Trends Economic Issues zkumparan

Diaspora dalam Gastrodiplomasi Indonesia

Diaspora dalam Gastrodiplomasi Indonesia
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Uno saat menjadi pembicara kunci dalam Dialog Interaktif Diaspora seri Gastrodiplomasi

Indonesia dikenal dengan keragaman kulinernya dari setiap daerah. Tidak hanya sebagai budaya, makanan atau kuliner seringkali menjadi andalan Tanah Air untuk menarik hati masyarakat di luar negeri. Itulah sebabnya banyak makanan Indonesia tampil dalam ajang festival kuliner dunia. Hal inilah yang dikenal dengan sebutan diplomasi kuliner atau gastrodiplomasi.

Terminologi atau istilah gastrodiplomasi sendiri pertama kali dicetuskan oleh surat kabar The Economist pada tahun 2002. Dalam artikelnya, The Economist menyoroti keberhasilan Pemerintah Thailand menjadikan makanan mereka sebagai duta besar untuk menjalankan diplomasi negaranya. Projek global ambisius Thailand dinilai sukses oleh The Economist, terbukti dari menjamurnya restoran-restoran Thailand di penjuru dunia.

Dilansir dari jalurrempah.kemdikbud.go.id, gastrodiplomasi didefinisikan sebagai diplomasi publik yang dilakukan dengan memadupadankan diplomasi budaya, diplomasi kuliner, dan esensi nation branding untuk membuat budaya asing (budaya makanan, narasi makanan, dan lain-lain) menjadi nyata di negara lain melalui sentuhan dan rasa. Praktik gastrodiplomasi identik dilakukan oleh negara-negara dengan kekuatan menengah atau middle power, seperti Indonesia.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Uno saat menghadiri Dialog Interaktif Diaspora seri Gastrodiplomasi, Jumat (25/02/2022) mengatakan, tidak hanya sebagai budaya suatu negara, makanan atau kuliner dapat menjadi alat diplomasi di mancanegara.

“Gastrodiplomasi bukan hanya jamuan makan, festival kuliner, pameran produk kuliner, atau seminar kuliner, tetapi juga aktivitas yang lebih menyenangkan seperti demo memasak, cooking class, atau coffee tasting. Ini yang perlu kita dorong,” ujarnya.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Indra Ketaren Pendiri Adi Gastronom Indonesia mengungkapkan, gastrodiplomasi baru dikenal di negeri ini sekitar tahun 2012. Kegiatan diplomasi melalui makanan kerap dilakukan terutama oleh Kementerian Luar Negeri atau perwakilan Indonesia di luar negeri. Namun sayangnya, gastrodiplomasi tersebut belum digarap secara serius dari hulur sampai hilir.

Menurutnya, gastrodiplomasi Indonesia belum mempunyai format signature dish yang dapat diterima semua pihak di dalam negeri sehingga saat ini masing-masing pihak berjalan sendiri. Tidak seperti Thailand yang dikenal dengan Tom Yum-nya, Malaysia dengan Nasi Lemak, dan Korea Selatan dengan Kimchi. Mereka sudah mampu melakukan strategi global kuliner sehingga menjadi identitas diri kuliner negara yang bersangkutan.

“Identitas kuliner negara-negara tetangga ini sudah menjadi legenda dan tren dunia, bahkan bisa menjadi lahan bisnis ekspor yang menghasilkan devisa cukup besar. Misalnya, kimchi yang bisa menghasilkan nilai ekspor US$144,5 juta pada 2020 bagi negerinya,” jelas Indra.

Pemerintah juga belum menetapkan gastrodiplomasi secara terstruktur dalam kerangka kerjanya. Hal ini akibat belum adanya payung hukum yang mengatur kebijakan makanan di negeri ini termasuk gastrodiplomasi.

“Selain itu, hampir segenap masyarakat termasuk kementerian dan lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah masih menganggap makanan sebatas resep kuliner atau penampilan para chef, nama nama restoran atau icip-icip. Padahal jika berbicara gastrodiplomasi termasuk gastronomi dan gastrowisata, di dalamnya ada cerita mengenai sejarah, budaya, dan tradisi,” terangnya.

Meski masih menemui banyak tantangan untuk memajukan gastrodiplomasi, upaya yang lebih terstruktur tengah diupayakan oleh pemerintah melalui berbagai program. Saat ini, pemerintah tengah mendorong sebuah program bertajuk ‘Indonesia Spice Up The World’.

Indonesia Spice Up The World adalah salah satu program pemerintah yang melibatkan lintas kementerian/lembaga, sebagai salah satu upaya meningkatkan pemasaran produk bumbu atau pangan olahan dan rempah Indonesia. Terutama di Afrika, Australia, dan negara potensial lainnya.

Tidak hanya itu, Indonesia Spice Up The World juga diharapkan dapat mengembangkan dan menguatkan restoran Indonesia di luar negeri, atau sebagai bagian dari gastrodiplomasi restoran sehingga dengan adanya Indonesia Spice Up The World diharapkan dapat meningkatkan ekspor pangan olahan, terutama bumbu rempah.

“Konsepnya, kalau China punya ‘Silk Road’ atau jalur sutera, kita memiliki jalur rempah-rempah atau ‘Spices Road’. Kalau China punya ‘One Belt One Road’ program, maka kita juga punya ‘Spice Up The World’ program. Gerakan ini kami harapkan tidak hanya lintas lembaga, tetapi juga lintas pentahelix termasuk komunitas kita di luar negeri yaitu diaspora,” ungkap Menparekraf.

Karena tujuan utama program ini adalah mendorong kuliner Indonesia ke mancanegara, Indonesia Spice Up The World menargetkan pada tahun 2024 dapat menghadirkan 4.000 restoran Indonesia di luar negeri, serta meningkatkan nilai ekspor bumbu dan rempah menjadi US$2 miliar.

“Besar harapan saya, kita bisa bermitra dengan 1.000 diaspora kreatif melalui Indonesia Spice Up The World sebagai backbone-nya. Karena memperkenalkan kuliner dari Indonesia adalah ‘deliciyou can do’ di tempat kalian berada untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara. Ini bisa dimulai dari memberikan ide, kreasi, serta inovasi baru terkait dengan gastrodiplomasi Indonesia dan kuliner Indonesia yang pada akhirnya akan memperluas kebangkitan ekonomi kita dan membuka lapangan kerja,” tutur Sandi.

Melalui narasi Indonesia Spice Up The World tersebut, menurut Indra, masyarakat diaspora dapat memainkan perannya dalam Gastrodiplomasi Indonesia. Narasi ini dapat dijadikan sebagai strategi global kuliner masyarakat diaspora. “Narasi branding Indonesia Spice Up The World lebih cocok menggambarkan identitas kuliner Indonesia yang kaya, beragam akan rupa seni dapur masyarakat.”

Mirip dengan brand image Thailand yaitu Kitchen of The World, narasi Indonesia Spice Up The World diprediksi akan lebih long lasting, durable, menghasilkan devisa serta dapat mengakomodir segenap seni masakan dapur masyarakat daerah yang ada di Indonesia. Indonesia Spice Up The World juga diperkirakan dapat menjadi identitas brand strategi global kuliner Indonesia karena hampir semua makanan di negeri ini kaya akan bumbu dan rempahnya.

Namun, Indra menegaskan, apapun keterlibatan masyarakat diaspora dalam Indonesia Spice Up The World harus bisa memberikan peluang bisnis yang seluas-luasnya, membuka lapangan kerja, menyumbang devisa bagi negara, hingga melahirkan entrepreneurship mindset khususnya bagi generasi milenial dan generasi Z.

Indra pun memberikan 4 usulan agar diaspora dapat terlibat aktif dalam Indonesia Spice Up The World. Pertama, investor. Pemerintah pusat perlu mengikutsertakan masyarakat diaspora sebagai kandidiat investor. Dengan potensi 7,2 juta anggota Indonesia Diaspora Network (IDN) di seluruh dunia, masyarakat diaspora dinilai memiliki pengalaman dan financing capability. Apalagi sebagian besar pemilik dari restoran Indonesia saat ini yang ada di luar negeri adalah masyarakat diaspora. “Potensi ini bisa menjadi modal kemitraan kolaborasi dengan kandidat pengelola restoran Indonesia lainnya untuk mendirikan 4.000 restoran secara global.”

Kedua, hub. IDN Global dengan pemerintah pusat perlu menentukan satu lokasi di luar negeri sebagai pusat gerakan sosialisasi dan komunikasi Indonesia Spice Up The World. Indra pun menyarankan Belanda menjadi pusat gerakan tersebut. Adanya 400 restoran dan toko makanan Indonesia di Belanda dinilai menjadi kapasitas dan pengalaman yang bisa diandalakan untuk turut membantu menghadirkan rencana 4.000 restoran secara global.

Ketiga, pilot project. Kota New York dinilai dapat menjadi pilot project untuk referensi uji pendahuluan dalam rangka menghadirkan 4.000 restoran secara global. “Mereka sudah mempunyai 100-150 restoran Indonesia di Amerika yang bisa dijadikan acuan,” ucap Indra.

Keempat, tantangan. IDN bersama dengan pemerintah perlu mengatasi tantangan klasik yang selama ini dialami para pebisnis Indonesia di luar negeri. Di antaranya mengenai kebutuhan pengadaan bahan baku pangan seperti bumbu, rempah, pangan olahan, dan buah. Kemudian, kemudahan dukungan logistik dalam pengiriman dari Indonesia dengan biaya pengiriman yang terjangkau, serta kebutuhan SDM yaitu tenaga profesional chef dan manajerial yang bisa menangani restoran ala Indonesia.

“Pemerintah Indonesia harus memberikan kenyamanan dan kemudahan fasilitas kepada masyarakat diaspora untuk ikut serta sebagai investor mendirikan restoran di luar negeri. Diharapkan dengan peran diaspora dalam Indonesia Spice Up The World ini akan mempermudah rencana pemerintah mendirikan 4.000 restoran tersebut secara global,” dia berharap.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved