Book Review zkumparan

Mencermati Kapitalisme yang Galau

Oleh Editor
Mencermati Kapitalisme yang Galau

Dalam dasawarsa terakhir ini, keyakinan bahwa ideologi kapitalisme akan mampu mendatangkan kemakmuran bagi suatu negara semakin memudar. Bahkan, keraguan itu terjadi di negara-negara kapitalis utama.

Judul : The Future of Capitalism: Facing the New Anxieties

Penulis : Paul Collier

Penerbit : Penguin Books (Cetakan Pertama, November 2018)

Tebal : 247 halaman

Dewasa ini, di banyak negara maju, tak sedikit keluarga yang membayangkan bahwa masa depan anak-anaknya tidak akan lebih baik daripada yang mereka alami saat ini. Masa depan terlihat lebih suram. Kecemasan, kemarahan, dan keputusasaan telah menyebar secara luas seiring dengan semakin menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dan antarwarga-negara.

Frustasi semakin meningkat dan telah membangkitkan energi yang melahirkan dua kelompok utama yang berseberangan: kelompok populis dan ideologis. Pertentangan di antara kedua kelompok semakin banyak bermunculan di berbagai belahan dunia saat ini dalam bentuk beragam. Ini menimbulkan dugaan bahwa kapitalisme telah gagal memenuhi tujuannya. Pandangan ini dipicu oleh kinerja ekonomi kapitalisme di banyak negara yang menunjukkan tanda-tanda kemunduran yang berarti.

Terjadinya krisis keuangan global pada 2008 merupakan kenyataan yang tidak bisa dimungkiri walaupun sudah semenjak 1980-an pesimisme tersebut tumbuh sedikit demi sedikit. Ironisnya, ini terjadi justru ketika ideologi komunisme yang bertahun-tahun jadi saingan utama ideologi kapitalisme telah runtuh lebih dulu.

Harus disadari, kita saat ini tidak lagi hidup dalam kelompok-kelompok kecil seperti yang dialami nenek moyang kita ribuan tahun lalu. Kita hidup dalam sebuah kelompok yang sangat besar yang saling terkait dan saling tergantung. Apa yang terjadi dan dilakukan oleh pihak lain akan dapat dengan cepat memengaruhi kehidupan kita. Kehidupan modern dengan segala kemajuannya yang kita jalani saat ini hanya mungkin terjadi karena manusia dapat bekerjasama dalam kelompok yang sangat besar yang memungkinkan terjadinya spesialisasi kerja dan tercapainya volume produksi dalam skala ekonomi yang tinggi.

Dengan efisiensi produksi yang tercapai, terjadilah kelimpahan produksi di beberapa sektor. Harus diakui, kapitalisme modern yang telah diterapkan banyak negara pada abad lalu memang berpotensi membuat masyarakat sejahtera secara menyeluruh. Namun, dalam praktiknya sekarang, kapitalisme tidak diiringi dengan sikap moral yang memadai sehingga menuju tragedi.

Sayangnya, perkembangan kapitalisme saat ini cenderung menuju arah yang semakin individualis dan mengabaikan kepercayaan sosial (social trust) yang seharusnya dibangun. Setiap individu sering hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas yang lebih besar; terlalu mengutamakan kepentingan diri sendiri dan terlalu mengabaikan kepentingan komunitas. Akibatnya, kapitalisme modern dewasa ini tidak menawarkan kemakmuran dan kehidupan bersama yang damai, tetapi lebih banyak menyebarkan hal-hal negatif yang terkait agresi, penghinaan, dan ketakutan. Suatu hal yang telah sukses dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump ketika hendak meraih tampuk kekuasaannya.

Saat ini kapitalisme modern telah mengalami kerusakan yang cukup parah dan semata-mata dikendalikan oleh elite-elite predator yang cenderung menggerogoti kemakmuran bersama. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi kecenderungan bahwa sikap yang mementingkan diri individu mengalami peningkatan, sementara sikap yang mengedepankan kepentingan komunitas mengalami kemunduran yang berarti.

Banyak orang berpendidikan yang memiliki produktivitas tinggi dan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, banyak pula yang menggunakan keahlian dan keterampilannya hanya untuk memperkaya diri mereka sendiri. Di semua tingkatan, seharusnya etika komunitas mulai dipulihkan, agar terdapat keseimbangan antara kepentingan/kekuatan individu dan kepentingan/kekuatan kolektif.

Dalam hal ini ada tiga narasi yang perlu dikembangkan, yaitu berbagi apa yang dimiliki di dalam kelompok, melakukan kewajiban yang sifatnya timbal balik di dalam kelompok, dan membangun tujuan bersama yang hendak diwujudkan dalam kelompok. Dalam masyarakat modern, karena kesenjangan sudah demikian lebar, sering kerjasama antarkelompok tidaklah terjadi, yang mengemuka justru persaingan yang semakin tinggi. Jarak antarkelompok semakin menjauh dan bisa mengarah pada terjadinya konflik jangka panjang. Niat untuk membangun kepentingan bersama dan mengesampingkan kepentingan pribadi semakin memudar.

Dalam perkembangannya kemudian, kapitalisme kerap dipandang sebagai ideologi yang tamak, mementingkan diri sendiri, dan korup. Hal itu secara jelas pernah ditunjukkan oleh pernyataan tokoh ekonomi pendukung kapitalisme ternama, Milton Friedman, yang pada 1970-an menyatakan bahwa tugas utama perusahaan semata-mata adalah mencetak laba. Dalam hal ini, tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat seakan-akan terabaikan.

Perusahaan perlu memiliki tujuan tertentu yang lebih besar daripada sekadar mencetak laba. Karena hanya mencetak laba sebagai tujuan, banyak perusahaan yang berusaha mewujudkan tujuan yang bersifat jangka pendek saja. Berbagai skandal dan penyelewengan di berbagai perusahaan dunia terjadi karena mereka hanya berorientasi jangka pendek untuk mencetak keuntungan secepat dan sebanyak mungkin tanpa memedulikan kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang.

Perusahaan tumbuh dan berkembang di suatu habitat. Maka, seharusnya menjadi tugas perusahaan melayani kepentingan pelanggan. Usulan utama Paul Collier, Profesor Ekonomi Universitas Oxford, yaitu kapitalisme harus dikelola untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang telah berubah; tidak harus semua yang ada di dalam kapitalisme ditolak atau dihilangkan.

Kebijakan yang diambil haruslah berlandaskan prinsip bahwa kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dan memberi hasil yang nyata. Dalam banyak kasus, sering kebijakan didasarkan pada pemikiran ideologi semata tanpa melihat apakah kebijakan tersebut benar-benar dapat dijalankan dan mampu mendatangkan kemakmuran yang nyata bagi masyarakat. Dalam hal ini, pragmatisme diperlukan agar hasil dari kebijakan benar-benar dapat dinikmati secara nyata oleh masyarakat luas.

Menurut Paul Collier, untuk memecahkan masalah yang terkait ideologi ini, hal pertama yang perlu dibenahi justru apa yang terjadi di dalam keluarga yang merupakan unit kelompok terkecil di masyarakat. Salah satu usulnya: anak balita perlu disubsidi oleh negara agar di masa depan dapat menjadi SDM berkualitas. Anak balita yang berada dalam masa pertumbuhan dan sangat menentukan masa depan harus diberi perhatian yang maksimal oleh negara. Negara harus mengintervensi kehidupan anak balita untuk menjamin kualitas hidupnya. Harus dimunculkan program besar yang lebih mengutamakan kepentingan keluarga dan komunitas kecil, karena mulai dari tempat itulah segala sesuatunya berasal.

Maka, tidaklah mengherankan bahwa penulis buku ini sangat mengagumi kiprah Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, yang mampu mewujudkan kemakmuran di negaranya. Negeri Singa merupakan contoh penerapan kapitalisme yang ramah dan bermoral, yang tetap peduli pada kepentingan keluarga dan komunitas. Saran yang diberikan untuk mengatasi hal ini: bersikap pragmatis dan menjauhkan diri dari ideologi; negara harus menangani masalah riil yang dihadapi warganya, masalah yang ada di depan mata.

Kebijakan yang ada tidaklah harus terlalu berideologi ke kanan atau ke kiri, tetapi selalu berada di tengah. Fokus pada solusi pragmatis terhadap inti masalah dan selalu berupaya menyesuaikan diri dengan situasi lokal. Pragmatisme yang ditawarkan harus dengan tepat dan konsisten didasarkan pada nilai-nilai moral dan selalu membumi. Kesemuanya dimainkan dalam tiga arena yang mendominasi kehidupan kita, yaitu di tingkat negara, perusahaan, dan keluarga.

Kapitalisme dewasa ini telah melahirkan masyarakat yang terpolarisasi. Hal itu memunculkan kehidupan yang mencemaskan, kehidupan yang membuat galau. Tantangan besar terhadap kapitalisme juga pernah terjadi pada saat depresi besar 1930-an. Namun, kapitalisme ketika itu bisa diselamatkan oleh pemikiran yang pragmatis, sehingga dalam dekade berikutnya, kapitalisme mampu membuat banyak negara menikmati masa-masa kemakmurannya.

Tantangan yang sama dihadapi kapitalisme dewasa ini. Karena itu, diperlukan langkah-langkah pragmatis untuk membawa kapitalisme kembali ke jalur yang seharusnya. Langkah ini tidak ingin menghilangkan kapitalisme, karena bagaimanapun ideologi ini telah banyak mendatangkan kemakmuran di masa lampau.

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan ideologi yang memungkinkan semua orang dapat bekerja dengan menjunjung tinggi martabat individu dan kelompok, di mana pun mereka berada. Ada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan pribadi, kebutuhan kelompok, dan kebutuhan masyarakat luas.(*)

Eko Widodo ( Staf Pengajar Program Studi Magister Administrasi Bisnis, Unika Atma Jaya, Jakarta)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved