Management Trends

Bisnis Pengolahan Serabut Kelapa Mengkreasikan Ekonomi Sirkular

Bisnis Pengolahan Serabut Kelapa Mengkreasikan Ekonomi Sirkular
(kiri-kanan) Ruddy Dimyati, Direktur Utama PT Sribana Agro Persada, dan Cristhoper Teophilus Mamahit, Direktur PT Sribana Agro Persada. (Foto : Dok)

Indonesia, berdasarkan data lembaga pangan dunia (Food and Agriculture Organization) di 2018, merupakan negara produsen kelapa terbesar di dunia dengan luas lahan perkebunan sebesar 3,4 juta hektare dengan lebih dari 90% merupakan area perkebunan rakyat dengan total produksi mencapai 18,74 juta ton.

Tingginya volume produksi kelapa ini masih belum dioptimalkan untuk mengolah produk turunan kelapa. Salah satu minimnya pelaku usaha yang bergerak dalam usaha pengolahan turunan kelapa ini disebabkan tidak cukupnya pengetahuan dan pemahaman terhadap potensi produk turunan kelapa, khususnya serabut kelapa.

Bisnis pengolahan serabut kelapa ini cenderung tidak dilirik oleh pelaku bisnis sehingga potensi ekonominya tak maksimal. Merujuk data Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, mencatat potensi ekonomi yang hilang dari pembuangan atau pembarakan sabut kelapa senilai Rp 143 miliar per tahun. Melihat potensi dan prospek yang besar dari pengolahan sabut kelapa tersebut, membuat Ruddy Dimyati dan Cristhoper Teophilus Mamahit terpacu untuk mengeluti bisnis industri serat kelapa sejak 2017.

Kemudian, kedua sekawan ini mendirikan PT Sribana Agro Persada di 2022. Perusahaan ini mengolah sabut kelapa di desa Kranjingan, Kabupaten Jember, Jawa Timur. “Hasil olahan serabut kelapa tersebut menghasilkan serbuk kelapa (cocopeat) dan cocofiber, yang banyak diminati oleh pasar internasional,” ujar Cristhoper Co–Founder dan Direktur Sribana Agro Persada saat dihubungi SWA Online pada Jumat (23/9/2022).

Cikal bakal menjalankan usaha ini didorong oleh serabut kelapa yang dibakar di banyak tempat di Indonesia. Alhasil, potensi ekonominya menguap tak berbekas. Jikalau dibandingkan negara tetangga, semisal Filipina dan Thailand, serabut kelapa diolah lebih lanjut sebagai produk olahan bernilai ekonomi. “Kami meyakini potensi ekonomi dari produk olahan sabut kelapa di pasar internasional” ujar Ruddy, Direktur Utama dan founder Sribana Agro Persada.

Cocopeat berguna untuk media tanam tumbuhan dan alas ternak (kuda dan Sapi) dan cocofiber banyak digunakan di pasar Asia sebagai matras (alas tidur). Sribana Agro Persada mengekspor produknya. Sekitar 90% dari jumlah total produk dialokasikan untuk pasar ekspor. “Cocopeat diekspor ke Korea Selatan dalam bentuk kemasan blok 5 kg dan 30 kgs, dengan potensi ekspor sebulan sebanyak 8 container 40 feet high cube. Sedangkan untuk cocofiber di ekspor ke China, dengan jumlah sebanyak 8 container 40 feet high cube” tutur Cristhoper. Ekspor produk itu membuka peluang Sribana Agro Persada untuk mencatatkan omzet senilai Rp 500 juta per bulan atau Rp 6 miliar/tahun.

Ekonomi Sirkular dan Berinovasi

Potensi bahan baku yang melimpah dan permintaan konsumen yang tinggi itu direspons oleh perseroan untuk berinovasi dengan memutakhirkan tekonologi pengolahan sabut kelapa. “Faktor teknologi, ternyata memegang kunci penting keberhasilan dalam mengolah sabut kelapa menjadi cocopeat dan cocofiber yang sesuai dengan spesifikasi produk yang diinginkan konsumen,” sebut Ruddy

Sekitar lima tahun terakhir ini, perseroan berikhtiar menciptakan mesin yang efisien dan efektif. “Banyaknya kegagalan pelaku usaha yang bergerak dalam bisnis ini, faktor utamanya adalah minimnya pengetahuan terhadap teknologi mesin pengolah sabut kelapa,” ungkap Cristhoper.

Kini, perseroan sedang menjajaki pasokan produk ke beberapa negara. Saat ini, permintaan cocofiber dari China relatif melambat lantaran adanya lockdown di negara ini.

Cristhoper dan Ruddy mencari gagasan bisnis untuk meyiasati penurunan permintaan cocofiber. Mereka berancang-ancang untuk membuat produk akhir cocofiber menjadi coirope, dengan mendatangkan mesin pintal cocofiber dari India untuk pangsa pasar Korea Selatan. Opsi ini dilakukan sebagai terobosan bisnis untuk menjaga laju bisnis yang berkelanjutan Adapun coirope banyak digunakan untuk industry pertanian dan perikanan .

Salah satu produk dari coirope, yakni cocomesh, digunakan sebagai media perbaikan lahan bekas tambang dan penahan longsor. Namun, sangat disayangkan rupanya produk turunan kelapa, tersebut tidak berjaya di pasar lokal. “Seharusnya pemerintah mulai memikirkan agar potensi industry serabut kelapa ini, juga dapat berkembang, sebagaimana di India yang mempunyai organisasi khusus untuk riset dan pemasaran” ujar Cristhoper.

Saat ini dengan pelambatan permintaan luar negeri, banyak pelaku usaha mikro pengolahan sabut kelapa di berbagai wilayah Indonesia, telah tutup dan tidak beroperasi, dikarenakan tidak mampu bersaing harga dengan produk dari Vietnam dan India. “Dengan penciptaan market lokal, contohnya kewajiban bagi pengusaha tambang untuk melakukan reklamasi lahan tambang dengan mengunakan cocomesh, maka akan menjadi efek domino perekonomian serta mengkreasikan ekonomi sirkular,” ucap Cristhoper.

Ruddy dan Cristhoper optimistis segmen bisnis yang digarap Sribana Agro Persada itu menciptakan produk yang bernilai tambah untuk pasar domestik dan internasional. “Selain itu, kami menciptakan ekosistem ekonomi sirkular lantaran mengolah sabut kelapa yang dianggap limbah dan terbuang serta bermitra dengan para petani,” imbuh Cristhoper. Sribana Agro Persada telah menjaring konsumen dari kelompok usaha papan atas, seperti Sinar Mas melalui PT SMART Tbk.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved