Profile Editor's Choice

Sri Mulyani dan Lingkungan Keluarga yang Membesarkannya

Sri Mulyani dan Lingkungan Keluarga yang Membesarkannya

Sri Mulyani Indrawati. Sosok yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik, semenjak dia mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI, dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010. Pro dan kontra muncul sebagai respon terhadap pengunduran diri wanita yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Namun, ia lebih mengikuti hati nuraninya. Ia tak mau diombang-ambingkan oleh kepentingan politik segelintir orang, apalagi jika itu bertentangan dengan etika yang diyakininya. Dalam pertarungan kepentingan politik, dan ia memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat prestisius di pemerintahan. Toh, ia tetap mengaku menang. Bukan karena ia akan menjabat sebagai Managing Director World Bank pada 1 Juni 2010 nanti, tapi karena ia tetap berhasil memegang prinsip-prinsip dan etika yang diyakininya. Ia menang karena tidak bisa didikte oleh siapapun, termasuk orang yang menginginkannya. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang, ia menegaskan ketika mengakhiri kuliah umumnya di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 18 Mei 2010.

Sri Mulyani Indrawati saat kuliah umum di Auditorium Djoko Soetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, (26/7).

Sri Mulyani Indrawati saat kuliah umum di Auditorium Djoko Soetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, (26/7).

Tentu saja, sosok Sri Mulyani seperti yang sekarang, tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga, bagaimana pasangan Prof. Satmoko (alm.) dan Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko (alm.) membentuk karakter Sri Mulyani dan saudara-saudaranya. Awal tahun 2009, Sri Mulyani, yang saat itu selain menjabat sebagai Menkeu juga merangkap menjadi Pelaksana Harian Menteri Koordinator Perekonomian RI, ia bererita kepada wartawan SWA, Eva Martha Rahayu dan Kristiana Anissa, tentang bagaimana orangtuanya itu mendidik dirinya dan saudara-saudaranya.

Ayah-ibunya tersebut adalah guru besar Universitas Negeri Semarang (dulu IKIP Semarang). Dan, pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menggambarkan sebagian perjalanan hidup keluarga itu. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya juga tumbuh menjadi orang-orang yang berprestasi dan berpendidikan tinggi. Hebatnya, di bangku sekolah dan kuliah, prestasi mereka selalu menonjol, sehingga biaya sekolah gratis dan mendapat beasiswa kuliah di dalam dan luar negeri.

Mayoritas kakak dan adik Sri Mulyani menyandang gelar master dan doktor. Hanya satu orang yang bertitel sarjana dan seorang lagi bergelar professor. Meski profesi mereka beragam, rata-rata mereka juga mengabdikan diri sebagai pendidik sebagaimana ayah-ibu mereka.

Untuk urusan profesi, Bapak dan Ibu Satmoko cukup ketat. Mereka menganjurkan putra-putrinya menjadi dokter, insinyur dan dosen. Alasannya, ketiga profesi itu pada masa tersebut sangat dihormati secara sosial. Lantas, bagaimana tanggapan orang tua terhadap profesi Sri Mulyani sebagai menteri? Orang tua menganggap jabatan menteri adalah tugas negara. Sebenarnya cita-cita saya dulu menjadi dosen. Kalau menteri itu kan soal garis tangan aja kali ya, ungkap ibu tiga anak yang masuk dalam daftar 100 Wanita Paling Berpengaruh di Dunia versi Majalah Forbes itu.

Mengenai pilihan universitas, Bapak dan Ibu Satmoko menyarankan anak-anaknya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa bagian barat. Mengapa? Pertimbangannya, biaya universitas swasta mahal. Kedua, sistem perkuliahan universitas di Jawa bagian selatan kurang terbuka, kurang demokratis, kurang cepat, dan mendewakan dosen.

Sebenarnya, pasutri Satmoko membesarkan anak-anak mereka secara biasa saja. Kehidupan mereka layaknya keluarga normal lain, sehingga tidak ada yang istimewa. Namun, menurut Sri Mulyani, ada tiga poin penting dalam cara orang tuanya mendidik anak. Pertama, anak-anak dididik untuk selalu bersama dan bersatu. Ini mengingat ekonomi mereka tidak melimpah, karena mereka 10 bersaudara dan orang tua berprofesi sebagai dosen. Kedua, selain dianjurkan jempolan dalam mata pelajaran sekolah, anak-anak diarahkan untuk aktif dalam kegiatan di luar sekolah. Misalnya, voli, basket, hiking, pramuka, Palang Merah Remaja dan paduan suara. Ketiga, membaca dijadikan sebagai kebiasaan atau hobi. Kompas dan Suara Merdeka menjadi bacaan wajib keluarga itu, sedangkan bacaan lain di saat kecil dan remaja adalah Majalah Bobo, Kuncung, Gadis, dan buku-buku nonmata pelajaran.

Dari segi nilai-nilai hidup yang diajarkan, sebagaimana orang Jawa pada umumnya, ayah Sri Mulyani memberi petuah kepada anak-anaknya agar menjadi manusia yang tinggi tepo sliro-nya (peka atau memahami lingkungan sekitar) dan hidup sederhana. Kami memang dibiasakan hidup dengan apa yang kami miliki, tidak berangan-angan yang macam-macam, jujur, tidak mengambil milik orang lain, dan tidak materialistis, ujar kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962, yang mengaku dulu tidur bersama empat saudaranya dalam satu kamar itu.

Meja makan menjadi ajang menghangatkan keluarga besar ini. Mereka berkumpul dan berkomunikasi akrab. Jika ayah dan ibu mereka tidak mengajar, pasti semuanya makan siang bersama. Setiap anak menceritakan apa yang dialami dalam hari itu dan ayah-ibu menceritakan pekerjaannya, misalnya soal rekan-rekan mereka yang bermasalah, mahasiswa pintar, mahasiswa bego, sehingga secara tidak langsung dari situ muncul nilai-nilai moral yang ditanamkan orang tua.

Orang tua adalah figur terbaik bagi anak-anak. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya meneladani sikap ayah-ibu mereka. Karakteristik ayahnya yang patut dicontoh adalah penggembira, suka musik, sangat bijaksana, ekspresif, jujur, memiliki insting tinggi untuk melayani orang (karena beliau pernah menjadi dekan), serta memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi. Sementara sang ibu adalah sosok yang serius, kutu buku, pekerja keras, dan tidak suka pada hal-hal yang berlebihan. Ibunda Sri Mulyani menempuh kuliah S-2 dan S-3 di IKIP Jakarta, dan gelar doktor diraihnya di usia 45 tahun. Ia bangga dengan ibunya yang menjadi ibu rumah tangga dengan 10 anak, tapi juga sukses di pendidikan dan karier. Bahkan, memberi contoh anak dengan meraih gelar profesor. Yang jelas, kami dibiasakan hidup disiplin dalam hal keilmuan dan menghargai orang lain, kata anak ke-7 dari 10 bersaudara itu mengenang.

Ada kebiasaan unik dalam keluarga Satmoko. Kendati anak-anak mereka sudah dewasa dan memiliki jabatan bergengsi, tetap ada tradisi meminta restu orang tua via telepon, surat, atau bertemu langsung jika akan menghadapi masalah penting. Istilahnya dalam bahasa Jawa adalah disuwuk atau dicium ubun-ubunnya. Kemudian didoakan dan mengucapkan pepatah Jawa yang berbunyi ‘rawe-rawe rantas malang-malang putung’ (segala sesuatu yang merintangi untuk mencapai tujuan harus disingkirkan),ungkap pejabat yang energik dan berpenampilan menarik itu. Ia mencontohkan, hal tersebut dilakukan ketika kakaknya akan menikahkan anak dan ujian profesor. Dengan disuwuk orang tua, secara psikologis mereka merasakan energi positif yang membawa aura baik. Sayang, Sri Mulyani bersaudara kini tidak dapat melanjutkan tradisi itu lagi, karena kedua orang tuanya telah wafat (sang ayah pada 25 Desember 2006 dan sang bunda pada 11 Oktober 2008).

Sri Mulyani bangga terhadap kedua orang tuanya. Bapak dan Ibu Satmoko tentu juga bangga dengan putri ketujuhnya itu. Maklum, nilai-nilai hidup yang mereka ajarkan diterapkan Sri Mulyani dalam mengemban tugas negara. Setidaknya, ajaran prinsip hidup untuk tidak mengambil hak orang lain dibuktikannya dengan keberanian memberantas korupsi di departemen yang dipimpinnya. Kalau kita mau anak buah kita tidak korupsi, kita harus contohkan jangan korupsi, ujar Sri Mulyani, yang mengisi waktu senggang dengan berwisata kuliner dan berkaraoke bersama keluarga. Selain itu, ia tidak mau mentang-mentang jadi menteri bisa sembarangan memasukkan orang yang tidak qualified ke Departemen Keuangan.

Meski dibesarkan dalam keluarga Jawa yang mempunyai banyak batasan, Sri Mulyani membebaskan putra-putrinya dalam memilih profesi. Saya tidak mendoktrinasi anak-anak berdasarkan tujuan spesifik tertentu. Yang penting, anak-anak diberi nilai-nilai umum, karena pada akhirnya anak tersebut telah ada takdirnya sendiri seperti yang direncanakan Tuhan. Selain itu, kita harus bisa menjadi tempat bagi anak-anak untuk berdiskusi, kata istri Tony Sumartono ini. Pasutri ini dikaruniai tiga putra-putri: Dewinta Illinia (20 tahun), kini kuliah di Australia jurusan perdagangan dan hukum; Adwin Haryo Indrawan (16 tahun), siswa SMA Al Azhar; dan Luqman Indra Pambudi (13 tahun), siswa SMP Lab School.

Eva Martha Rahayu/Kristiana Anissa


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved