Book Review

Logika Pemasaran Vs. Logika Manajemen

Logika Pemasaran Vs. Logika Manajemen

Judul : War in the Boardroom Penulis : Al dan Laura Ries Penerbit : HarperCollins, 2010 Tebal : 266 halaman

Setiap manusia pasti memiliki sisi otak yang dominan: otak kiri yang analitis verbal atau otak kanan yang holistis visual. Demikian pula halnya di dunia korporasi. Kebanyakan manajemen dan CEO otak kirinya yang dominan, sebaliknya orang pemasaran kemungkinan besar otak kanannya yang dominan.

Peran pemasaran dalam dunia korporasi seolah tidak dianggap. Survei Spencer Stuart menemukan bahwa profesi Chief Marketing Officer (CMO) merupakan posisi level chief dengan masa jabatan yang paling singkat (26 bulan) dibanding CFO (39 bulan) ataupun CEO (44 bulan). Fortune tidak memasukkan buku tentang pemasaran ke dalam 75 Buku yang Mengajarkan Anda tentang Bisnis. Buku Straight from the Gut dan Winning dari Jack Welch – CEO legendaris – hanya membahas sedikit sekali mengenai pemasaran. Singkat kata, persepsi yang diberikan adalah pemasaran tidak merupakan sebuah fitur yang penting di dunia korporasi.

Ries memaparkan kalau logika manajemen tidak selamanya benar. International Herald Tribune, salah satu koran internasional yang paling berpengaruh, misalnya memuji merger DaimlerChrysler sebagai transaksi penting dan cetak biru masa depan industri otomotif global. Dalam logika pemasaran, merger ini tidak sulit diterima karena tidak mungkin sebuah perusahaan Jerman yang menjual mobil mewah merger menjadi perusahaan Jerman-Amerika yang menjual mobil murah. Di kemudian hari, terbukti logika pemasaran benar. Pada akhirnya, Daimler menjual Chrysler dengan harga yang jauh di bawah harga belinya.

Contoh lain akan kekuatan logika pemasaran adalah pada studi kasus FedEx. Di awal tahun berdirinya, FedEx bersaing dengan Emery Air Freight dengan memakai logika manajemen: menawarkan harga yang lebih murah untuk kategori pengiriman sehari, dua hari dan tiga hari. Walaupun harganya lebih murah, FedEx tidak pernah memenangi pertempuran itu. Kemudian, FedEx memakai logika pemasaran: fokus pada pengiriman semalam dengan slogan Jika mutlak dan positif harus sampai dalam waktu semalam. Hari ini, FedEx telah menjadi kata kerja untuk pengiriman kilat.

Manajemen bekerja dalam realitas, sedangkan pemasaran bekerja dalam persepsi. Mungkin itulah intisari perbedaan antara manajemen dan pemasaran. Manajemen mendekati masalah dengan logika, cara yang waras dan bijaksana. Buat produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah dan kita akan menang. Manajemen fokus pada produk. Sebaliknya, pemasaran bekerja dengan penekanan pada persepsi. Pemasaran fokus pada merek. Ambil persepsi yang lebih menguntungkan dan kita akan menang.

Bukan produk atau jasa yang lebih baik yang menghasilkan merek lebih kuat, melainkan pangsa pasar merek yang membuat merek itu kuat. Walter Mossberg dari Wall Street Journal mengatakan bahwa Mac memiliki perangkat keras, lunak, dan sistem operasional yang jauh lebih baik, tetapi pangsa pasar Mac hanya sekitar 5%. Riset membuktikan, Burger King lebih baik daripada McDonald’s, tetapi pangsa pasar McDonald’s jauh di atas Burger King. Adapun Consumer Reports mengatakan Starbucks tidak membuat kopi yang lebih baik ketimbang kios kopi spesial McDonald’s, tetapi Starbucks memiliki pangsa pasar yang jauh lebih besar. Persepsi mendikte realitas. Burger McDonald’s dan kopi Starbucks terasa lebih enak karena konsumen memersepsikannya demikian. Manajemen membangun produk yang lebih baik, pemasaran membangun merek yang lebih dominan.

Bagian akhir buku ini (bab 25) membahas mengenai topik yang paling sering didebatkan dalam dunia korporasi: mana yang lebih penting strategi atau eksekusi? Ram Charan boleh berpendapat eksekusi adalah kata kuncinya (Execution, 2002), tetapi Ries berpendapat strategi lebih penting. Pemasaran berisikan 90% strategi dan 10% eksekusi – bagian yang sulit adalah yang 90% itu. Eksekusi yang benar tidak akan dapat mengubah atau memperbaiki strategi yang buruk (halaman 260).

Kelebihan buku ini selalu mendukung teori atau pendapatnya dengan sejumlah studi kasus. Terdapat ratusan studi kasus yang dibahas dalam buku ini dan sebagian besar berasal dari dunia otomotif, yang hampir semua datanya pasti tersedia secara publik sehingga memudahkan menganalisis. Inilah yang menjadikan buku ini sangat menarik dan terlalu sayang dilewatkan.

Studi kasus yang dikemukakan membuat semua teorinya membumi dan meyakinkan. Sisi ini juga yang akan menjadi kelemahan buku ini. Semua studi kasus yang dikemukakan adalah studi kasus yang mendukung teori yang dikemukakan – tidak ada studi kasus yang menawarkan sisi lain dari pendapatnya. Ambil contoh misalnya, bab 21 yang membahas mengenai nama sebuah merek. Ries mengatakan, lebih baik memilih kata daripada inisial, misalnya Radar, Laser, ataupun AIDS (bukan A-I-D-S). Kelihatannya benar, tetapi Ries tidak membahas mengapa beberapa perusahaan dapat tetap sukses dengan nama yang berupa inisial, misalnya KPMG ataupun BCG.

Lebih lanjut lagi, Ries tidak pernah mengakui dan menjawab mengapa GE dan Virgin yang memakai namanya di sejumlah produk yang tidak berkaitan dapat sukses hingga saat ini. GE memakai nama GE untuk produk finansial, turbin, sampai kereta api dan sukses hingga hari ini. Virgin memakai merek Virgin untuk semua lini produknya dari pesawat terbang, finansial, rekaman sampai telekomunikasi. Walaupun memakai merek yang berkonotasi seks di semua produk yang tidak berkaitan dengan seks, merek tersebut tetap sukses di-extend ke industri-industri yang tidak berkaitan. Singkat kata, perspektif yang ditawarkan Ries tidak berimbang.

Di bagian Pengantar, Ries mengatakan kalau mereka mengharapkan orang manajemen meluangkan waktu untuk lebih memahami prinsip pemasaran, dan agar orang pemasaran meluangkan waktu untuk lebih memahami manajemen dengan cara yang logis, verbal dan analitis. Walaupun demikian, buku ini seolah-olah memihak ke sisi pemasaran dengan menekankan pada “kegagalan” manajemen. Ries tidak ragu-ragu menuliskan di bab Penutup (halaman 264), “Sekarang ini, akal sehat tidak berlaku di dunia bisnis. Satu-satunya yang berlaku adalah akal pemasaran.”

Buku ini ditutup dengan saran bagi sisi pemasaran: orang pemasaran harus menjual ide pemasaran dilihat dari sisi manajemen. Gunakan fakta, angka, pangsa pasar dan lainnya untuk menjual ide intuitif kepada seorang pemikir logis.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved