Book Review

Membangun Budaya Perusahaan, Belajar dari Samurai hingga Gangster Penjara

Oleh Editor

Judul : What You Do Is Who You Are

Penulis : Ben Horowitz

Penerbit : HarperBusiness, 2019

Tebal : 288 hlm.

Culture eats strategy for breakfast.” – Peter F. Drucker

Buku ini dimulai dengan pertanyaan yang sangat menarik, “Apa itu budaya dan bagaimana saya bisa memengaruhi budaya perusahaan saya?”

Mengidentifikasi budaya yang ingin dicapai bukanlah hal yang mudah. Kita harus tahu bukan hanya arah, tetapi juga jalannya. Menghemat uang merupakan budaya di Amazon, tetapi hal ini mustahil dicapai di Apple yang fokus pada keunggulan produk dan menghabiskan US$ 5 miliar untuk kantor barunya. Budaya “move fast and break things” akan relevan di masa awal Facebook, tetapi budaya ini akan menjadi bencana di Boeing atau Airbus. Bekerja dengan jam yang panjang merupakan hal yang biasa di startup, tetapi CEO Slack selalu pulang awal dan meminta karyawannya pulang awal.

Budaya juga bukan hanya sekadar pernyataan. Kalau kita melihat sesuatu dan membiarkannya, kita telah membuat budaya yang baru.

Untuk menjawab pertanyaan mengenai budaya perusahaan, Ben Horowitz memakai empat studi kasus, yaitu revolusi budak di Haiti yang dipimpin Toussaint Louverture, budaya samurai di Jepang, Genghis Khan, dan Shaka Sengor.

Pada akhirnya, budaya perusahaan akan dijawab dengan satu pertanyaan: “Siapakah diri kita?” Pertanyaan yang sederhana tetapi tidak sederhana karena implikasinya sangat besar. Siapakah kita bukan dijawab oleh kita, tetapi oleh orang-orang saat kita tidak ada di tempat. Bagaimana kita memperlakukan pelanggan kita? Apakah kita ada untuk orang-orang yang membutuhkan kita? Apakah kita bisa dipercaya? Singkat kata, budaya kita adalah sebagaimana judul buku ini, “What you do is who you are”. Kerjakan hal yang kita harus lakukan sehingga kita dapat menjadi orang yang kita ingin capai.

Untuk membangun budayanya, Louverture memakai tujuh cara, yakni mempertahankan apa yang sudah berjalan, membuat peraturan yang mengejutkan, berpakaian untuk sukses, memakai kepemimpinan dari luar, membuat peraturan dengan memperhatikan prioritas budaya, melakukan apa yang dikatakan, dan membuat etika yang eksplisit.

Harus diingat juga bahwa pemimpin harus menjelaskan “mengapa” di balik “apa”.

Jepang terkenal akan keahlian dan perhatian terhadap detail sehingga menarik sekali untuk mempelajari asal-usul budaya ini. Ben menyimpulkan, budaya berasal dari semangat samurai Bushido Shoshinshu, “Selalu ingat kematian”. Kalau kita menyadari kita dapat mati kapan saja, kita akan merasakan “ini mungkin terakhir kalinya”, sehingga kita akan benar-benar sangat perhatian terhadap apa yang kita kerjakan. Seorang samurai memiliki tiga virtue: punya harga diri, sopan, dan tulus.

Dalam aplikasinya, Andreessen Horowitz –perusahaan modal ventura yang didirikan Marc Andreessen dan Ben Horowitz– memiliki budaya “menghargai entrepreneur” sebagai budaya perusahaan. Dengan memakai pendekatan ala samurai, virtue tersebut dijabarkan lebih lanjut lagi sebagai “kami menghargai perjuangan keras pengusaha dan kami menyadari kami tidak akan memiliki bisnis tanpa pengusaha”. Agar tidak salah dimengerti, virtue tersebut dijabarkan lebih lanjut lagi: “kami akan memberitahu kebenaran walaupun itu menyakitkan”.

Agar virtue tersebut merasuk dan mudah dimengerti, kita membutuhkan stories. Netscape Communications memiliki cerita yang sangat gampang diingat. “Kami hanya memiliki tiga aturan di sini. Pertama, kalau Anda melihat ular, langsung bunuh ular tersebut. Jangan meminta meeting atau membentuk tim terlebih dahulu. Kedua, jangan kembali lagi dan bermain dengan ular mati tersebut. Ketiga, cari ular lain yang ada.”

Shaka Sengor adalah bekas narapidana karena membunuh di usia 19 tahun. Setelah keluar dari penjara, Shaka bertransformasi menjadi seorang pengajar (antara lain di MIT Media Lab) dan pembicara, termasuk menjadi bintang tamu di Oprah Winfrey Show. Pada saat di penjara, Shaka berhasil membangun salah satu geng narapidana dengan budaya terkuat. Dia berhasil mengambil alih kepemmpinan salah satu geng narapidana bukan dengan kekerasan, tetapi dengan pertanyaan retorika ala Sokrates: “Bila seorang pemimpin tidak mengikuti instruksi, apakah dia adalah seorang pemimpin?”

Kunci sukses membangun budaya gengnya adalah dengan disiplin dan bonding. Shaka mengharuskan anggota geng makan bersama dan mendiskusikan buku yang dia kirimkan di waktu makan siang. Untuk mengubah budaya gengnya, dia selalu menekankan hal ini dalam meeting harian mereka.

Dari pengalaman Shaka, kita dapat melihat dua hal. Pertama, perspektif kita terhadap budaya bukan hal yang relevan. Yang penting adalah apa yang dirasakan langsung oleh karyawan kita. Kedua, pahami apa yang menjadi dasar budaya ekosistem tersebut. Intel menghargai pendapat teknisi sama seperti pendapat eksekutif, tetapi budaya ini mungkin tidak akan berlaku di perusahaan kita.

Genghis Khan merupakan salah satu penakluk dunia yang paling sukses yang pernah ada. Genghis membangun budaya militernya dengan tiga prinsip: meritokrasi, loyalitas, dan inklusivitas.

Genghis ikut terlibat dalam semua proses strategi dan implementasi budayanya. Dia bahkan meminta ibunya mengadopsi anak dari suku yang ditaklukkannya untuk memberikan simbol integrasi. Dia mulai dengan menulis kriteria pekerjaan yang dia butuhkan, baru kemudian mencari talenta untuk mengisinya. Semua suku yang ditaklukkannya diperlakukan setara, bahkan sampai diadopsi ataupun dinikahi. Hasilnya, mereka merasa diperlakukan dengan adil sehingga menjadi lebih loyal terhadapnya daripada terhadap kepala suku mereka sebelumnya.

Budaya adalah konsekuensi aksi, bukan hanya kepercayaan. Sehingga, ada kalanya budaya yang terjadi berbeda dari yang kita inginkan.

Jadi, diri Anda sendiri bisa mendesain budaya perusahaan yang Anda inginkan. Mulailah dengan mengetahui budaya perusahaan seperti apa yang Anda inginkan. Apakah perusahaan Anda adalah perusahaan startup ataupun perusahaan mapan, budaya perusahaan selalu merupakan hal yang relevan. Semua budaya perusahaan bersifat aspirasional. Kita dapat mengambil inspirasi dari budaya perusahaan lain, tetapi jangan menjiplaknya mentah-mentah.

Yang terakhir, kapan mengetahui budaya perusahaan kita sudah rusak. Kita hanya dapat menyadarinya bila karyawan memberitahu kita. Agar hal ini terjadi dengan baik, kita membutuhkan tiga syarat: karyawan yang berani memberitahu kita soal tersebut, karyawan tersebut fit secara kultural dengan kita (sehingga apa yang diutarakan bukan complain semata karena dia yang tidak fit), dan pendapat yang diutarakan tidak mengambang. Kita juga dapat mengetahui bahwa budaya kita mengalami masalah kalau orang yang kita inginkan bertahan keluar dengan tingkat yang tidak diharapkan, kita gagal dalam prioritas kita, atau karyawan kita melakukan hal yang mengejutkan kita.

Kita juga mendorong karyawan kita untuk menyampaikan berita buruk. Pada saat mendengarkan berita buruk, penulis buku ini akan mengatakan, “Bersyukur kita mengetahuinya sebelum hal tersebut membunuh kita,” atau “Kita akan menjadi lebih kuat bila kita bisa mengatasinya.” CEO yang baik akan berani menghadapi kesakitan dan kegelapan, bahkan belajar menikmatinya.

Pada akhirnya, perhatikan perilaku orang-orang kita dan perilaku kita sendiri.

Apakah kita sendiri adalah orang yang kita inginkan? Bagaimana perilaku kita memengaruhi perilaku karyawan kita? Inilah kunci terakhir dalam membangun budaya yang luar biasa. Inilah artinya menjadi seorang pemimpin.

Apa yang dilakukan Shaka adalah cerminan dirinya. Bila Anda ingin mengubah diri Anda, ubah budaya tempat Anda berada.

Buku yang sangat menarik karena memadukan kisah nyata dengan studi kasus dunia bisnis untuk melihat aplikasinya. Ya, budaya perusahaan merupakan hal yang sangat krusial untuk membangun perusahaan yang sukses. (*)

Edison Lestari

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved