Profile

Suryawan Putra ‘Menjiwai’ Persinyalan Kereta

Oleh Admin
Suryawan Putra ‘Menjiwai’ Persinyalan Kereta

Kereta Rel Listrik (KRL) atau lebih dikenal dengan nama Commuterline adalah moda transportasi sebagai solusi antimacet untuk bepergian. Tapi sebagai pengguna KRL, tak jarang pula kereta datang telat atau kereta yang melaju berhenti di stasiun lama guna menunggu sistem sinyal.

Mengurus persinyalan misalnya seperti di cakupan Jabodetabek tidaklah mudah. Kemampuan secara teknis juga harus ditunjang dengan support atau sistem persinyalan yang baik. Namun begitu, nyatanya di Jabodetabek ini, KRL sering mengalami gangguan. Apakah itu berarti sistem persinyalan PT KAI sudah tidak mumpuni? Di sela workshop yang digelar oleh Institution of Railway Signal Engineer (IRSE), SWA Online berbincang mengenai hal ini dengan sang ahli persinyalan kereta, serta sepak terjang dari Suryawan Putra Hia, Vice President Signaling Telecommunication and Electricity PT KAI (Persero).

Sudah berapa lama Anda bekerja dan Jabatannya sebagai apa?

Menjabat sebagai Vice President Signaling Telecommunication and Electricity KAI ini kurang lebih baru setahun. Sebelum menjabat menjadi Wakil Direktur ini saya menjabat sebagai Senior Manager Signaling Telecommunication and Electricity di distrik-distrik kereta api yang ada di Indonesia, seperti di Mojokerto, Surabaya,Cirebon dan lain-lain. Jadi saya selalu berpindah-pindah. Dan dari tahun 2012 lalu ditempatkan di kantor pusat KAI yang berada di Bandung.

Suryawan KAI

Backgroud pendidikan dan kelahiran Anda?

Saya dari lulus SMA itu tahun 1993, langsung bekerja di PT KAI. Saya lahir di Surabaya, 15 Juli 1974. Hampir 20 tahun, berkarier di KAI namun fokus ke persinyalan kereta setelah menamatkan kuliah saya. Jaman dulu itu ada tes masuk KAI tahun 1993 saya coba ikutan, alhamdulillah lolos.

Saya kerja sambil kuliah di KAI, Sarjana Teknik Elektro dari Universitas Pembangunan Nasional, Surabaya.

Sebelum tamat kuliah, saya hanya staf biasa, namun setelah selesai kuliah sekitar tahun 1997, perlahan saya dipercaya menjadi kepala distrik, kepala pengawas, senior manager signaling hingga sekarang mendapat amanah sebagai wakil direktur signalling ini.

Tapi memang dulu ingin sekolah yang berhubungan dengan teknik elektro?

Sebenarnya tidak juga. Kuliah elektro itu karena bergabung ke KAI. Jadi makin berminat jadi terjun ke sini.

Tanggung jawab Anda seperti apa?

Tanggung jawab khususnya di bidang Signaling Telecommunication and Electricity itu sebenarnya sangat berat. Jika terjadi kesalahan sekecil apapun bisa berakibat fatal. Tanggung jawabnya sangat besar, yakni mengatur sistem persinyalan kereta. Hematnya, kita mengatur traffic kereta, mengatur rambu-rambu. Analoginya seperti rambu lampu lintas merah kuning hijau itu, nah kita harus pantau demi kelancaran perjalanan kereta.

Challenge nya apa saja?

Kalau bicara tantangan, justru kerjaan seperti ini sangat menantang karena menyangkut nyawa orang juga. Tantangan itu datang ketika terjadi kendala baik secara teknikal maupun non-teknikal.

Signaling Telecommunication and Electricity adalah rambu-rambunya kereta api. Rambu-rambu ini digunakan tatkala operasi kereta-nya lebih dari satu. Kalau yang beroperasinya cuma satu kereta api, mau hingga berapa stasiun yang dilewati modar-mandir tidak perlu signaling. Namun jika kalau kereta yang beroperasi lebih dari satu, dimana ada penyusulan dan persilangan kereta, ini baru membutuhkan signaling.

Contohnya gini, di stasiun besar Manggarai, Tanah Abang, Kota dan semacamnya, itu jalur traffic yang padat. manggarai misalnya, selain harus mengatur traffic untuk perlitasan commuterline ataupun kereta api luar kota yang hendak melintas. Perlintasan kita juga terbatas, hanya dua perlitasan. Bahkan jalur Jawa dan Sumatera hanya satu lintasan. Bayangkan berapa kereta perhari yang harus melalui jalur tersebut.

Jadi apa saja kendala nya?

Kendala yang dihadapi sangat banyak. Kami langsung bermain dicontoh, semisal kereta api luar kota misalnya Argo Parahyangan rute Bandung- Jakarta, dari keretanya sendiri misalnya mengalami kerusakan dan baru jalan 10 menit dari jadwal sesungguhnya. Otomatis semua perjalanan kereta dihari yang sama mengalami keterlambatan, khususnya yang rute Commuterline Bekasi- Kota, pasti berimbas, karena peron yang digunakan sama. Belum lagi kalau gangguan sinyal akibat cuaca ekstrem dan tersambar petir, bahkan banyak kasus vandalism seperti kabel kita dicuri, kita benar-benar putar otak.

‘Putar otak’ bagaimana maksudnya?

‘Putar otak’ inilah yang sering terjadi dan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Persinyalan suatu seperangkat sistem yang saling terkait. Dalam seperangkat sistem persinyalan itu banyak komponen-komponen lain. jadi begini, semua sistem persinyalan Indonesia dari pemerintah. Sistem persinyalan kami usianya rata-rata mencapai 20 tahun. Sistem persinyalan kami berasal dari ‘negara pendonor’ semua. Ada yang pendonornya asal Perancis, jadi kami pakai sistem persinyalan dari Perancis, ada yang dari Jepang jadi kami pakai dari Jepang hingga dari negara-negara Eropa lainnya, dimana sistem persinyalan yang mereka buat disesuaikan dengan keadaan, dan kebutuhan negara yang bersangkutan.

Sebenarnya ini masalah tersendiri. Kalau dibilang tidak bagus, enggak juga ya. Namun yang ribetnya jika terjadi kerusakan. Tidak ada support untuk menanggulangi kerusakan tersebut sehingga kami harus ‘putar otak’. Kami selalu memikirkan bagaimana cara memperbaiki dan membetulkan. SDM kami belum mumpuni untuk itu.

Sebagai informasi, ada 15 tipe persinyalan di Indonesia. Sehingga untuk menanganinya jika terjadi kerusakan butuh effort yang sangat besar, karena sistem saling berkaitan dan sinergitas. dari 15 yang kita pakai, rata-rata letak negara tersebut jauh dari Indonesia, paling dekat dari Jepang. Kalau dari Eropa, proses delivery lama, belum workshop lagi, modul hingga ke SDM yang kompeten untuk memperbaiki. semua ini membutuhkan cost yang tidak murah.

Jadi, bisa berikan bayangan berapa harga sistem persinyalan, biaya perbaikan, hingga penanggulangan untuk kasus vandalisme tadi?

Sebagai gambaran kurang lebihnya, untuk satu stasiun ke stasiun minimal dua jalur, ada yang satu jalur di kota-kota tertentu. Belum lagi seperti stasiun besar seperti Manggarai yang memiliki enam jalur dan peron aktif. Untuk satu stasiun yang terdiri dari dua jalur, harganya sistem persinyalan mencapai harga Rp 20 miliar. Sistem ini mencakup kabel-kabel tembaga, tuas, koneksi, mesin utama, alkmaar baik itu sinyal mekanik, sinyal mekanik dengan blok elektro hingga sinyal elektrik. Semua menjadi suatu kesatuan.

Mengenai perbaikan total hingga peremajaan sistem, KAI sebenarnya mengandalkan dari ‘negara pendonor’ tersebut. Namun kebanyakan urung dilakukan. Pertama, sang ‘pendonor’ tiba-tiba tidak bisa dihubungi, tidak memiliki support, bahkan hingga biaya yang harus kita keluarkan untuk perbaikan atau peremajaan irasional.

Kita cari solusi dengan membeli lagi atau memperbaiki dari bantuan ‘negara pendonor’ karena SDM kita dirasa belum mumpuni. Untuk membuat workshop mengenai sepaket sistem persinyalan, untuk satu modul berkisar Rp 80-100 juta. Padahal jika sekali tersambar petir, setidaknya lima modul yang diperlukan untuk memperbaiki sistem rusak. Sedangkan jika software yang mengkoneksinya sistem-sistem ini rusak, untuk ‘membayar’ ilmu mengubah software mereka saja milyaran rupiah, itukan tidak logis, belum lagi pengadaan komponen-komponennya. Namun kasus juga banyak terjadi ketika mereka hanya menjual dan memperbaiki, tapi tidak menyediakan support. Ini yang susah. Kami harus putar otak lagi.

Kasus vandalism ini meliputi pencurian kabel persinyalan tembaga yang juga sebagai suatu kesatuan sistem persinyalan. Untuk menanggulanginya kita mengganti dengan fiber optic. Dulu sudah diakal-akalin dengan cara mengubur kabel sedalam 1-1,5 meter di bawah tanah. Namun langkah tersebut tidak efektif, karena pencurinya tetap bisa menggali dan mengambil kabel-kabel tersebut. Kami juga pernah meletakkan kabel sinyal diatas berdekatan dengan jaringan listrik, dengan harapan sang pencuri takut tersambar tegangan 1500kV, tapi lagi-lagi cara ini tida ampuh.

Jadi sebenarnya di Indonesia belum mampu memperbaiki sendiri?

Intinya sejauh ini kami terus meningatkan skill. Perlu digaris bawahi, prasarana signaling sebenarnya tanggung jawab pemerintah, namun kami juga dapat mandat, meningkatkan skill kami. Kami harus memutusan signaling ini mau diapakan kedepannya agar bisa memenuhi target mengangkut penumpang hingga 1,2juta orang perhari.

Lalu upaya apa yang Anda lakukan selama ini jika sistem persinyalan mengalami gangguan?

Sekarang ini sebenarnya komponen sudah banyak yang uzur, sehingga mau gak mau harus ada upgrading. Kami sangat kesulitan, karena vendor kami ini jauh-jauh. Upaya kami sekarang membeli atau meremajakan sistem itu paling tidak dari negara tetangga yang berdekatan. Sehingga kalau ada kesulitan, lebih mudah proses deliverynya. Selama ini kami kan kurang tepat, sistem sinyal untuk kereta Perancis yang notebene nya menggunakan subway atau monorail dimana tidak ada persilangan jalur dan gangguan melintasnya kendaraan lain.

Upaya lain sekaligus tantangan kedepan kami idealnya Indonesia mampu memproduksi dan menghasilan sistem persinyalan sendiri dengan spesifikasi yang cocok dan sesuai dengan negara kita. Kita yang buat, kita yang memproduksi, kalau ada kerusakan kita yang memperbaiki. Ini sangat menekan cost hingga milyaran rupiah.

Sharing knowledge juga banyak kami lakukan dengan tetangga sebelah. Sekarang kami lagi banyak belajar dari Korea. Korea dulu sama seperti kami, sistem persinyalan bergantung pada Amerika, namun sekarang mereka mampu memproduksi sistem persinyalan sendiri. Intinya kami berharap Indonesia mampu membuat sistem persinyalan dari kita, oleh kita, dan untuk kita. (Witantri Nurfadilah)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved