yang lebih massal. Menurut saya, Klinik Kopi ini story-nya sangat kuat dan memberikan edukasi untuk konsumen,” kata Yuswo. Ia menyarankan Pepeng untuk mempertahankan brand dan keunikannya demi menjaga keberlangsungan bisnis Klinik Kopi. (Riset: Yulia Pangastuti)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved