Business Research Trends

Penerapan Cukai Plastik Akan Rugikan Negara Rp 528 Triliun

Penerapan Cukai Plastik Akan Rugikan Negara Rp 528 Triliun

Terkait dengan wacana pemerintah memperluas barang kena cukai (BKC) terhadap plastik kemasan menimbulkan reaksi bagi beberapa pihak termasuk dari para pelaku usaha yang dekat dengan industri tersebut. Berusaha meyakinkan pemerintah atas tidak tepatnya wacana tersebut, Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen Dan Penggina Pengguna (FLAIPPP) bekerja sama dengan peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia telah melakukan beberapa simulasi perhitungan dampaknya.

images-7

Pengenaan cukai tehadap gelas plastik sebesar Rp 50 dan botol plastik Rp 200,- akan menurunkan permintaan minuman dalam kemasan sebesar Rp 10,2 triliun per tahun. Negara akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,91 triliun per tahun dari pendapatan cukai baru, namun di sisi lain justru akan kehilangan penerimaan hingga mencapai Rp 2,44 triliun, akibat turunnya penerimaan dari PPN dan PPh badan. Dengan demikian pemerintah diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 528 miliar dalam 1 tahun.

Simulasi riset ini difokuskan untuk memperkirakan biaya dan keuntungan bagi pemerintah dalam mengenakan cukai kemasan plastik minuman. Secara lebih terperinci penelitian ini melihat kenaikan harga produk akibat dikenakan cukai terhadap botol dan gelas plastik, penurunan permintaan akibat kenaikan harga tersebut, perkiraan penurunan penjualan industri yang pada akhirnya berakibat pada penurunan setoran PPN dan PPh badan serta mempengaruhi perubahan penerimaan pemerintah.

“Kami melakukan simulasi ini sebagai upaya untuk kembali mengingatkan pemerintah bahwa pengenaan cukai plastik kemasan justru kontra produktif. Selain tidak menyelesaikan isu sampah plastik dan menghambat pertumbuhan industri, di sisi penerimaan negara pemerintah akan rugi lebih dari Rp528 miliar. Hal ini belum memasukan biaya pemungutan cukai yang harus dikeluarkan pemerintah”, tegas Rachmat Hidayat, mewakili FLAIPP.

Dr. Eugenia Mardanugraha, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa pengenaan cukai tentunya akan meningkatkan harga yang harus ditanggung oleh konsumen. Sama halnya dengan pajak, cukai untuk produk apapun dan dalam bentuk apapun, akan mengurangi pendapatan masyarakat yang dapat dibelanjakan (disposable income) atau menurunkan daya beli masyarakat.

“Penurunan daya beli masyarakat, menurunkan penjualan perusahaan, dan pada akhirnya menurunkan pendapatan pemerintah dari pajak yang lain, seperti pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan badan,” ungkapnya.

Rachmat, menambahkan bahwa kenaikan harga akibat pengenaan cukai selalu akan lebih besar dari tarif cukai itu sendiri, yang akan berpengaruh pada tiap mata rantai ekonomi, mulai dari produsen, distributor, grosir, atau retailer. Semakin hilir cukai dipungut, maka semakin tinggi beban kenaikan harga yang harus ditanggung oleh konsumen.

Asumsi pengenaan cukai untuk setiap kemasan gelas dikenakan sebesar Rp 50 dan untuk kemasan botol Rp200, maka dalam 1 tahun pemerintah diperkirakan memperoleh pendapatan sebesar Rp 1,9 triliun. Namun, dengan memperhitungkan nilai elastisitas dari masing-masing produk, total penurunan penjualan yang dihadapi oleh industri minuman diperkirakan sebesar Rp 10,2 triliun per tahun.

Penurunan penjualan akan menurunkan penerimaan pemerintah dari PPN dan PPh Badan yang disetorkan oleh perusahaan berdasarkan nilai penjualannya. PPN dikenakan sebesar 10% dari nilai penjualan, sementara PPH badan dihitung dengan menggunakan data setoran pajak.

“Usulan pengenaan cukai terhadap kemasan minuman harus dikaji secara mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk diantaranya penurunan permintaan akibat kenaikan harga, mekanisme dan biaya pemungutan cukai, serta keberadaan industri. Jangan sampai malah menjadi kontra produktif dengan tujuan awalnya,” ujar Rachmat

Sebagai pelaku industri, FLAIPPP kembali mengingatkan bahwa prinsip dasar kebijakan cukai adalah bukan sebagai instrumen penerimaan negara. Menurut Rachmat, cukai bukanlah solusi untuk permasalahan sampah plastik. Apalagi jika dipakai sebagai instrumen untuk menambah pendapatan, maka dampaknya akan besar.

“Dari sudut strategi ekonomi pemerintahan Jokowi, hal ini justru bertentangan dengan kebijakan deregulasi untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan memajukan iklim investasi,” jelasnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved