Management Trends

Ditjen HAKI Perlu Rilis Pedoman Perhitungan Ganti Rugi Sengketa Merek

Dr. Ibrahim, Akademisi yang juga Hakim Agung MARI menyangsikan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata mampu dijadikan dasar dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi sengketa merek.

“Saya ragu karena ini lebih diarahkan ke arah kepentingan properti yang tangible (nyata). Sedangkan tangible bisa kita lihat faktor kerugian apa yang dipertimbangkan. Setelah diperhatikan UU no 20 tahun 2016 (UU Merek), saya tidak melihat tipe kerugian yang dipertimbangkan dalam gugatan,” ujar Dr. Ibrahim dalam webinar MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) di Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Maka, lanjut Dr. Ibrahim, ekspektasi pemilik merek tidak tercapai ketika dia tidak mampu tentukan variabel apa saja yang dipertimbangkan. “Jadi diperlukan guideline dari Dirjen HAKI sebagai pedoman dalam menghitung dan menentukan kerugian agar pemilik merek terdaftar bisa peroleh haknya yang dituntut, dan hakim akan kabulkan tuntutan kalau bisa dibuktikan,” katanya.

Menurutnya, perlu untuk melihat best practice di beberapa negara yang sudah berlakukan pedoman untuk menghitung kerugian. “Pernah ada kasus Honda dan perusahaan motor China karena menggunakan merek yang sama yaitu Karisma dan Krisma. Perintah pengadilan menghentikan produksi motor tersebut. Tapi apakah itu cukup? Tujuan hentikan pelanggaran itu penting untuk meminimalisir kerugian,” katanya.

Dia menambahkan, persoalan saat ini adalah kurangnya jenis kerugian yang dipertimbangkan sebagai hal yang bisa dituntut. “Tidak ada rincian kriteria. Ada baiknya UU 20 ini diamandemen dan dirincikan apa saja yang bisa dituntut. Ketua MA beri surat edaran yang berisi petunjuk teknis mengenai kerugian apa saja yang dituntut,” paparnya.

Sementara Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Albertus Usada menegaskan, inti hukum merek adalah sebagai pelindung merek terdaftar dengan prinsip first to file. Maka dalam UU No 20 Tahun 2016, ditentukan kaidah hukum pemilik merek terdaftar, dapat mengajukan gugatan ke pihak lain yang menggunakan merek yang sama dengan pokoknya untuk barang dan jasa sejenis. “Bisa gugatan ganti rugi dan penghentian penggunaan merek,” ungkap Albertus dalam kesempatan yang sama.

Akan tetapi dalam praktik atau fakta persidangan, gugatan itu berkemungkinan menjadi prematur, mengingat akan berpotensi adanya tumpang tindih keputusan nantinya. Sebut saja misalnya gugatan dikabulkan namun permohonan merek juga dikabulkan. Pada akhirnya tidak akan ada yang menang di dalam perkara tersebut.

Untuk itu, menurut Albertus, harus jelas posisi pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek untuk barang dan jasa sejenis, dan atas perbuatan apa pihak kedua gunakan merek tanpa ijin dari merek terdaftar. “Saya kira dengan acuan pada MIAP, kita susun strategi isu hukum, juga gugatan ganti rugi,” jelas Albertus.

Oleh karenanya, Justisiari P. Kusumah, Direktur Eksekutif MIAP menegaskan, pentingnya best practice terkait gugatan ganti rugi pelanggaran merek, dengan mempertimbangkan sudut pandang hukum Indonesia dan praktik internasional.

‘Perlu didiskusikan karena tidak saja untuk tujuan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak terkait terutama pemilik merek, tetapi juga sebagai informasi yang bermanfaat bagi para pelaku usaha dan masyarakat,” jelasnya.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved