Profile

Tri Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

Tri Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

Tri Mumpuni

Tri Mumpuni bersama suaminya Ir. Iskandar Budisaroso Kuntoadji , membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PLN. Caranya, dengan memanfaatkan potensi energi air yang terdapat di lokasi setempat untuk menggerakkan turbin. Perempuan berusia 48 tahun berkomitmen membangun ekonomi kerakyatan di daerah-daerah yang belum terjamah listrik melalui pembinaan ekonomi mandiri masyarakat.

Ide awal pembangunan PLTMH berawal dari seringnya ibu dua putri ini bersama suaminya berkeliling ke desa-desa dan melihat sumber air yang melimpah, namum belum ada kabel distribusi listrik di lokasi tersebut. Kemudian ide tersebut didiskusikan dengan Kepala Desa setempat kemungkinan untuk membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan listrik dari sebuah turbin

Alumni IPB jurusan teknik agrikultur tahun 1983 itu kemudian membangun IBEKA, lembaga yang membantu masyarakat perdesaan untuk hidup lebih baik dari segi sosial dan ekonomi serta politik. Beliau pernah jadi LEAD fellow, Ashoka Fellow, dan Eissenhower Fellow.

Di sela kesibukannya, Tri menyempatkan diri untuk berbagi pemikirannya mengenai social entrepreneurship dengan SWA. Berikut wawancara reporter Rangga Wiraspati

Apa beda social enterprise dengan perusahaan pada umumnya? Apa pula beda social entrepreneur dengan pengusaha pada umumnya?

Jelas, pelaku social enterprise pasti social entrepreneur, aktivitas yang dilakukan adalah social business. Bagi pelaku bisnis umum dan perusahaan pada umumnya aktivitas yang dilakukan adalah bisnis komersial. Jika berbicara mengenai social business, kita harus memahami bahwa aktivitas yang dilakukan adalah bisnis dan development (pemberdayaan). Jadi, social entrepreneur melakukan kegiatan bisnis sekaligus merespon masalah-masalah sosial di sekitarnya.

Yang diutamakan dari social business adalah benefit (manfaat) sosial, bukan semata mencari uang dan keuntungan. Dalam pengertian saya, social business is business beyond money and profit. Pada bisnis komersial biasa ada ukuran-ukuran keberhasilan pasti seperti profit (laba) dan IRR (Internal Rate of Return). Pada social business ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku, karena pada social business ukuran keberhasilannya adalah kemampuan bisnis itu untuk menjawab tantangan-tantangan sosial yang ada di masyarakat dan manfaat sosial yang diberikan oleh bisnis tersebut.

Tentunya social business juga membutuhkan laba agar bisnis dapat survive. Social business merupakan kegiatan yang dilakukan berdasarkan keyakinan bahwa bisnis dapat memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah-masalah sosial di masyarakat. Pendekatan pembangunan pada social business bersifat bottom-up, artinya berbasis masyarakat.

Apa yang harus dilakukan oleh social entrepreneur atau enterprise agar bisnisnya berkesinambungan dan manfaat sosial yang dihasilkan optimal?

Pada social business, laba yang diperoleh pelaku dan institusi tidak diakumulasi (capital accumulation), sedangkan pada bisnis komersil pada umumnya akumulasi modal merupakan syarat mutlak. Pada social business, keuntungan dari modal yang ditanamkan akan dialokasikan untuk peningkatan pelayanan terhadap masyarakat binaan. Social entrepreneur tidak akan menimbun keuntungan, tetapi ia akan mencari cara untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, apakah itu melalui pembuatan program baru, atau kebijakan-kebijakan yang berfokus pada masyarakat. Seorang social entrepreneur harus mengerti bahwa hidup merupakan persoalan berbagi, karena ia sadar bahwa kompleksitas permasalahan sosial terjadi karena banyak orang yang melakukan akumulasi modal.

Untuk menjaga kesinambungan bisnis, pada pengalaman IBEKA misalnya, kami melakukan riset pada kategori-kategori masyarakat kelas bawah. Ada masyarakat yang benar-benar tidak memiliki kemampuan, ada yang jika diberi sedikit dorongan bisa berkembang, ada yang sudah memiliki kemampuan untuk berkembang. Untuk masyarakat yang sangat miskin kami melakukan pendanaan berupa hibah, namun masyarakat harus tetap diperkuat dengan pelatihan-pelatihan pengembangan bisnis. Bagi masyarakat yang sudah ada potensinya, kami akan memberikan penyuluhan mengenai manajerial yang efektif.

Pemberdayaan dilakukan IBEKA melalui pendekatan sosial dan teknis. Pada pendekatan sosial kami menyiapkan masyarakat agar mereka memiliki organisasi sebagai penjamin kesinambungan bisnis listrik yang mereka bangun. Melalui pendekatan teknis kami memberikan pelatihan manajerial dalam mengelola bisnis dan organisasi.

Investasi yang kami tanamkan kepada masyarakat berasal dari donasi tanpa campur tangan pemerintah, maka kami harus memberikan pengetahuan kepada masyarakat binaan kami akan pentingnya iuran. Begitu pula dana hibah yang kami berikan kepada masyarakat, selalu dalam bentuk program, kami tidak mau memberikan dana tunai. Melalui program kami dapat memantau Kami juga memberikan pengertian bahwa alokasi dari iuran mereka akan digunakan bagi operasional bisnis. Pada umumnya bentuk organisasi masyarakat binaan kami adalah koperasi, tetapi bisa juga bentuk lain, asal berbadan hukum. Semua kita bina, karena masyarakat itu memang butuh bimbingan.

Tahap-tahap apa yang harus dialami oleh seorang social entrepreneur sehingga ia bisa menjadi seorang yang sukses di bidangnya?

Jika saya amati, tahapan yang dialami cenderung relatif tergantung pengalaman dan kekuatan yang dimiliki seorang individu. Biasanya pelaku social entrepreneur memiliki social skill yang tinggi. Selain memakai logika dalam berbisnis, seorang social entrepreneur juga menggunakan kepekaan hatinya, sehingga ia mengerti bahwa ia harus berbagi dalam hidup. Pada tahapan awal, seorang social entrepreneur akan frustasi jika bisnisnya tidak memperikan dampak yang signifikan terhadap pemecahan sosial di masyarakat sekitarnya, meskipun bisnisnya mendapat keuntungan. Social entrepreneur harus mau capai, terutama dalam mendengarkan aspirasi dan pola pikir masyarakat kelas bawah yang belum tentu sesuai dengan intelenjensia sang pelaku. Melalui tahapan-tahapan yang berbeda dari pengusaha komersil umumnya, social skill social entrepreneur akan terus berkembang. Logika bisnis tetap dipakai, namun social skill lebih dominan dalam pelaku social business.

Bagaimana social entrepreneur mendapatkan pendanaan untuk bisnisnya?

Social entrepreneur harus rajin berkeliling mencari funding baik dari luar maupun dalam negeri. Saya pikir saat ini banyak perusahaan komersil ataupun bank di Indonesia yang sudah menyadari pentingnya mendanai bisnis yang bersifat pemberdayaan masyarakat dan mereka tertarik dengan proposal yang kami ajukan. Melalui institusi finansial luar negeri misalnya kami mendapatkan pinjaman lunak untuk keberlangsungan kegiatan kami. Selain itu, kami memiliki pembangkit listrik yang merupakan donasi dari perusahaan swasta. Kami juga berbagi kepemilikan pembangkit listrik dengan rakyat, tentunya porsi saham lebih besar untuk rakyat. Pada hakikatnya, uang yang didapatkan oleh masyarakat dari social enterprise harus bisa memberikan keuntungan bagi bisnis yang dijalankan oleh masyarakat. Kalau dana CSR perusahaan yang kami dapat, kami alokasikan langsung kepada daerah-daerah yang belum tersentuh listrik sama sekali, jadi belum untuk social business.

Bagaimana pengelolaan keuangan dan perekrutan SDM di social enterprise?

Karena IBEKA bergerak pada bidang kelistrikan di daerah terpencil dan pedesaan, maka banyak karyawan kami yang berlatar belakang pendidikan teknik, bahkan ada yang bergelar master. Saya bersyukur karena mereka satu semangat dengan saya, yaitu peduli terhadap masalah sosial dan berpartisipasi dalam pencarian solusi. Umumnya mereka berlatar belakang aktivis, sehingga terbiasa untuk berpikir kritis. Secara intelijensia dan etos kerja SDM kami tidak kalah dengan eksekutif muda pada perusahaan-perusahaan komersil, namun beda gaya, SDM kami lebih membumi.

Untuk keuangan kami menjaga sekali akuntabilitas, karena kami wajib diaudit, terutama oleh donor. Misalnya ketika kami mendapatkan kucuran dana dari donor di Jepang, mereka menyewa Price Waterhouse untuk mengaudit kami. Bagi social business, audit adalah garda terdepan bagi social enterprise/entrepreneur untuk menunjukkan kejujuran dan integritasnya.

Prinsip-prinsip apa yang harus dimiliki seorang social entrepreneur?

Syarat terpenting bagi pelaku social business adalah harus punya empati, kalau tidak mustahil ia memiliki jiwa social entrepreneur. Empati sangat diperlukan agar ia dapat mengidentifikasi permasalahan sosial di sekitarnya. Berikutnya pelaku social business harus mengerti filosofi dari social business yang menempatkan manfaat sosial di atas keuntungan, sehingga pelaku menjadi bagian dari solusi terhadap permasalahan sosial yang ada. Harus ada perubahan paradigma berpikir pada pelaku social business, bahwa laba bukan merupakan tujuan mutlak dari bisnis yang ia geluti. Umumnya pelaku social business memiliki kompetensi yang tinggi dalam berpikir, namun ia juga memiliki pemahaman komprehensif mengenai dinamika akar rumput. Ia dapat menempatkan dirinya pada situasi masyarakat kelas bawah, sehingga ia dapat menemukan solusi-solusi kreatif dan ia bekerja dengan hati. Kemudian ia harus memiliki semangat berbagi yang tinggi. Dengan adanya semangat berbagi, pelaku social business akan memanfaatkan kucuran dana yang didapat untuk proyek-proyek sosial, bukan alat memperkaya diri.

Fondasi apa yang dibutuhkan untuk membangun sebuah social enterprise?

Bagi saya yang menjadi fondasi social enterprise adalah manusianya, tidak perlu faktor lain. Ketika ia memiliki empati dan mengerti filosofi social business, ia dapat membawa dirinya untuk menjadi solusi dari permasalahan sosial yang ada. Kemudian jaringan/network adalah senjata paling ampuh dalam membangun social business.

Bidang-bidang apa yang bisa digarap oleh social entrepreneur?

Banyak sekali, terutama jika fokusnya pada pedesaan. Keunggulan social business adalah masyarakat turut berpartisipasi mengembangkan ekonomi daerahnya. Idealnya masing-masing daerah atau desa memiliki kekhasan ekonomi tersendiri, seperti di Eropa. Jadi social business itu berfungsi untuk membangun pusat-pusat ekonomi kerakyatan. Sampai saat ini saya merasa senang karena banyak berhubungan dengan anak muda yang peka pada isu sosial dan punya ide-ide kreatif. Semua tergantung calon atau pelaku social business baik di desa maupun kota untuk melihat permasalahan sosial yang ada dan menangkap peluang yang muncul dari permasalahan tersebut.

Apa kiat bagi social entrepreneur untuk selalu mengembangkan dirinya?

Tentunya diperlukan konsistensi dan determinasi yang tinggi. Selain itu pelaku harus memiliki gairah yang besar terhadap bidangnya, karena tantangan yang akan dihadapinya besar sekali. Bahkan hambatan justru datang dari pemerintah.

Apa yang menyebabkan social entrepreneurship tidak bertahan lama? Seperti apa sindromnya? Langkah apa yang harus diambil agar social business tidak stagnan?

Permasalahannya sekarang banyak anggapan bahwa menjadi social entrepreneur adalah sesuatu yang trendy, seolah-olah keren dan seksi. Jadi banyak pelaku yang latah terhadap social entrepreneurship, tanpa mengerti esensinya. Saya sudah bisa memilah calon pelaku yang benar-benar ada minat dan gairah terhadap social entrepreneurship dan yang ikut-ikutan saja. Biasanya sindromnya terlihat dari konsep usaha yang ingin dijalankan tidak jelas dan tidak spesifik. Agar social business tidak stagnan, pelaku harus banyak bergaul, sehingga ia bisa mendapatkan solusi dari orang lain. Itulah pentingnya membangun jaringan/networking bagi social entrepreneur. Jika seorang social entrepreneur terlena dengan laba usahanya, maka ia dapat dikatakan gagal, karena ia tidak bisa membedakan social business dengan bisnis komersil biasa. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved