Trends Economic Issues zkumparan

Ekonomi Inklusi dan Soft Infrastructure Jadi Tumpuan Indonesia

Ekonomi Inklusi dan Soft Infrastructure Jadi Tumpuan Indonesia
Diskusi panel dalam Forum Ekonomi bertajuk “Momentum Emas Ekonomi Indonesia”

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan naik sedikit dari 5,2% tahun lalu menjadi 5,3 % akhir tahun 2019. Meski demikian menurut Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Darmin Nasution, hal ini sudah menunjukkan residensi ekonomi Indonesia semakin baik.

“Pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan 5,2% sulit dicapai oleh negara-negara lainnya, tapi Indonesia masih mampu,” ujarnya dalam sambutan saat membuka forum diskusi “Momentum Emas Ekonomi Indonesia”beberapa waktu lalu.

Darmin juga menegaskan, meskipun kecil, tetapi pertumbuhan yang telah dicapai ini berkualitas baik, hal itu terindikasi dari menurunnya angka kemiskinan hingga mencapai single digit, demikian juga dengan angka pengangguran dan gini ratio yang turun secara berkesinambungan dalam tiga tahun terakhir, dan kemudian inflasi yang rendah.

Menurutnya, target hingga akhir tahun 2019 bisa naik 5,3% dengan asumsi konsumsi dalam negeri naik menjadi 5,1% sampai 5,2%, dan jikalau pembentukan modal domestik bruto bisa 6,9 % – 7%,maka bisa dipastikan target tersebut bisa dicapai.

Meski demikian dalam catatannya, ada beberapa hal yang masih menjadi PR untuk pemerintahan yang akan datang. Pertama adalah reformasi perijinan usaha,meski sudah didorong untuk dijalankan secara online, tetapi ternyata kondisi fasilitas di setiap daerah belum sepenuhnya siap. Salah satu fasilitas pendukung perijinan usaha secara online adalah RDTR dalam bentuk peta digital.

“Sayangnya dari 514 kabupaten dan kota, hanya 50 kota yang memiliki RDTR dan dari jumlah itu hanya 10 yang memiliki RDTR dalam bentuk peta digital, sehingga ijin usaha online baru bisa dijalankan di 10 kota tadi, yang lainnya masih manual,” ungkap Darmin.

Pekerjaan rumah berikutnya adalah, menyiapkan tenaga kerja terdidik yang kompetensinya tersertifikasi. “Kami siapkan pendidikan vokasi dengan melakukan perubahan besar-besaran di sekolah menengah kejuruan,” ujarnya.

Kini setiap siswa SMK setiap tahun minimal mendapatkan dua standar kompetensi, oleh karena itu komposisi kurikulum SMK dirombak, porsi untuk kurikulum kompetensi lebih besar dibandingkan porsi kurikulum nasional. Setiap mata ajar dalam kurikulum kompetensi diajarkan oleh instruktur yang didatangkan langsung dari perusahaan (praktisi).

Untuk mendorong semangat dukungan dari perusahaan atau industri untuk program pendidikan dan pelatihan vokasi ini, menurut Darmin, pemerintah sudah menyiapkan insentif menarik yakni keringanan pajak bagi perusahaan yang berkontribusi dalam program ini. “Tahun ini kami betul-betul menyiapkan sehingga tahun depan bisa kecepatan penuh jalannya karena ini bukan perubahan manner, ini benar-benar dirombak habis,” ungkap Darmin.

Industri Digital Penggerak Ekonomi Inklusi

Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia, dalam forum yang sama, juga menyampaikan sejumalh aspek yang masih akan terus diperbaiki guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan. Pertama adalah pemerintah masih akan terus mendorong finansial inklusi.

Menurut Mardiasmo, masyarakat yang melek dengan instrumen keuangan untuk investasi masih sangat seidikit. Nilai transaksi dari instrumen keuangan untuk investasi misalnya SBN juga masih kecil, “Dengan dana Rp 1 juta saja orang sudah bisa beli (SBN) dan menggunakan online sistem. Ini untuk mengcapture kelompok milenial, mereka sudah melek instrumen-instrumen keuangan untuk investasi, bahkan karena online, yang beli bisa sampai ke Papua, Sulawesi, dan lainnya,” kata dia.

Namun, jumlahnya masih kecil-kecil saja, belum bisa mendorong pembangunan ekonomi yang masif yang cukup besar dananya, sehingga belum signifikan pengaruhnya, Oleh karena itu, pemerintah (Kementerian Keuangan) sudah mencoba mengakselerasi peran dana pensiun melalui IKNB (industri keuangan non-bank).

Mardiasmo juga menjelaskan salah satu pilar yang yang digadang menjadi tumpuan pembangunan ekonomi adalah jasa keuangan, salah satunya adalah fungsi mikroprudensial dari perbankan. “Setiap bank harus bisa menjaga eksistensinya, salah satunya adalah bagaimana membuat afirmasi, jadi aksi, sehingga kinerja suatu bank tidak harus dilihat dari profitnya saja, tetapi dilihat juga bagaimana—karena funsgi bank kan sebagai intermediate—mengumpulkan dana dan mengalokasikannya, mendistribusikan kepada masyarakat,”ujarnya.

Menurut Mardiasmio, aksi afirmasi yang dimaksud adalah bank harus mampu memberikan kredit kepada mereka-mereka benar-benar membutuhkan dana, “Kalau kita lihat di peta Indonesia, itu (skala usaha) masih 90% di ekonomi mikro, bukan kecil bukan menengah. Mikro pun sekarang kami bikin satu lagi kategori, ultra mikro, atau UMI, nah bagaimana bank besar seperti HSBC bisa beri kredit kepada mereka? Agar tercipta ekonomi inklusi yang merata,” jelas Mardiasmo.

“Saya kira dengan dengan kemajuan teknologi digital, tentunya afirmasi ini bisa dilakukan, baik itu dijalankan langsung oleh bank atau bersinergi dengan fintech yang juga sudah lebih dulu masuk ke kelompok ultra mikro, ini semua demi teruwujudnya ekonomi inklusi tadi,”ujarnya.

Senada dengan Mardiasmo, William Tanuwijaya, Pendiri Tokopedia juga setuju dan telah membuktikan bahwa teknologi digital ada untuk menguatkan dan memberdayakan pelaku usaha skala mikro yang masih dominan di Indonesia. “Jadi kalau ada yang bilang teknologi digital ini mendisrupsi kemapanan, seolah membuat jadi berantakan yang sudah rapih, saya kira tidak begitu, teknologi digital justru dapat dimanfaatkan untuk menguatkan dan memberdayakan usaha mikro bahkan ultra mikro untuk mengakses pasar dan modal sehingga bisa terus tumbuh,” jelasnya.

Lebih lanjut, William juga menambahkan bahwa teknologi diigital juga bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk mendorong literasi keuangan masyarakat. Ia mencontohkan, kini market place seperti Tokopedia bisa mendorong orang khususnya kelompok milenial melek dengan instrumen investasi seperti emas dan reksadana. Kemudian juga memudahkan orang untuk membayar iuran BPJS kesehatan, pajak, dan sebagainya.

Lalu, bagaimana agar ekonomi digital yang terbukti bisa menciptakan inklusifitas ini bisa punya dampak yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan ? Menurut Rosan P.Roeslani, Kepala Kamar Dagang Indonesia, hal pertama yang harus diperhatikan agar ekonomi digital ini bisa tumbuh sehat adalah jangan terlalu banyak dibebankan dengan regulasi oleh pemerintah.

Rosan menjelaskan, kehadiran para pelaku usaha mikro dan kecil ini menciptakan pergerakan ekonomi (uang yang berputar dari setiap transaksi) dan juga lapangan kerja baru. “Perkembangan mereka sangat cepat karena digerakkan oleh teknologi digitall dan regulator kita juga tidak bisa sigap mengakomodir perubahan yang cepat itu,” ujarnya “Saya sudah sering sampaikan ke pemerintah agar mereka (digital entrepreuner) jangan terlalu di regulate, dilepas saja dulu agar mereka tumbuh, karena secara skala dan nilainya pun masih kecil sehingga belum pas juga untuk diberi regulasi yang berat, karena ke depan sudah pasti ekonomi digital inilah tumpuan kita,” jelas Rosan.

Menurut Rosan, cita-cita pemerintah untuk menjadikan Indonesia menjadi pusat ekonomi digital dunia kedepan sangat mungkin sekali, sebab kini beberapa prasyaratnya sudah tumbuh, diantaranya, lebih dari 150 juta masyarakat Indonesia sudah mengakses internet, mereka juga memiliki perangkat teknologi terkini, selain itu juga dalam forum-forum diskusi antar negara, menurut Rosan, banyak negara yang mengakui Indonesia cukup agresif dalam hal pertumbuhan usaha rintisan berbasis teknologi digital “Mereka bilang kalau startup bisa bertahan dan langgeng di Indonesia maka dia bisa langgeng di dunia, karena Indonesia kekuatannya sangat tinggi dari segi populasi dan penggunaan internet,” jelasnya.

Ekonomi Indonesia 10 Tahun ke depan

Menurut ekonom Muhammad Chatib Basri, setelah hard insfrastructure ,berikutnya yang segera harus dibangun pemerintah adalah soft infrastructure. “Infrastruktur fisik memang belum selesai,masih harus diteruskan tetapi soft infrastructure dalam hal ini adalan sistemyang menggerakan fungsi ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya ini juga harus segera mendapat perhatian,” jelasnya.

Chatib sendiri optimis dalam 10 tahun ke depan ekonomi Indonesia bisa tumbuh hingga 7-8% asalkan pemerintah selanjutnya bisa penuhi tiga prasyarat, pertama adalah melanjutkan pembangunan infrastruktur fisik. Kedua, percepat soft infrastructure-nya. Lalu ketiga adalah governance. “Ini sangat penting karena kapital di masa depan tidak lagi aset fisik, tetapi intangible aset yakni kebijakan, apakah policy-nya friendly,” ujar Chatib.

“Coba bayangkan, bagaimana pemerintah bisa buat peraturan kalau peraturan itu besok hari tidak lagi relevan? Karena disrupsinya terjadi, jadi yang dibutuhkan itu adalah sebuahkondisi yang saya menyebutnya sebagai agile birokrasi, tetapi tidak ada birokrasi bisa agile, jadi yang diubah adalah cara berpikir kita, dari yang agree on rules kepada agree on principals,” lanjutnya.

Maka menurut Chatib, ke depan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah yang sifatnya agree on principals “Contohnya para pelaku usaha rintisan (startup) jang di-regulasi soal bagaimana cara mengirim barang tetapi regulasi yang lebih kepada prinsip bisnis, misalnya” jelasnya. “Kalau tiga hal ini dilakukan pemerintah yang akan datang, saya yakin pertumbuhan Indonesia bisa 7-8% dalam sepuluh tahun ke depan,” jelas Chatib.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved