Business Research

Gustav F. Papanek: Inilah Kunci Indonesia Capai Pertumbuhan Ekonomi 10%

Gustav F. Papanek: Inilah Kunci Indonesia Capai Pertumbuhan Ekonomi 10%

Berpalingnya Tiongkok dari sektor manufaktur padat karya ke manufaktur berbasis teknologi yang lebih tinggi, memberikan peluang tersendiri bagi Indonesia untuk menguatkan sektor manufaktur padat karya. Jika Indonesia mampu merebut 7% saja dari investasi dan pasar manufaktur padat karya Tiongkok, maka akan memberikan kesempatan untuk Indonesia bertumbuh sebanyak 10% dan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Setidaknya, demikianlah yang disampaikan oleh Gustav F. Papanek, Profesor Emeritus Bidang Ekonomi Universitas Boston.

Gagasan ini disampaikan oleh Papanek karena melihat angka indeks upah riil dari pekerja manufakur yang mengalami kenaikan, dibandingkan upah riil dari buruh tani, pekerja konstruksi, dan asisten rumah tangga. Selain itu, masih rendahnya angka ekspor di sektor manufactur, seakan memberikan ruang untuk sektor manufaktur padat karya untuk Indonesia di Tiongkok. Gustav F. Papanek dan Tim Transformasi

Pria berusia 88 tahun ini juga menyampaikan beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintahan yang baru saja dilantik. Pertama, mendevaluasi nilai tukar mata uang atas dollar Amerika Serikat. Nilai tukar Rupiah yang kini cenderung melemah atas Dollar Amerika Serikat ini akan menguntungkan bagi pengembangan industri manufaktur berorientasi ekspor. Pasalnya, devaluasi nilai tukar ini menjadi alat yang ampuh untuk memangkas biaya produksi domestic, termasuk biaya tenaga kerja, serta memberi margin keuntungan financial yang lebih tinggi bagi eksportir. Strategi ini pernah dilakukan Tiongkok selama puluhan tahun yang membawa Tiongkok menjadi pengembang dan penguasa pasar indutri manufaktur padat karya berorientasi ekspor terbesar.

“Nilai tukar kuat sebenarnya berarti ekonomi lemah. Sebaliknya, niali tukar lemah, berarti ekonomi kuat. Tiongkok sudah membuktikan itu, ketika mereka cenderung mendevaluasi nilai tukarnya untuk mengembangkan industri manufaktur ekspornya. Saat ini kesempatan bagi Indonesia,” jelas Papanek.

Devaluasi nilai tukar memang beresiko terjadinya inflasi. Namun, pemerintah sebenarnya tak perlu terlalu khawatir hal tersebut. Stabilisasi harga makanan pokok, salah satunya lewat subsidi akan melindungi pendapatan tenaga kerja dan mengurangi dampak inflasi akibat devaluasi.

“Pemerintah juga dapat menerapkan tarif nol persen untuk produk-produk impor bahan pokok guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti bawang, beras, cabai, dan lain-lain,” tambah Papanek.

Strategi pertama tersebut tentunya belum cukup. Pria yang juga Penasihat Senior Transformasi ini juga menyarankan perlunya perbaikan pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor manufaktur padat karya. Sumber dana yang dapat digunakan dalam jangka pendek saat ini adalah dengan memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selanjutnya, pemerintah harus mendorong penerimaan pajak, dengan melakuka reformasi perpajakan. Perbaikan pembangunan ini dilakukan dilakukan di daerah—daerah yang berpotensi tinggi, yang memiliki banyak pabrik yang siap ekspor. Salah satu infrastruktur yang bisa dikembangkan adalah pelabuhan.

Pengembangan infrastruktur juga perlu didukung dengan pengembangan SDM nya sendiri. Kembali meniru pola yang pernah diterapkan Tiongkok, Indonesia dapat memberikan pelatihan untuk pekerja-pekerja yang bekerja di bidang ekspor. Ini menjadi salah satu strategi untuk mengurangi biaya produksi tanpa mengurangi pendapatan tenaga kerja. “Selanjutnya, kurangi biaya produksi tanpa mengurangi pendapatan tenaga kerja, bahkan meningkatkan pendapatan mereka. Itu sulit, tapi sebenarnya sangat mungkin dilakukan. Caranya, produktivitas tenaga kerja harus ditingkatkan melalui pelatihan kepada mereka yang difasilitasi oleh pemerintah,” sambung Papanek.

Merebut pasar dan investasi sektor manufaktur pada karya Tiongkok, memang bukan perkara yang mudah. Indonesia harus berkompetisi dengan Negara-negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, Bangladesh, dan Laos. Namun Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan negara-negara tersebutk, yakni jumlah angkatan kerja yang sangat besar. “Indonesia saat ini mengalami surplus tenaga kerja, khususnya di sektor pertanian hingga 20 juta orang. Jika mereka dapat bekerja di sektor manufaktur, otomatis kesejahteraan mereka meningkat, dam kemiskinan dapat dikurang,” jelas Papanek.

Papanek menutup penjelasannya dengan menyebutkan bahwa jika pemerintah tidak mengikuti strategi ini, maka Indonesia pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mencapai 10%, hanya akan tumbuh 4%-5%. Selain itu, dampak lain juga akan dirasakan oleh para pekerja, dimana para pekerja tidak akan mendapatkan kesempatan untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved