Management Trends zkumparan

50 Tahun Big Mac, Menu Ikonik McDonald’s

Michael Hartono

Big Mac dikembangkan pertama kali tahun 1968. Sejak itu, menu hamburger istimewa ini bisa dinikmati pelanggan seantero jagat. Sebagai gambaran, hingga tahun 2004 saja, McD memiliki 30.000 rumah makan di seluruh dunia dengan jumlah pengunjung rata-rata 50.000.000 orang per hari –per rumah makan dikunjungi 1.700 orang.

Di Indonesia, resto McD pertama hadir di Sarinah, Jakarta, yang dibuka pada 23 Februari 1991. Berbeda dari kebanyakan resto McD di luar negeri, McD juga menjual ayam goreng dan nasi di berbagai restonya di Indonesia.

Hingga saat ini, Big Mac merupakan menu favorit di McD. Sandwich burger berukuran jumbo ini tidak hanya favorit di McD Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Wajar jika Big Mac menjadi menu favorit, bahkan menjadi menu ikonik di dunia. Maklum, Big Mac sudah ditemukan di Uniontown, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 1967 oleh Jim Delligatti, salah satu pemilik waralaba McD. Big Mac mulai diperkenalkan sebagai menu nasional di AS pada 1968.

Big Mac menjalani debutnya di luar AS setelah ditambahkan pada menu McD di Belanda, Jerman, Jepang, dan Australia sejak 1971. Kini, Big Mac dijual di lebih dari 100 negara, termasuk di McD Indonesia yang saat ini di bawah PT Rekso Nasional Food (RNF), sebagai pemegang lisensinya di sini. “Big Mac sebagai salah satu menu di McDonald’s, pencapaiannya luar biasa. Produk ini disukai dalam jangka panjang sebagai merek menu makanan sebuah resto cepat saji,” kata Michael Hartono, Direktur Pemasaran, Marcomm & CBI RNF, kepada Herning Banirestu dari Majalah SWA saat wawancara khusus di Graha Rekso Kelapa Gading, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Michael, produk, terutama menu resto, yang berusia panjang bisa dihitung dangan jari. Tahun ini Big Mac berusia 50 tahun. Produk ini bisa bertahan hingga sekarang karena terus menjaga relevansinya, tiap waktu, tiap dekade, tiap zaman. “Kalau tidak relevan, bisa dipastikan produk dan merek itu tidak ada masa depannya,” ujarnya.

Michael menjelaskan, produk McD dimulai dari beberapa item, simpel, tidak sebanyak sekarang. “Beberapa produk memang akhirnya mendunia, selain Big Mac, dan juga ada french fries (kentang goreng),” katanya. Padahal awalnya, McD hanya menjual cheese burger pada 1955 dan tanpa nama. Seiring dengan berjalannya waktu, McD melakukan inovasi yang unik di kala itu. Karena burger yang dikenal saat itu hanya cheese burger, lahirlah Big Mac. “Big Mac itu berbeda dari lainnya: dagingnya dua, ada roti di tengah selain dua roti yang mengapit, sayuran, acar, serta tentunya ada kejunya,” katanya menjelaskan. Produk ini unik, mengingat pada zaman itu belum ada produk seperti itu.

Big Mac kemudian bisa menjadi ikon McD. Boleh dibilang, tidak banyak produk yang bisa menjadi ikonik. “Kuncinya adalah level of consistency Big Mac tinggi, walau zaman dan generasi berubah,” kata Michael. Konsistensi sebuah produk dan merek memang perlu dijaga. Terutama makanan, dari sisi rasa harus dijaga. Rasa Big Mac yang tidak berubah membuat produk ini bisa diterima dari generasi ke generasi, dan bisa diterma oleh siapa pun.

Menurut Michael, mengingat McD ada di banyak negara yang memiliki kultur dan makanan yang dikonsumsi berbeda, maka agar sebuah produk bisa diterima, dibuatlah strategi komunikasi yang tepat. “Posisi seperti apa dari brand tersebut yang bisa diterima konsumennya,” ujarnya. Contohnya, untuk Indonesia, pihaknya paham bahwa nasi menjadi makanan pokok. Pihaknya pun ingin agar Big Mac bukan sekadar burger, tetapi memliki arti bagi konsumen. “Kebetulan karena dari size yang besar dibanding burger lain dan memiliki rasa unik yang tidak bisa diduplikasi burger lainnya, menurut kami, memakan burger ini menjadi produk rewarding bagi yang mengonsumsinya,” paparnya.

Jadi, Big Mac selain diposisikan sebagai alternatif konsumsi untuk nasi, karena ukurannya cukup besar dan bisa mengenyangkan, juga bisa diposisikan sebagai reward atas kerja keras. “Kita kerja suka lupa makan, lupa menyenangkan perut. Pada suatu saat, kita butuh menyenangkan diri, take a break, bahkan kita bisa meluangkan waktu itu dengan orang lain, teman atau keluarga,” katanya. Sudah sejak 3-4 tahun lalu McD mengampanyekan Big Mac sebagai produk yang bisa diposisikan sebagai rewarding.

Lalu, apa tantangannya mengelola merek yang berumur setengah abad? Menurut Michael, banyak yang berpendapat bahwa sebuah merek atau produk yang sudah besar akan sulit bergerak. Nah, dia tidak sependapat dengan hal itu. Baginya, kondisi tersebut bisa diantisipasi dengan membaca pasar yang tepat, melihat kondisi konsumen, serta terus relevan dan menjaga misi di masa depan. “Itulah yang akan terus dijaga Big Mac agar terjaga dalam jangka panjang,” ucapnya.

Selain terus berupaya tetap relevan, McD juga menyerap konten lokal. Waktu masuk ke Indonesia, belum ada menu nasi dengan ayam. Kalaupun ada, hanya olahan ayam dalam bentuk nuget. Nah, saat krisis moneter, manajemen McD melihat peluang mengangkat menu nasi dan ayam ini untuk disajikan bagi pelanggannya. “Jadi, menu ayam goreng dan nasi itu dari Indonesia. Kini, walaupun tidak di semua gerai McDonald’s dunia sudah menyediakan menu ini (ayam goreng dan nasi), menu ini sudah ada di beberapa negara lain, walau baru di delapan negara,” Michael menerangkan.

McD juga rutin menyajikan menu dengan adaptasi citarasa lokal seperti sambal matah, nasi uduk, dan ayam goreng spicy. Namun, menu-menu tersebut hanya ada dalam jangka waktu tertentu atau disebut dengan limited time offer. “Tidak menutup kemungkinan menu dengan citarasa lokal bisa seperti Big Mac,” ujarnya.

Michael mengakui menu McD memang identik dengan burger. Itu sebabnya, ke depan McD akan dikembangkan sebagai contemporary burger restaurant. “Burger sudah menjadi pilihan makanan pokok, demand cukup tinggi, banyak sekali pertumbuhan restoran yang fokus di burger di negara-negara maju,” katanya. Konsumen pun makin menuntut kualitas produk atau menu yang premium. Hal ini yang memicu McD terus berinovasi dengan menghadirkan menu-menu yang diinginkan konsumen.

Ke depan, McD pun akan terus menjaga relevansi restonya dengan zaman yang sedang berjalan. Di era yang makin cepat ini, penggunaan gadget makin tinggi, digital pun berkembang makin luas. “Kami harus menyesuaikan diri dengan hal ini. Kami pun tetap harus menjaga kekuatan brand, memastikan setiap orang bisa menikmati makan enak di McDonald’s dengan menu-menu yang disajikan. Tapi di saat bersamaan, kami terus memudahkan pelanggan seperti layanan delivery McDonald’s,” katanya.

Itulah berbagai upaya yang terus dilakukan McDonald’s untuk menjawab tantangan zaman agar bisa terus relevan. Termasuk untuk Big Mac, agar tetap menjadi menu favorit setelah usianya setengah abad. (*)

Dede Suryadi dan Herning Banirestu

Riset: Elsi Anismar


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved