Profile Company Profil Profesional

Manusia 10 Triliun Dolar

Manusia 10 Triliun Dolar

Tersingkir secara menyakitkan menjadi bensin yang memotivasinya untuk menjadi lebih hebat. Kepiawaian serta kejelian membaca pasar mengantarkannya pada kesuksesan yang tak terbayangkan.

Laurence Douglas Fink, Founder dan CEO BlackRock Inc. (Foto; Damon Winter/The New York Times).

Laurence Douglas Fink, nama lengkapnya. Namun dalam keseharian, orang menyebutnya Larry Fink. Lelaki kelahiran 2 November 1952 ini bukanlah sosok biasa. Sudah lama dia disebut sebagai “King of Wall Street”. Belakangan, julukannya bertambah: “Manusia 10 triliun dolar”.

Bukan tanpa alasan julukan itu disematkan. Larry adalah Founder dan CEO BlackRock Inc., perusahaan investasi dengan kinerja yang benar-benar luar biasa. Layaknya perusahaan investasi, BlackRock memutar uang investor di beragam aset, mulai dari saham hingga obligasi.

Menariknya, jumlah dana yang diputar (lebih sering disebut sebagai Asset Under Management/AUM) bukan main-main: pada akhir 2021 mencapai US$ 10 triliun (Bloomberg, 14 Januari 2022). Bila dirupiahkan dengan kurs Rp 14.383, nilainya mencapai Rp 143 kuadriliun (Rp 143 ribu triliun). Ini adalah angka yang gigantik dan belum sanggup disamai perusahaan sejenis, seperti Goldman Sachs serta JPMorgan Chase.

Fantastis? Ya, sudah tentu. Bayangkan, andai BlackRock sebuah negara, size dana kelolaannya tersebut disebut-sebut setara dengan PDB tahunan perekonomian terbesar ke-3 di dunia, setelah Amerika Serikat dan China! Sebagai informasi, pada 2021, PDB AS mencapai US$ 22,9 triliun, sementara China US$ 16,9 triliun. Adapun Jepang US$ 5,1 triliun.

Dana kelolaan BlackRock bahkan ditaksir setara dengan total aset yang dikelola Sovereign Wealth Fund (SWF) di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, SWF disebut Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dengan target dana kelolaan mencapai Rp 150 triliun di tahun 2022, naik dua kali lipat dibandingkan pada 2020 (Rp 80 triliun).

Dengan dana kelolaan sebesar itu, sangat pantas Larry dijuluki “Manusia 10 Triliun Dolar”. Portofolio dana kelolaan itu sendiri beragam. Namun, 34% ditempatkan di instrumen pendapatan tetap seperti obligasi dan 50% di saham publik.

Untuk yang terakhir ini, Larry mengarahkan BlackRock berinvestasi hampir di setiap negara di muka bumi ini. Di AS sendiri, mereka memiliki saham di perusahaan-perusahaan publik papan atas di Wall Street seperti Amazon, Apple, Alphabet (induk Google), dan Tesla. Faktor inilah yang membuat Larry dijuluki sebagai “King of Wall Street”.

Jalan yang dilalui Larry hingga ke posisi ini tidaklah mulus dan lempang. Juga, tidak dalam semalam, dan menyakitkan. Dibesarkan di Van Nuys, California, ayahnya seorang pemilik toko sepatu, sementara ibunya guru bahasa Inggris. Selepas meraih gelar Sarjana Ilmu Politik dari Universitas California, Los Angeles (UCLA) tahun 1974 dan MBA di bidang Real Estate UCLA Anderson Graduate School of Management tahun 1976, Larry bergabung dengan First Boston, sebuah bank investasi, pada 1976.

Kecerdasan mengantar dirinya dengan cepat menjadi pedagang sekuritas berbasis mortgage papan atas di Wall Street. Selama satu dekade sejak 1976, Larry bahkan menorehkan namanya menjadi legenda. Bersama Lew Ranieri dari Salomon Brothers, Larry dianggap berperan mengembangkan debt-securitization market yang mentransformasi wajah keuangan global.

Di First Boston, Larry terus membangun reputasi dan merentang karier dengan cepat. Di usia 31 tahun, atau hanya tujuh tahun setelah masuk, dia melesat menjadi anggota Komite Manajemen dan Managing Director The First Boston Corporation. Dia juga membangun Financial Futures and Options Department, serta mengepalai Mortgage and Real Estate Products Group. Kepiawaiannya memberikan banyak nilai tambah kepada First Boston.

Namun, semua cerita indah itu buyar di tahun 1986 sewaktu departemen yang dipimpinnya merugi US$ 100 juta karena prediksi yang keliru atas tingkat suku bunga. Hanya dalam semalam, karier dan citra menawannya runtuh. Larry menyebut status dirinya, “dari seorang bintang menjadi orang berengsek”. Orang-orang yang dulunya ramah, meninggalkannya. Bahkan, enggan berbicara dengannya. Dia dianggap seorang penyakitan.

Setelah dua tahun menjadi orang yang tak disukai, Larry meninggalkan First Boston di tahun 1988. “Sungguh sangat menyakitkan,” ujarnya mengenang. “Saya tak diperlakukan sebagai partner atau dihargai sepantasnya. Hubungan kerja berubah begitu cepat, dan tak bisa saya kendalikan.”

Diakuinya, selama dua tahun itu dia kehilangan kepercayaan diri. Pergi adalah keputusan terbaik sekalipun dia mengaku masih punya perasaan yang mendalam. “Saya cinta First Boston.” (Vanity Fair, April 2010).

Di luar, isu yang berkembang adalah dia dipaksa pergi, alias dipecat. Sejumlah pihak menyebut pemecatan tersebut kelak menjadi kekeliruan terbesar dalam sejarah Wall Street. Apa pun, orang yang mengenalnya menyebut setelah keluar dari First Boston, Larry seakan ingin “mengecat ulang kehidupannya”. Dalam dirinya terpateri semangat membara untuk membalas perlakuan yang diterimanya.

Di tempat berbeda, di tahun 1988, Blackstone tengah mengembangkan diri. Dibesut oleh Stephen Allen Schwarzman di tahun 1985, Blackstone adalah sebuah perusahaan investasi. Schwarzman sendiri sebelumnya adalah bintang di Lehman Brothers. Kelahiran 1947 ini tengah menapak menjadi CEO Lehman Brothers sebelum terdepak karena pertarungan politik di perusahaan tersebut.

Di tahun 1988, Schwarzman tengah menyiapkan pengembangan Blackstone. Dia tak ingin perusahaannya hanya sebagai private equity biasa. Dia ingin mengembangkan divisi asset management. Dia mencari talenta terbaik untuk mengelola bisnis ini. Larry Fink adalah sosok yang dicarinya, yang kebetulan bernasib sama dengan dirinya: terpental dari perusahaan sebelumnya.

Setelah bertemu Larry, Schwarzman menawarkan untuk membangun sebuah perusahaan joint venture. Namanya, Blackstone Financial Management. Dana US$ 5 juta digunakan sebagai modal awal. Larry menerima tawaran ini.

Dalam kurun lima tahun, Larry mampu memutar roda perusahaan. Uang yang dikelolanya terus membengkak dari waktu ke waktu hingga mencapai US$ 8 miliar.

Prinsip yang digunakan Larry dalam berinvestasi adalah perpaduan antara kesadaran pada risiko serta kalkulasi yang cermat. Dia belajar dari kesalahannya selama di First Boston. Yang menarik, dia menjadi pelaku industri keuangan yang mengandalkan statistik dan algoritma dalam mengambil keputusan investasi ketika pelaku lainnya belum terlalu memanfaatkannya.

Pejalan kaki yang berjalan dengan payung melewati taksi di depan kantor BlackRock Inc. di New York. (SCOTT EELLS — BLOOMBERG)

Perlahan-lahan, kesuksesan mereka raih. Dalam perjalanannya pula, Larry kemudian mengusulkan Schwarzman untuk memberikan stock option kepada karyawan yang bernilai dan berkontribusi tinggi pada perusahaan.

Usul ini ditolak. Schwarzman adalah investment banker. Cara berpikirnya tradisional. Sementara Larry tipikal trader yang penuh perhitungan, tapi progresif. Namun, Larry tak hilang akal. Dia mencari jalan melingkar. Dicarinya pembeli untuk mengambil aset Blackstone.

Di tahun itu, Pittsburg National Corporation (PNC), sebuah perusahaan keuangan, sedang aktif membeli perusahaan. Larry merasa PNC adalah mitra yang tepat untuk mengambil kendali Blackstone Financial Management. Mereka pun bergabung, menawarkan ratusan juta dolar kepada Schwarzman untuk mengambil Blackstone Financial Management.

Schwarzman yang hanya menginjeksi US$ 5 juta saat memulai Blackstone Financial Management mulanya merasa enggan menanggapi tawaran itu. Namun, tawaran itu benar-benar menggiurkan. Dia pun setuju menjual bisnis manajemen asetnya kepada PNC. Inilah kesalahan terbesar dalam karier Schwarzman. Dia tak akan pernah menyangka, divisi kecil ini akan menjadi raksasa yang kelak membuat Blackstone seperti kurcaci.

Tahun 1994, Blackstone Financial Management menjadi BlackRock. Sebuah perusahaan kecil dengan delapan karyawan, yang bergerak sebagai manajemen aset. Perjalanan pun dimulai. Sesuatu yang tak disangka akan menjadi sesukses seperti sekarang.

Titik awal pijakan yang penting bagi perusahaan baru ini adalah membeli aset-aset bermasalah milik GE Capital di Kidder, Peabody Co. yang ingin dibersihkan oleh Jack Welch. Dibeli GE pada 1986, mulanya Jack berharap perusahaan ini akan solid. Nyatanya, manajemennya amburadul. Mereka terlibat skandal pemalsuan catatan rugi-laba dan terlibat insider trading. Jack ingin membuangnya. Namun, siapa yang mau beli?

Mulanya, Paine Webber, perusahaan investment banking, ingin membelinya. Namun, tidak termasuk obligasi sampah yang di dalamnya ada collateralized mortgage obligation (CMO) senilai US$ 10 miliar. Kesepatakan pun gagal.

Jack adalah leader hebat. Meski demikian, dia bukan maestro keuangan yang bisa membereskan aset sampah yang kompleks itu. Setelah kesepakatan dengan Paine Webber tak tercapai, tak ada perusahaan Wall Street yang bersedia menyentuhnya mengingat aset ini kompleks sehingga disebut “toxic” (beracun). Kecuali satu perusahaan… BlackRock.

Sebagai salah seorang pionir CMO, Larry tahu cara menyelesaikannya. Bersama tim analisis kuantitatif, mereka melakukan financial engineering: evaluasi ulang portofolio sekaligus memaketnya menjadi beragam aset derivatif baru. Cara ini berhasil. GE bisa menjual aset-aset ini secara bertahap dan menekan kerugian.

Keberhasilan ini membawa reputasi Larry dan BlackRock melesat. Financial engineering menjadi keunggulan kompetitif Larry yang luar biasa di Wall Street. Buat perusahaan-perusahaan yang memiliki aset bermasalah, mereka tahu kepada siapa harus meminta bantuan: Larry. Hanya tiga tahun setelah berpisah dari Blackstone (1997), dana kelolaan BlackRock melejit jadi US$ 46 miliar.

Melihat perkembangan yang ada, perusahaan induknya, PNC, bertindak cepat: menggabungkan divisi wealth management-nya ke dalam BlackRock. Maka, aset BlackRock menjadi US$ 145 miliar. Langkah besar Larry berikutnya adalah membawa BlackRock go public pada 1999 di Bursa New York, yang menjadikannya perusahaan manajemen aset terbesar kelima yang melantai di bursa.

Menjadi nomor lima tak membuat Larry puas. Dia ingin menjadi nomor wahid. Dalam waktu lima tahun, BlackRock dibawanya berkembang dengan dana kelolaan US$ 400 miliar. Tahun-tahun berikutnya, BlackRock pun bahkan dijuluki monster yang menjadi lebih besar dan lebih besar lagi.

Pada akhirnya, BlackRock bukan cuma monster. Ia menjadi titan yang gigantik, dan jalan itu terjadi saat krisis 2008 menghantam AS. Larry diminta Pemerintah AS membereskan persoalan yang dipicu subprime mortgage itu. Selain sukses membantu American International Group (AIG) dari kebangkrutan lewat bailout US$ 180 miliar, BlackRock berada di sejumlah deal penting di Wall Street, seperti penjualan Bear Stearns kepada J.P. Morgan, penyelamatan Citigroup senilai US$ 45 miliar, serta penjualan Fannie Mae dan Freddie Mac senilai US$ 112 miliar.

Momen ini tidak hanya makin meninggikan reputasinya, tapi juga membuka jalan bagi Larry untuk menjadi Rajanya Wall Street. Ini terjadi setelah kejelian Larry melihat pasar sudah berubah drastis dan dia harus bermain lincah.

Selepas 2008, pasar fixed income derrivatives dijauhi. Dia melihat peluang besar datang dari Exchange Traded Fund (ETF). Ini adalah produk reksa dana yang kinerjanya mengacu pada indeks tertentu. Contohnya, ETF S&P 500. Itu artinya saham-saham yang ada dalam produk investasi tersebut berisi semua saham konstituen indeks S&P 500 dengan bobot tertentu. Artinya, jika seorang investor membeli ETF S&P 500, bisa dikatakan secara tidak langsung dia memiliki 500 perusahaan.

BlackRock pun merajalela di sini. Pada 2014, mereka memiliki setengah ETF yang diperdagangkan di bursa AS, yang berarti menguasai begitu banyak perusahaan go-public di bursa. Bahkan tak sampai di situ, BlackRock terus mengembangkan sayapnya ke banyak negara.

Alhasil, perlahan tapi pasti, Larry pun menjadi penguasa dunia keuangan. Julukannya tak cukup lagi sebagai “Raja Wall Street”, melainkan “J. P. Morgan abad ke-21”. Ini mengacu pada sosok John Pierpont Morgan, seorang titan industri keuangan, yang membantu Pemerintah AS melewati krisis keuangan di penghujung abad ke-19. Perusahaan rintisannya kini menjadi JP Morgan, Chase & Co.

Selain kepiawaian berinvestasi, strategi akuisisi menjadi fondasi Larry mengembangkan BlackRock. Dia begitu agresif, mulai dari membeli State Street Research & Management Co. senilai US$ 375 juta (2004), mengakuisisi Merrill Lynch Investment Manager (2006), membeli Quellos (2007), dan yang terkenal adalah mencaplok bisnis pengelola aset global Barclays (2009).

Di samping langkah agresif ini, hal yang juga turut berperan penting bagi kesuksesan BlackRock adalah Aladdin. Sistem komputerisasi yang mereka gunakan sejak 1999 ini adalah sistem dengan sedikitnya 5.000 komputer yang menyala 24 jam, diawasi para teknisi, matematikawan, analis, serta programmer. Di sini, mereka mengevaluasi kinerja saham dan aset investasi lainnya, juga memonitor jutaan perdagangan setiap hari sekaligus menjaga keamanan setiap portofolio klien sehingga memberikan return bagus dan menghindari efek buruk perubahan yang memengaruhi ekonomi.

“Apa yang dialaminya di First Boston adalah peristiwa yang membuat Larry menjadi sekarang ini,” ujar salah seorang temannya, Greg Fleming, mantan Presiden Merrill Lynch dan Morgan Stanley Wealth Management. Ya, rasa sakit telah membuat Larry berkembang hingga batas yang tak pernah dia impikan sekalipun.

Larry sendiri menyebut dua nama yang memengaruhi hidupnya hingga menjadi seorang leader industri keuangan yang luar biasa. Dalam satu kesempatan wawancara dengan Bloomberg Markets, dia mengatakan, tidak pernah menirukan gaya kepemimpinan siapa pun, tapi dia memiliki dua panutan. Pertama, Lee Kuan Yew. Kedua, Phil Jackson, eks pelatih Chicago Bulls era Michael Jordan. Lee Kuan Yew mampu mengubah Singapura menjadi negara yang disegani. Sementara Phil Jackson sanggup mengumpulkan para juara menjadi tim yang hebat. “Buat saya, itulah yang disebut kepemimpinan,” ujarnya.

Kini, setelah berdiri 28 tahun, BlackRock telah menjadi kaisar industri keuangan. Menariknya, kendati telah merajai industri keuangan, Larry sepertinya belum akan berhenti membuat BlackRock terus berkembang. Sekarang dia terus memantau perkembangan aset kripto. Pada Mei 2021, dia mengungkap tengah mempelajari Bitcoin untuk menentukan apakah aset itu dapat menawarkan manfaat dan apakah memungkinkan Bitcoin memainkan peran dalam investasi jangka panjang seperti halnya emas.

Si “Manusia 12 Triliun Dolar” yang memiliki kekayaan pribadi US$ 684 juta (US$ 9,1 triliun) ini tampaknya memang selalu jeli melihat semua potensi untuk melangkah di depan dalam urusan menubruk cuan. Namun, layaknya sebuah kesuksesan, di samping tepuk tangan tanda kekaguman, ada juga skeptisisme yang menyorotinya dengan cemas, terutama menyangkut kekuatan serta kekuasaan finansial yang dipegangnya, yang pengaruhnya begitu luar biasa. Ada yang bertanya dengan nada serius: “Dengan power yang dimilikinya seperti sekarang ini, siapa yang bisa mengontrol Larry Fink?” (*)

Teguh S. Pambudi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved