Business Research

Riset UI: Meski Krisis, Industri Rokok Tetap Joss!

Riset UI: Meski Krisis, Industri Rokok Tetap Joss!

Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Hasan mengatakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat meredam jumlah produksi rokok di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada konsumsi rokok. “Krisis moneter tidak dapat menurunkan produksi dan konsumsi rokok,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 21 Desember 2015.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mencatat, tahun 1997 hingga 1998 dengan inflasi mencapai 70 persen dan pertumbuhan ekonomi turun hingga -13 persen, konsumsi rokok malah meningkat. Dari 220 miliar batang rokok menjadi 269,8 miliar batang.

Antara tahun 2008 dan 2013, inflasi meningkat dari 2,78 persen ke 6,38 persen. Namun produksi rokok meningkat dari 250 miliar batang rokok menjadi 346 miliar batang.

Kegiatan produksi di pabrik rokok Sampoerna

Kegiatan produksi di pabrik rokok Sampoerna

Abdillah mengatakan tingginya produksi rokok ini dipengaruhi harga rokok yang sangat murah. Pada 2013, data dari Euromonitor International mencatat rokok golongan premium harga per batangnya adalah Rp 813 atau per bungkus isi 16 batang hanya Rp 9.999.

Sementara itu, kontribusi industri rokok ke pendapatan domestik bruto selama 15 tahun dari 1995 sampai 2010 selalu di bawah 2 persen. “Dari sumbangan 66 sektor pada PDB, industri rokok tidak pernah masuk 10 besar,” kata Abdillah.

Di sisi serapan tenaga kerja, industri rokok bukan penyerap tenaga kerja terbanyak. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2012, dari 111 juta total pekerja, hanya 0,25 persennya saja yang bekerja di sektor pengolahan tembakau, yaitu sebanyak 281 ribu pekerja.

Upah per bulan pekerja rokok selalu lebih rendah dibandingkan upah pekerja industri makanan atau pengolahan pada umumnya. Gap yang terjadi terus meningkat sejak tahun 2000.

Hasil penelitian dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat serta Universitas Airlangga tahun 2013 di Lombok Timur, Pamekasan, Jember, dan Temanggung menunjukkan bahwa tanaman tembakau memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani dibandingkan tanaman lain.

Pada periode 2008 hingga 2013, tanaman tembakau memberikan keuntungan Rp 16 juta hingga Rp 29 juta per hektare tergantung lokasinya. Sementara itu, tanaman lain memberikan keuntungan Rp 2 juta hingga Rp 8 juta per hektare.

Abdillah mengatakan, dengan keuntungan yang besar tersebut, sebenarnya petani tembakau tidak dirugikan oleh kebijakan pemerintah dalam pengendalian rokok, seperti kenaikan cukai dan kawasan tanpa rokok.

“Dalam upaya untuk diversifikasi penggunaan tembakau, pemerintah perlu mendorong lembaga penelitian dan pengembangan untuk menemukan produk tembakau selain rokok,” ujar Abdillah.

Tempo


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved