Management Trends

Direktorat Merek Dorong Pengaturan Hukum Merek yang Lebih Memadai

Perkembangan teknologi informasi, kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dengan melihat kecenderungan tersebut, dibutuhkan suatu pengaturan hukum merek yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum yang kuat.

Demikian dipaparkan Direktur Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM, Nofli, saat membuka diskusi virtual (22/2/221) dengan tema “Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar.”

Nofli menambahkan, daya pembeda yang diperoleh sebuah merek diperoleh melalui penggunaan di pasaran sehingga membuat konsumen mengenalinya sebagai tanda yang berfungsi sebagai identitas sumber barang atau jasa. “Daya pembeda tersebut diperoleh karena adanya makna sekunder (secondary meaning) dari tanda yang bersifat deskriptif.”

Tanda deskriptif adalah kata, gambar, atau simbol yang menggambarkan karakteristik suatu produk barang atau jasa seperti kualitas, kuantitas, rasa, ukuran, warna, tujuan, target konsumen, material pembentuk, atau efek pada pengguna produk yang menggunakan tanda dimaksud. “Tanda seperti ini tidak berfungsi sebagai merek karena masyarakat menganggapnya hanya sebagai gambaran suatu produk,” kata Nofli.

Tetapi, lanjutnya, tanda tersebut masih mungkin untuk didaftarkan sebagai merek apabila pemilik merek dapat menunjukkan bahwa konsumen mampu mengenali tanda tersebut sebagai identitas sumber produk dengan bukti-bukti penggunaan, yang biasa disebut dengan istilah secondary meaning.

Namun, menurut Nofli, pada praktiknya tidak ada garis yang jelas bagaimana suatu tanda deskriptif telah mendapatkan makna sekunder atau tidak. “Pembuktian akan bersifat kasuistis. Bukti-bukti tersebut dapat berupa dokumen penggunaan merek, iklan, penelitian pasar, penjualan, katalog, foto, survei dan lain-lain. Pembuktian harus secara layak menunjukkan faktor-faktor yang meliputi tempat, waktu, dan luasnya penggunaan merek,” urai Nofli.

Pada kesempatan yang sama, Hakim Agung MARI, Ibrahim mengungkapkan adanya kondisi dilution doctrine, suatu kondisi dimana suatu merek dapat melemahkan (dilute) esensi atas keunikan dan perbedaan dari merek lain, yang mana secara simultan dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah.

Ibrahim mencontohkan merek yang daya pembedanya menjadi melemah/menghilang antara lain merek Odol Clasic, Pralon-pertama dan terbaik, Pingpong-the original, dan Tipp-Ex. Sementara penggunaan secondary trademark atau unsur tambahan dari suatu merek yang digunakan untuk membangun persepsi konsumen dengan menggunakan kata umum misalnya kata “Mi Goreng” dari IndoMie, kata “Anti Noda” dari Rinso, dan kata “Anti Nyamuk” dalam kemasan HIT.

Sementara Kasubdit Pemeriksaan Merek DJKI, T. Didik Taryadi mengatakan, dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek dan IG, bahwa permohonan ditolak jika diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Adapun yang dimaksud dengan “pemohon yang beriktikad tidak baik” adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.

Sementara Ketua Umum AKHKI, Suyud Margono menyoroti perbuatan curang penerapan Merek (consumers misleading). Bentuk-bentuk tindakan penyesatan terhadap pengguna/ konsumen dalam menentukan produk, umumnya dalam produk barang kebutuhan pokok (konsumsi). “Pelaku Usaha menggunakan label merek yang mengarahkan konsumen berpikir atau mengasosiasikan secara kasat mata. Nah, kemiripan label (similarities/ identical) kasat mata karena bentuk yang ada. Padahal merek seharusnya tidak mendeskripsikan fungsi, keterangan, kualitas produk,” jelas Suyudi.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved