Business Research

Tony Prasetiantono: Tahun 2016 Baik Bagi Pemulihan Ekonomi Indonesia

Oleh Dibi
Tony Prasetiantono: Tahun 2016 Baik Bagi Pemulihan Ekonomi Indonesia

Ekonom Tony Prasetiantono mengatakan, perekonomian global masih belum berhenti mengalami gejolak pada tahun 2016. Suku bunga Amerika Serikat diperkirakan akan bertahap naik serta perekonomian China akan akan melambat. Meski begitu, dia melihat perekonomian Indonesia akan lebih baik karena kebijakan Presiden Joko Widodo yang mendorong infrastruktur dan suku bunga yang berangsur turun. Tanda-tanda sehatnya perekonomian Indonesia sudah terlihat dari data-data makro yang ada.

tony

Lihat saja untuk pertumbuhan ekonomi kuartal terakhir 2015 yang mencapai 5,04% , inflasi 3,35 % , neraca perdagangan surplus US$ 7,5 milliar. “Dengan neraca pembayaran yang mengalami defisit hanya US$ 1,2 milliar, saya bisa katakan ini adalah rangkaian data yang cukup melegakan. Artinya setelah kita terjebak di angka pertumbuhan 4,7%, akhirnya kita bisa tembus angka 5,04% yang menunjukan bahwa consumer confidence itu meningkat,” ujar Tony di sela acara paparan ekonomi dan politik bertajuk “2016 Prospects : Economic Policies and Political Condition” yang diselenggarakan oleh ANZ Bank.

Hadir dalam acara tersebut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono dan Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya sebagai pembicara. Meski keduanya menyampaikan materi dalam bidang yang berbeda, namun output dari presentasi keduanya bernada positif. Dari sisi ekonomi maupun politik, keduanya melihat bahwa tahun ini akan menjadi tahun yang baik bagi perekonomian Republik Indonesia.

Selain dari data-data makro tersebut, ada faktor lain yang menguntungkan Indonesia dan datangnya dari luar negeri. China, menurut Tony, kehilangan banyak sekali cadangan devisa. “Jumlah pengurangannya mencapai US$ 500 milliar di tahun 2015 ditambah lagi dengan US$ 100 milliar pada Januari 2016. Jadi ada capital outflow dari Cina,” jelas Tony.

Beberapa negara lain seperti Brazil dan Venezuela juga sedang mengalami masalah. Brazil saat ini mengalami inflasi 10,5% dan defisit APBN 10% terhadap GDP. Normalnya, bagi Indonesia dan Brazil, defisit APBN seharusnya 2-3% terhadap GDP. Indonesia sendiri, menurut Tony, saat ini defisitnya hanya 2,5% , jumlah yang sangat signifikan dibandingkan dengan defisit yang dialami Brazil. “Ini semua menimbulkan pilihan bagi investor global itu tidak banyak. Sekarang ini yang favorit ya India atau Indonesia. Memang ada beberapa negara tetangga kita yang tumbuh cepat seperti Filipina atau Vietnam, tapi mereka total GDP nya rendah, sehingga tidak menarik bagi investor,” tuturnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved