Business Research

Penerimaan Cukai Rokok Tidak Sebanding Kerugian Negara

Penerimaan Cukai Rokok Tidak Sebanding Kerugian Negara

Sudah menjadi rahasia umum bahwa cukai rokok memberi sumbangan yang besar dalam penerimaan APBN. Tidak tanggung tanggung, jumlahnya sekitar Rp 103 triliun. Belum lagi dana CSR yang dikeluarkan perusahaan rokok tersebut guna mengcover isu yang ada di masyarakat seperti pendidikan, pelatihan tenaga kerja, serta pengelolaan lingkungan. Hal tersebut tentunya berdampak pada citra perusahaan rokok sendiri . Industri rokok seolah menjadi malaikat di tengah masyarakat.

Meski jumlah cukai yang diterima cukup besar dari sektor ini, tidak lantas menjadikan industri rokok sebagai industri yang ‘bersih’. Menjadi mengejutkan ketika menurut data dari Litbang Kemenkes RI, negara mengalami kerugian sekitar Rp 387 triliun ini tentu saja dengan menggunakan beberapa aspek termasuk kerugian akibat kesehatan dan kerusakan lingkungan.

rokok

“Cukai yang diterima oleh negara atas rokok saat ini sebesar Rp 103 triliun. Namun kerugian yang di alami negara adalah sebesar Rp 387 triliun. Rinciannya antara lain belanja rokok masyarakat sebesar Rp 138 triliun, kerugian akibat kehilangan produktivitas sebesar Rp 235 triliun, belum lagi biaya rawat jalan yang dikeluarkan akibat penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Data ini kami dapatkan sesuai dengan perhitungan yang kami lakukan di tahun 2013 hingga 2015,” ujar Dr. Diana Evasari, Peneliti dari Center of Health and Economic and Policy Studies Universitas Indonesia.

Ironisnya, dari sekitar 90 ribu jumlah perokok aktif di Indonesia, 12,5 % d iantaranya adalah penduduk miskin dan hanya 7,25 % merupakan penduduk dari golongan atas. Jumlah ini tentunya merupakan jumlah dengan kesenjangan yang cukup signifikan. Diana menyatakan, bahwa dampak yang dirasakan oleh negara akan sangat terasa dalam kurun waktu yang cukup dekat.

“Tahun 2019, seluruh masyarakat Indonesia diwajibkan untuk memiliki BPJS. Kalau melihat jumlah masyarakat menengah dan miskin yang berpotensi akan terganggu kesehatannya dan semuanya di-cover oleh BPJS, akan banyak kerugiannya. Lantas kalau begini apa yang kita dapat dari industri rokok? Dari segi investasi kebanyakan dari asing, tembakaunya juga 60% impor. Indonesia dapat apa hanya dapat dampak negatif dari rokok saja. Presiden Jokowi dalam Program Nawacita merumuskan bahwa ia akan menaikkan cukai rokok hingga 200% tapi hingga saat ini cukai rokok masih saja dibatasi hanya sebesar 57% yang nilainya hanya Rp 1 triliun dari target Rp 9 triliun. Janji ini yang harus ditagih,” paparnya.

Diana memang tidak menafikan bahwa industri rokok telah menciptakan ekosistem tersendiri di Indonesia. Namun tetap saja, sebagai industri dengan produk yang bersifat adiktif, Produksi rokok haruslah dibatasi.

Saat ini, produksi rokok Indonesia sendiri sudah melampaui target yang ditetapkan pemerintah sebelumnya, yakni sebanyak 344 miliar batang dari target hanya 260 miliar. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar Pemerintah turut andil mengenai hal ini. Ia juga menyarankan agar diberlakukan kebijakan kebijakan baru yang lebih berpihak pada masyarakat, khususnya bagi mereka yang bukan perokok dan mencegah munculnya perokok remaja dalam jumlah yang besar.

“Industri rokok memang tidak semerta merta harus dimatikan. Yang menjadi poin adalah, jumlahnya harus dikurangi. Caranya dengan menaikkan cukai, namun tidak menambah produksi. Peningkatan biaya cukai sudah jelas sangat berpengaruh dalam menurunkan konsumsi rokok. Selain itu, dana yang didapat melalui cukai harus dugunakan secara bijaksana. Contohnya adalah menyisihkan 40% dari cukai untuk mengcover BPJS, 10% digunakan untuk petani tembakau, 10% digunakan untuk olahraga dan seni, 10% untuk promosi dan riset dan sisanya digunakan untuk membuka lapangan kerja dan membangun infrastruktur” tambahnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved