Trends

Beli Online, Bayar Offline: Ekonomi Digital dan Perlindungan Data Pribadi

Beli Online, Bayar Offline: Ekonomi Digital dan Perlindungan Data Pribadi

Badan Pusat Statistik mengeluarkan data statistik e-commerce 2020 dengan fakta cukup menarik. Masyarakat kian gemar membeli barang secara online, tetapi sebagian besar pembayaran dilakukan cash on delivery (COD) atau pembayaran tunai langsung.

Salah satu faktor penyebabnya, menurut peneliti di Center for Indonesian Policy Studies, Thomas Dewaranu, adalah soal kepercayaan. Masyarakat belum sepenuhnya yakin terhadap penyimpanan ataupun transaksi uang digital.

“Di pedesaan, masyarakat enggak nyaman dengan menggunakan misalnya e-wallet atau bahkan fintech. Di fintech-fintech yang resmi saja mereka masih kurang nyaman, untuk menggunakan karena belum percaya. Kalau buka berita, tiap hari soal penipuan pinjol atau dengar di radio, ada orang ditagih dikejar-kejar pinjol. Jadi mereka takut untuk menggunakan itu,” ujar Thomas.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Thomas Dewaranu (VOA)
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Thomas Dewaranu (VOA)

Dia memaparkan itu dalam diskusi RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Perekonomian Digital Indonesia. Diskusi ini diselenggarakan Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (21/10) malam.

Dalam kaitan ekonomi digital, menurut Thomas, kepercayaan terkait erat dengan jaminan keamanan. Karena itulah, katanya, penting bagi Indonesia untuk segera memiliki landasan hukum perlindungan data pribadi. Sayang, Indonesia relatif lambat membahas persoalan ini. Dalam catatan pemerintah, RUU PDP telah mulai dibahas sejak 2012, dan masuk ke DPR sekitar 2014 namun hingga tahun ini belum juga disahkan.

Padahal, kata Thomas, undang-undang penting untuk memberi batasan. Misalnya bagi dunia usaha, ada kepastian sejauh mana data dikumpulkan, diproses dan hal-hal apa yang diperlukan dalam pengumpulan data. Sementara terkait masyarakat yang dikumpulkan datanya, isu keamanan penting, sehingga aturan yang jelas akan menambah kepercayaan.

“Kalau ada perlindungan yang jelas, framework regulasi dan kebijakan yang jelas, terkait pemrosesan data pribadi, itu dapat meningkatkan rasa aman masyarakat dan mendorong mereka menggunakan platform digital sesuai kebutuhan secara bijaksana,” tambah Thomas.

Data statistik e-commerce 2020 BPS menyebut, dari 17 ribu usaha atau perusahaan yang didata, tercatat 73 persen transaksi dilakukan melalui COD. Gorontalo, Kalimantan Utara, Bengkulu, Kepulauan Bangka-Belitung dan Papua Barat adalah lima provinsi dengan pilihan COD tertinggi. Metode kedua adalah transfer bank, yang dilakukan dalam sekitar 21 persen transaksi. Hanya kurang dari 5 persen transaksi yang dilakukan melalui dompet digital atau e-wallet.

Perbankan Siapkan Diri

Direktur Basel dan Perbankan Internasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tony, mengaku, digitalisasi sektor perbankan tidak bisa dihindari. Terutama ini karena masyarakat menuntut transaksi perbankan yang lebih mudah. Namun, Potensi kebocoran data digital, memang menjadi perhatian khusus.

Direktur Basel dan Perbankan Internasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tony. (VOA)
Direktur Basel dan Perbankan Internasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tony. (VOA)

Meski RUU PDP belum disahkan, sektor perbankan telah memiliki UU Perbankan yang mengatur kerahasiaan data nasabah. Salah satunya, diatur bahwa sektor jasa keuangan tidak bisa serta merta membagikan data nasabahnya kepada pihak lain, tanpa adanya konsen dari nasabahnya. Namun, kata Tony, dalam kasus digitalisasi keuangan, kadang persoalan justru ditimbulkan oleh ketidaktelitian nasabah.

“Seringkali nasabahnya sendiri yang kurang aware terhadap resiko data yang dimilikinya. Yang sering jadi masalah kita, ternyata nasabahnya yang memberikan konsen untuk membagikan datanya. Dalam kasus pinjaman online legal, misalnya, nasabah memberikan konsen untuk mengakses data dan menyebarkan data dia, bila diperlukan,” papar Tony.

Masalah lain yang juga harus diselesaikan terkait ini, selain literasi digital bagi masyarakat, adalah seragan siber. Tony tidak memungkiri, bahwa upaya pencurian data sektor perbankan kerap terjadi, dan karena itulah OJK menekankan perlunya keamanan siber sektor ini.

“Dalam waktu dekat, OJK akan mengeluarkan consultative paper mengenai keamanan siber di sektor perbankan. Kita akan launching kebijakan OJK terkait transformasi digital perbankan,” lanjut Tony.

Macet di DPR

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan mengakui RUU PDP sudah lama dibahas, bahkan sejak periode legislator sebelumnya. Saat ini, seharusnya DPR sudah mampu menyelesaikannya, tetapi kenyataan berbicara lain.

“Selama hampir tujuh tahun pembahasan, kita memang menghadapi banyak masalah. Karena sebetulnya secara umum, kita masih memiliki berbagai macam perbedaan pemahaman, tentang apa itu data pribadi, dan apa itu perlindungan data pribadi,” kata legislator yang juga mantan penyiar radio ini.

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan.(VOA)
Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan.(VOA)

Farhan memberi contoh, sejumlah peristiwa yang sehari-hari terjadi, untuk menggambarkan perbedaan pendapat di DPR. Misalnya, ketika seseorang masuk ke sebuah pusat perbelanjaan, dan tiba-tiba dia menerima pesan dari operator selular, berisi promosi salah satu gerai disana. Atau nomor tertentu yang bisa mengirim pesan penagihan pinjaman, bukan ke peminjam tetapi justru kepada teman-temannya, seperti yang marak dilakukan pengelola pinjaman online saat ini.

“Apakah itu termasuk upaya untuk melanggar perlindungan data pribadi?” kata Farhan.

Lebih kompleks lagi, lanjut Farhan, adalah operasi sejumlah perusahaan pengumpul data di internet. Data itu kemudian disusun sebagai pola perilaku yang dapat dijual untuk program kampanye atau promosi tertentu. Skema yang rumit ini juga perlu dibahas dalam RUU tersebut.

Masalah lain, di luar soal data elektronik, adalah data fisik milik masyarakat. Sudah umum diterapkan, warga yang mengurus administrasi di kelurahan atau kecamatan, harus menyerahkan fotokopi KTP, Kartu Keluarga atau surat lain. DPR dan pemerintah perlu memutuskan, apakah kemudian, fotokopi itu surat identitas itu termasuk data yang harus dilindungi atau tidak.

“Kalau perlu dilindungi, maka kita wajib menuntut siapapun yang menguasai data itu. Kenapa kertas tersebut bisa berujung di tukang gorengan jadi bungkus gorengan?” ujar Farhan sambil tertawa.

Segala perdebatan terkait hal-hal semacam itu yang terjadi bertahun-tahun menggambarkan rumitnya persoalan. Tidak ada kepastian juga, bahwa hingga akhir tahun ini RUU PDP akan selesai, karena DPR tinggal punya waktu 25 hari kerja di bulan November untuk membahasnya.

“Termasuk juga perdebatan tentang pembentukan otoritas perlindungan data pribadi, yang tampaknya sekarang sudah mulai mengerucut untuk setuju berada di bawah Kominfo. Kemudian nanti akan dibentuk sebuah dewan pengawas perlindungan data pribadi yang melibatkan berbagai macam stakeholders,” kata Farhan terkait persoalan yang masih harus diselesaikan ke depan.

Perlu Kesesuaian Global

Sebagai sebuah produk aturan, RUU PDP tidak bisa dilepaskan dari aturan yang berlaku di negara lain atau kawasan tertentu. Salah satu faktornya adalah karena ada beberapa aktivitas, misalnya ekonomi digital, tidak tidak memiliki batas negara.

Catatan itu disampaikan Noudhy Valdryno, Manajer Kebijakan Publik, Facebook Indonesia dan Timor Leste, dalam diskusi yang sama.

Noudhy Valdryno, Manajer Kebijakan Publik, Facebook Indonesia dan Timor Leste. (VOA)
Noudhy Valdryno, Manajer Kebijakan Publik, Facebook Indonesia dan Timor Leste. (VOA)

“Bagaimana caranya, supaya PDP yang dihasilkan di Indonesia ini, nantinya juga bisa diakui standarnya oleh dunia internasional. Jadi tidak overimplement, tidak ada overcollection, tidak ada over sanction. Tetap membuka ruang untuk inovasi tapi juga bisa memfasilitasi cross border e-commerce,” kata Noudhy.

Noudhy mengingatkan, Indonesia sudah menandatangani Kesepakatan ASEAN t, dan otomatis menjadi bagian dari anggota ekosistem ASEAN. Karena itulah, diperlukan standarisasi pertukaran data atau informasi, misalnya antara perusahaan yang beroperasi di negara-negara berbeda.

Karena itu, meski dampak ekonomi digital luar biasa, pertanyaan dasarnya tetap butuh jawaban, dan itu nampaknya belum dipikirkan.

“Bagaimana caranya, PDP kita supaya terintegrasi dengan peraturan lain yang nanti juga memfasilitasi ASEAN Economic Agreement. Dan jangan dilupakan, di ASEAN juga ada ASEAN Privacy Framework, yang kita juga sudah tanda tangan,” tambahnya.

Karena itulah, ketika disahkan nanti, UU PDP harus sejalan dengan undang-undang sejenis dari negara lain. [ns/ab]

Sumber: VoAIndonesia.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved