Entrepreneur

Mengonsolidasikan Perusahaan Keluarga Menjadi Grup Sintesa

Mengonsolidasikan Perusahaan Keluarga Menjadi Grup Sintesa

Shinta Widjaja Kamdani, anak sulung pasangan Johnny Widjaja dan Martina Widjaja, mulai terjun ke bisnis keluarga setelah menyelesaikan pendidikan di Amerika Serikat. Meski anak pemilik perusahaan, toh Shinta merintis karier dari bawah, hingga akhirnya memegang posisi tertinggi: Direktur Pengelola. Di bawah kepemimpinan Shinta, perusahaan keluarga ditransformasikan menjadi perusahaan yang dikelola oleh manajemen profesional, dan dikonsolidasikan dalam Grup Sintesa. Bagaimana lika-liku Shinta terjun ke perusahaan keluarganya, semua dituturkan kepada Rosa Sekar Mangalandum:

Biasanya anak pemilik perusahaan sudah pisah dari orang tua sejak kecil untuk bersekolah di luar negeri. Bagaimana Anda menghadapi tantangan ini?

Waktu SMA, saya dikirim orang tua ke luar negeri, tepatnya di sekolah di tengah kota yang tak ada apa-apanya, semua siswanya perempuan. Benar-benar seperti penjara. Saya tidak punya siapa-siapa. Saya didrop dengan kemampuan bahasa Inggris pas-pasan, padahal orang Asia di sekolah itu hanya ada satu. Benar-benar belajar jadi survivor dengan segala dinamika sekolah, termasuk bullying.

Shinta W. Kamdani

Perasaan Anda saat itu?

Saya sempat kecewa karena dipindahkan terlalu cepat oleh orang tua. Walaupun demikian, sekarang saya bisa melihat hasilnya, yaitu bisa bertahan di lingkungan yang tidak mudah.

Apalagi sebagian besar lulusan luar negeri kurang mengerti dan menguasai keadaan negerinya sendiri, bahkan mungkin sampai sekarang. Kalau saya bekerja di bank setelah lulus, mungkin saya tidak akan belajar cukup tentang bisnis dalam negeri. Tetapi karena harus berpromosi dan marketing ke berbagai daerah, saya berinteraksi langsung dengan orang-orang di lapangan. Dan pengalaman ini membawa perubahan besar dalam karier dan hidup saya. Saya jadi lebih mengenal Indonesia.

Bagaimana Anda terus belajar mengatasi tantangan ini sampai siap masuk bisnis keluarga?

Saat saya dikirim sekolah ke luar negeri, saya belajar sambil bekerja di luar perusahaan keluarga. Saya mengikuti magang (internship) sebagai trainee di Revlon dan Price Waterhouse, saat kuliah di AS dulu. Saya melakukannya supaya tidak membuang waktu. Karena itu, saya juga mendapat pengalaman praktik (practical experience) selain pengalaman di dalam kelas (classroom experience).

Setelah lulus kuliah, saya pun bisa terjun sepenuhnya ke perusahaan keluarga. Memang beberapa orang mengatakan bahwa saya lebih baik bekerja di luar bisnis keluarga dulu. Saya sudah melalui itu sehingga bisa berkonsentrasi untuk bisnis keluarga langsung setelah lulus.

Apa saja suka duka menjadi anak pemilik?

Saya memang lahir di keluarga pebisnis. Kakek saya mendirikan cikal-bakal perusahaan keluarga ini pada tahun 1919 dengan membuka perkebunan karet. Ayah saya meneruskan usaha kakek lewat trading mulai 1959. Wajar saja, keluarga besar saya biasa mengajak anak-anak ke kantor dan membicarakan bisnis di meja makan. Topik bisnis sudah jadi bagian dari rumah tangga. Kini saya pun melakukan hal yang sama dengan anak-anak saya.

Suka duka sebagai anak seorang pemilik perusahaan sudah terasa sejak SD. Seingat saya, saya mulai dengan berjualan kecil-kecilan di sekolah. Saya juga membantu pekerjaan administrasi, antar surat, dan filing di kantor orang tua. Itu normal. Namun, saya baru benar-benar mendapat hasil pada usia 13 tahun, waktu SMP, dari berjualan buku. Saya mesti berjualan langsung pada calon pembeli dari pintu ke pintu. Itulah pertama kalinya saya benar-benar terekspos untuk berjualan. Dan saya merasa bahwa berjualan adalah hal paling mudah. Sebab berjualan bisa dimulai pada usia berapa pun. Saya mengalami bukan hanya keberhasilan, tetapi juga kegagalan. Banyak juga yang enggak mau beli. Ada yang membeli karena kasihan pada saya yang masih kecil dulu itu. Kendatipun demikian, saya merasa benar-benar menghasilkan sesuatu. Sejak saat itu, tak ada liburan sekolah yang saya lewatkan tanpa bekerja. Saat kuliah di AS pun, saya tidak bekerja di perusahaan keluarga saja, tetapi di tempat lain juga. Sebab saya tak ingin berhenti menimba pengalaman meskipun sedang libur.

Setelah saya punya pengalaman sejauh ini, menjadi anak pemilik perusahaan sesungguhnya lebih berat. Harus berusaha lebih keras untuk menunjukkan bahwa saya mampu karena diri sendiri, bukan karena anak pemilik. Tantangan jadi jauh lebih besar.

Bagaimana proses Anda terus belajar sehingga bisa diterima di perusahaan keluarga?

Saya benar-benar memulai karier dari posisi bawah dan tidak bekerja langsung untuk orang tua saya. Artinya, unsur kerja profesionalnya pekat pada waktu itu. Setelah lulus, saya ditempatkan di bagian Promotion and Marketing di PT Tigaraksa Satria (perusahaan milik Johnny Widjaja yang menggarap consumer side) pada tahun 1989. Sebagai staf di posisi bawah, saya diperlakukan sebagaimana karyawan biasa.

Pada tahun itu, kelompok perusahaan ini memulai sebuah usaha baru di bidang direct sales dan multilevel marketing. Produk yang dipasarkan pertama kali adalah kosmetik. Saya dipromosikan dari posisi staf biasa dan mulai berkeliling setiap minggu ke berbagai daerah di Indonesia, tidak nge-base di Jakarta terus. Awak perusahaan, termasuk saya, banyak berurusan dengan kaum perempuan. Sales force perusahaan ini pun para perempuan. Pengalaman ini sangat menarik buat saya karena pada saat itulah saya benar-benar terekspos pada bisnis dan harus berkeliling.

Setelah menjalani kerja lapangan di anak perusahaan kosmetik milik keluarga, saya mulai menaiki jenjang karier yang lebih tinggi pada 1993. Saya juga melalui berbagai tahap promosi sampai mendapat posisi yang cukup senior. Setelah bekerja sekitar lima tahun, barulah saya masuk lebih dalam ke jajaran manajemen. Dari tugas manajerial, barulah saya menjabat Managing Director seperti saat ini.

Bagaimana Anda bisa keluar dari bayang-bayang orang tua?

Setelah bekerja sekian bertahun-tahun, barulah saya menaiki jenjang karier saya. Sampai akhirnya sekitar tahun 1993, saya bekerja untuk ayah saya dan saya melapor langsung padanya. Itu merupakan hal penting dalam hidup saya. Karena bekerja untuk dia, saya pun harus melihat persoalan dengan kacamata yang sedikit berbeda. Makin tajam melihat sisi strategis perusahaan.

Ada pengalaman menarik yang menunjukkan bagaimana Anda berhasil melakukannya?

Ada turning point penting yang terjadi tahun 1999. Saya melihat bahwa struktur perusahaan kala itu mengandung banyak independent operating company. Tidak ada unifikasi dalam bentuk holding. Pada saat itulah, saya mengkonsolidasikan holding kami dan saya membuat satu pemetaan yang saya rasa mesti dituju perusahaan ini ke depan. Di situlah lahir Sintesa Group.

Pada saat Sintesa Group lahir, sebenarnya saya membawa satu konsep pada ayah saya. Setelah berpengalaman sekian lama bekerja di perusahaan keluarga, saya melihat ini hal-hal yg perlu diperbaiki. Seperti itulah konsep saya ke masa depan.

Ini titik balik bagi saya karena harus mengeluarkan jiwa kewirausahaan. Tidak hanya sebagai seorang karyawan, tetapi sebagai pemilik juga. Kacamatanya jelas berbeda. Ayah saya mulai melihat saya sebagai mitra, tidak hanya sebagai bawahan ataupun anak. Boleh dibilang, ini turning point untuk kelompok perusahaan keluarga juga sebab holding company di-branding ulang dengan nama Sintesa Group.

Siapa yang menjadi mentor sehingga Anda berhasil melewati masa-masa krisis?

Yang menjadi mentor pertama saya justru bukan ayah. Waktu masih baru masuk perusahaan keluarga, kebetulan saya mendapat atasan ekspatriat yang sangat profesional. Dia tidak peduli entah saya anak pemilik atau bukan, pokoknya harus profesional. Dia bos yang keras sekaligus mentor yang pertama. Ini tidak mudah karena saya harus siap lembur, “mengotori tangan”, tidak boleh berleha-leha untuk menunjukkan bahwa saya mampu. Bagaimanapun juga, inilah yang bagus bagi saya.

Tambahan lagi, orang tua saya pun sangat disiplin. Mereka tidak turut campur sama sekali, apalagi dari segi promosi. Mereka bilang, “Kalau anak ini tidak bisa bekerja, keluarkan saja.”

Maka, saya merasa begitu bangga pada promosi pertama sebab saya berhasil karena kemampuan sendiri. Tidak ada pengaruh orang tua sedikit pun. Ayah sendiri tidak tahu apa yang saya kerjakan. Menurut saya, penting bahwa anak pemilik dididik dan digembleng dalam situasi layaknya karyawan biasa.

Apa terobosan terbesar yang telah Anda lakukan untuk memajukan bisnis keluarga?

Awalnya Sintesa Group adalah perusahaan keluarga yang dirintis kakek saya sejak 1919 dengan perkebunan karet. Ayah saya mulai terjun di perusahaan pada 1959 dengan trading. Tahun 1999 Sintesa Group berdiri. Pada saat itu pula, Sintesa fokus pada empat pilar. Pertama adalah consumer products yang dikenal sebagai Tigaraksa (bersama saudara-saudara lain). Kedua industrial products yang berupa listed company juga. Ketiga adalah perusahaan properti, termasuk pengelolaan hotel. Keempat perusahaan energi yang berfokus pada green energy.

Kini saya melakukan transisi dari bisnis keluarga menjadi pengelolaan profesional (professional management). Contohnya, semua pejabat eksekutif di PT Tigaraksa adalah profesional. Ini sedang dicoba terapkan di keseluruhan kelompok usaha. Ini soal bagaimana beralih dari bisnis keluarga menjadi satu perusahaan bermanajemen profesional.

Bedanya, kepemimpinan saya lebih nyata, tanpa one man show. Setelah mencapai posisi puncak, saya pun punya suatu komite eksekutif yang mapan. Keputusan diambil bersama walaupun saya tetap pemimpin mereka pada akhirnya. Keadaan sekarang sangat berbeda dari zaman ayah saya dulu.

Melakukan profesionalisasi tidak berarti Sintesa ingin menjadi organisasi yang rigid dengan segala macam birokarasi. Dasar-dasar yang biasa dilakukan secara kekeluargaan, termasuk akses terhadap owner, tetap bisa diperoleh walaupun berlaku arahan, sistem, dan bechmark. Contohnya, ketika keluarga mengadakan acara, karyawan ikut diundang. Saya tidak merasa perlu menghentikan ini karena karyawan punya perasaan bahwa they belong to a big family.

Elemen kunci terpenting bagi saya adalah SDM. Saya selalu percaya tanpa the right people in the right place, perusahaan sulit berhasil. Perusahaan tak bisa bergerak sendiri. Dalam transisi budaya dan sistem yang baru, peralihan tidak mudah. Perlu terobosan tetap menghargai nilai yang ada dulu kemudian terapkan sistem lebih profesional. Contohnya key performance indicator (KPI). Dulu ayah saya tidak paham soal ini karena tidak ada yang namanya KPI. Kalau karyawan dapat bonus, mereka mendapat begitu saja tanpa tahu alasannya. Tapi, sekarang semua karyawan harus bekerja berdasarkan KPI. Nah, persoalan sekarang, bagaimana supaya semua bisa bekerja sesuai KPI.

Saya percaya, karyawan harus punya jiwa kewirausahaan juga agar dia merasa perusahaan ini miliknya. Kewirausahaan tidak selalu berarti karyawan harus punya usaha sendiri di luar Sintesa. Mereka bisa jadi wirausaha dalam perusahaan ini. Caranya, karyawan diberi kesempatan berupa proyek-proyek di luar fungsi mereka. Namun, tetap di lingkup minat karyawan bersangkutan. Misalnya, seorang HR Director saya dulu diberi kesempatan memegang perusahaan yang baru diakuisisi, dari nol. Dia bertanggung jawab mulai dari memasukkan sistem, menjalankan pemasaran, finance sampai semuanya. Akhirnya, ia merasa perusahaan ini benar-benar miliknya. Kalau bisnis jadi besar, itu karena mereka juga. Segi sistem remunerasi pun akan dikaitkan dengan ini. Saya memandang ini salah satu terobosan untuk menghidupkan semangat kewirausahaan dalam perusahaan.

Di Indonesia, semangat kewirausahaan di perusahaan kurang hidup. Pasalnya, pekerja merasa cukup puas dengan masuk perusahaan saja. Masuk jam sekian, pekerjaan ini, ya sudah. Tidak ada kreativitas.

Bagaimana Anda meneruskan nilai-nilai yang diwariskan dari keluarga di perusahaan?

Saya harus mempertahankan warisan (legacy) nilai yang dijunjung keluarga sejak perusahaan berdiri. Sintesa Group punya konstitusi keluarga (family constitution). Di dalam konstitusi ini, keluarga mematangkan hal-hal terkait keluarga yang juga penting untuk memonitor bisnis keluarga. Kesepahaman (understanding) antaranggota keluarga ada dalam konstitusi. Maka, ada family forum yang terpisah dari perusahaan.

Di dalam perusahaan, posisi saya dan keluarga adalah investor. Namun, kacamata pemegang saham sedikit berbeda karena mereka tidak melihat operasi perusahaan dari hari ke hari. Maka, tujuan mereka adalah memperoleh return.

Untuk itu, kunci terpenting adalah membedakan “topi” mana yang dipakai, “topi” shareholder atau eksekutif? Banyak konflik dalam bisnis keluarga sebab pemilik memakai “topi” shareholder, tapi ingin memakai “topi” eksekutif pula secara bersamaan. Jika bertahan seperti itu, potensi konfliknya besar. Solusinya, dia harus memutuskan akan masuk sebagai pemegang saham atau eksekutif dalam bisnis keluarga ini.

Bagi saya, jalan akhirnya adalah memprofesionalisasi kelompok perusahaan secara menyeluruh. Profesionalitas dilihat dari SDM, itu nomor satu. Tetapi, tidak hanya itu. Sistem harus profesional juga. Kebanyakan perusahaan keluarga menerapkan sistem kerja otodidak. Biasanya, pemilik mengatakan sesuatu, semua karyawan harus patuh. Akibatnya, one man show terlalu sering terjadi. Sintesa tidak seperti itu sebab kelompok ini sedang menerapkan sistem dan kepemimpinan yang demokratis.

Satu hal yang tak kalah penting dalam transisi bisnis keluarga ini menuju manajemen profesional adalah budaya yang ingin diterapkan. Nilai tetap nomor satu karena saya ingin nilai-nilai perusahaan terus ada dalam perusahaan profesional. Bagi Sintesa, ada empat nilai keluarga yang menjadi jiwa perusahaan, yakni excellence, empowerment, entrepreneurship, dan empathy. Keempatnya harus dipegang.

Seperti apa hasilnya sejauh ini?

Di Sintesa, semangat kewirausahaan mulai tampak. Jalannya masih jauh, tapi saya cukup gembira karena sebagian sudah mulai berjalan. Semangat karyawan mulai tampak berbeda. Mereka tidak “disuapi” terus-menerus, justru punya ambisi supaya proyek bisa sukses secara menyeluruh. Di samping itu, karyawan menumbuhkan passion terhadap hal yang mereka lakukan.

Bagaimana pergulatan Anda meyakinkan karyawan?

Yang penting bagi saya sejak dulu memang bagaimana bisa diterima sebagai diri saya di antara karyawan yang lain, bukan sebagai anak pemilik perusahaan. Yang sulit adalah kalau dianggap mempunyai hak istimewa yang tidak dimiliki karyawan. Karyawan berpikir bahwa sebenarnya saya tidak punya kemampuan, tapi karena anak pemilik, ya diberi pekerjaan saja. Bagi saya, yang terberat adalah untuk menunjukkan bahwa ini memang kemampuan saya.

Saya mengalami banyak peristiwa ketika berusaha diterima karyawan. Satu pengalaman spesifik yang bisa saya bagikan, saya pernah harus mengerjakan tugas tertentu. Berhubung perusahaan ini sudah cukup besar saat itu, beberapa kali, para karyawan senior tidak kenal siapa saya. Saya pernah dicaci maki sampai disuruh keluar ruangan. Memang, saya tidak memperkenalkan diri sebagai anak pemilik.

Ya, pasti ada saja yang dialami staf posisi bawah. Sempat saya berpikir, “Gila, saya sampai diperlakukan macam begini.” Ini bisa menandakan bahwa staf posisi bawah lainnya juga diperlakukan sedemikian rupa oleh para senior. Senior bisa melakukan hal ini pada siapa saja.

Yang lucu, saya pernah dengar cerita-cerita dan omongan karyawan yang menjelekkan pemilik. Kebetulan saya ada di situ dan mereka belum tahu siapa saya. Tidak semua karyawan kenal wajah anak pemilik. Hal-hal semacam ini pasti terjadi di banyak tempat.

Inilah pentingnya punya pengalaman di posisi bawah. Saya jadi melihat bagaimana diperlakukan oleh staf yang lebih tinggi.

Bagaimana pergulatan meyakinkan saudara-saudara bahwa Anda kompeten sebagai direktur?

Saya hanya dua bersaudara. Adik perempuan saya seorang artis (Paquita Widjaja). Eksposur yang diberikan orang tua sama saja. Namun, adik saya bertalenta tinggi dan menyukai seni dan entertainment. Maka pada akhirnya, ia tidak terjun ke bisnis kerluarga. Perlakuan orang tua sama, tapi anak punya jalan masing-masing.

Persaingan dengan saudara semasa kecil tentu ada, normal saja. Semua keluarga di mana pun mengalaminya juga. Tapi, berhubung saya dan adik berbeda usia 3,5 tahun, dia memandang saya seperti orang tua baginya, apalagi setelah dia pindah ke AS. Saya menjaga dia. Walaupun persaingan (rivalry) ada, saya mendukung satu sama lain dengan adik. Ikatan persaudaraan terasa lebih kuat. Dia tidak menganggap saya saudara biasa, melainkan seseorang yang perlu didengar. Setelah menginjak usia dewasa, persaingan tidak terjadi sesering waktu kecil lagi. Tambahan lagi, dunia kami berbeda. Saya menggeluti bisnis, sementara Paquita benar-benar artis. Kami saling menghargai jalan masing-masing. §


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved