Business Research Trends

Pelaku Usaha Berharap Ekonomi Pulih Kembali di Awal September

Merebaknya wabah Covid-19 yang sangat cepat membuat aktivitas ekonomi ikut terpuruk. Dalam sebulan terakhir, 74% perusahaan di Indonesia mengatakan bisnisnya sangat terganggu sejak merebaknya Covid-19 di Indonesia. Sekitar 62% di antaranya mengakui pendapatan perusahaannya menurun drastis. Mereka pun berharap situasi ini akan pulih setidaknya pada awal bulan September 2020.

Sentimen tersebut tercermin pada hasil riset SurveySensum Covid-19 Industry Sentiment Tracker, merupakan survei dua-mingguan yang dilakukan oleh perusahaan riset NeuroSensum dengan menggunakan platform berbasis Artificial Intelligence SurveySensum. Survei dilakukan pada 27 Maret hingga 6 April 2020 terhadap 109 responden bisnis dari berbagai sektor seperti FMCG, telekomunikasi, e-commerce, media, otomotif, asuransi, perbankan, dan manufaktur.

“Sentimen pelaku industri memang lebih skeptis dibanding konsumen. Sementara konsumen berharap Covid-19 tuntas di akhir Mei, para pebisnis memperkirakan situasi ini akan kembali normal setidaknya 5 bulan dari sekarang, yaitu di awal bulan September,” ungkap Rajiv Lamba, CEO SurveySensum & NeuroSensum dalam keterangan tertulis, Senin (20/04).

Dalam survei menunjukkan bahwa penurunan pendapatan dialami oleh perusahaan di sektor apapun. Setidaknya 54% perusahaan FMCG pun turut mengalami penurunan pendapatan meski tak sebesar sektor lain.

Rajiv menjelaskan, para pelaku industri telah melakukan berbagai strategi untuk melakukan penghematan, terutama dengan memangkas sejumlah komponen anggaran perusahaan. Salah satu komponen anggaran yang dipangkas adalah sumber daya manusia (SDM).

Tercatat bahwa 56% perusahaan berhenti merekrut karyawan baru hingga waktu yang belum ditentukan. Bahkan 10% perusahaan terpaksa melakukan pengurangan karyawan untuk mengurangi beban operasional perusahaan. “Meski demikian, ada 34% perusahaan yang masih menerima tenaga baru, namun terbatas pada posisi-posisi penting saja,” tutur Rajiv.

Selain SDM, perusahaan pun memangkas anggaran promosi dan periklanan. Sebanyak 55% perusahaan memotong anggaran promosi Below The Line (BTL) termasuk pemasangan billboards dan iklan-iklan di luar ruangan. Pemotongan anggaran promosi Above The Line (ATL) termasuk iklan televisi dan radio juga dilakukan oleh 33% responden bisnis.

Tak berhenti di pemotongan anggaran iklan, terungkap 42% perusahaan menunda berbagai kegiatan aktivasi dan kampanye penjualan produk-produk mereka. Sebagai efek domino, anggaran riset pemasaran pun jadi sasaran penghematan 24% perusahaan.Pemangkasan anggaran di berbagai pos periklanan dan pemasaran tidak hanya untuk penghematan, tetapi juga perubahan strategi perusahaan.

“Dengan situasi seperti sekarang di mana konsumen mengurangi aktivitas di luar rumah, para pelaku industri harus lebih fokus pada eksistensi dan promosi di dunia digital. Transaksi di dunia digital baik melalui e-commerce, media sosial, maupun layanan pesan instan akan menjadi normal yang baru bagi industri di hampir semua sektor,” katanya.

Untuk menghadapi normal baru tersebut, sejumlah strategi dilancarkan para pelaku industri di berbagai sektor. Strategi paling utama adalah mengoptimalkan fokus pada penjualan di e-commerce. Hal ini telah dilakukan oleh 59% perusahaan responden.

Sementara, guna meningkatkan penjualan di berbagai platform digital, 51% perusahaan tak canggung menaikkan anggaran promosi di media digital. Selain itu, 28% perusahaan mengubah rantai pasok mereka supaya produk mereka dapat menjangkau konsumen secara langsung hingga di pintu rumah konsumen.

Meski sejumlah perusahaan memangkas anggaran BTL, 20% pelaku industri melakukan sebaliknya. Mereka menaikkan anggaran beriklan di TV. “Pertimbangannya, saat ini banyak konsumen berdiam di rumah. Ketika banyak waktu luang di rumah, mereka akan lebih sering menonton TV. Para pemilik merek melihat hal tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk hadir mengisi ruang keluarga konsumennya,” papar Rajiv.

Ia melanjutkan, dunia digital tidak hanya dimanfaatkan para pelaku industri untuk pemasaran tetapi juga untuk menjaga keamanan karyawan. Seperti yang diungkapkan 77% perusahaan telah memberlakukan aturan Work from Home atau Kerja di Rumah. Untuk mendukung iklim digital di dalam perusahaan sekaligus memfasilitasi penerapan WFH, 46% responden meningkatkan infrastruktir digital perusahaan.

Adapun sekitar 51 perusahaan juga menerapkan pembagian tim kerja dan shift untuk mengurangi banyaknya karyawan di kantor. Strategi pembagian tim seperti ini biasanya dilakukan oleh industri atau divisi yang memang tidak memungkinkan WFH.

Di tengah situasi yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar konsumen, Rajiv berharap, pelaku usaha lebih berhati-hati dalam memasarkan produk. Di satu sisi, pelaku usaha memang harus tetap mempertahankan konsistensi identitas merek, namun di sisi lain konsumen tidak ingin para pemilik merek mengeksploitasi Covid-19 untuk mempromosikan produknya.

“Saat ini kita semua khawatir, cemas, sehingga para pelaku usaha diharapkan lebih menunjukkan simpati dan empatinya. Konsumen memahami bahwa pelaku usaha harus menjual produknya ke mereka, namun sebaiknya dengan cara yang lebih halus. Tidak bisa serta merta mengatakan ‘Anda harus minum ini supaya tidak tertular Covid-19’,” tegas dia.

“Tunjukkan bahwa merek Anda ikut berkontribusi positif melawan Covid-19 misalnya dengan kegiatan sosial. Bisa juga dengan ikut mengedukasi konsumen bagaimana beradaptasi dengan situasi saat ini. Buktikan bahwa merek Anda ikut memperbaiki situasi dari sudut pandang yang lebih optimistis,” tambahnya.

Kegiatan aktivasi dengan tujuan mendukung masyarakat, mengedukasi konsumen mengenai kesehatan, higienitas dan kebersihan ini dinilai menjadi sangat penting. Untuk itulah pelaku usaha harus memahami perubahan perilaku konsumen secara terus-menerus. Dengan demikian para pelaku usaha dapat lebih cermat mengidentifikasi mana sajakah kanal pemasaran yang dapat memberikan ROI (Return on Investment) tinggi.

Lebih lanjut Rajiv menekankan kepada pelaku usaha untuk semakin mengoptimalkan keberadaan produknya baik di pasar online maupun offline. Hal ini terutama berlaku bagi produsen kebutuhan pokok, kesehatan dan higienitas yang masih akan terus menjadi incaran konsumen.

“Fokus meningkatkan pertumbuhan penjualan online mutlak harus dilakukan mengingat konsumen pun mulai terbuka dengan pilihan berbelanja online. Oleh karena itu pelaku usaha perlu melakukan optimalisasi UI/UX dari aplikasi maupun webseite e-commerce,” tutur Rajiv.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved