Economic Issues

Fundamental Keuangan Perusahaan Batu Bara Terbebani Utang

Aktifitas di pertambangan batu bara. (Ilustrasi foto : Istimewa)

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dalam riset yang dirilis baru-baru ini menyampaikan kondisi industri batu bara yang lemah secara struktural semakin diperburuk oleh pandemi Covid-19 setelah harga batu bara turun 52% dalam lima bulan pasca-pandemi. Selain itu, pasar ekspor batu bara Indonesia juga turun karena berbagai negara, termasuk China dan India, memangkas impor dan semakin beralih ke sumber domestik untuk meningkatkan ketahanan energi.

“Industri batu bara Indonesia berada dalam masalah secara struktural dan finansial setelah sejumlah perusahaan kesulitan mencapai break-even,” kata analis keuangan IEEFA, Ghee Peh, seperti dilansir SWA Online di Jakarta, Jum’at (18/9/2020).

Dengan harga patokan batu bara saat ini US$ 47/ton, hanya ada 1 dari 11 perusahaan batu bara Indonesia yang diulas yaitu Bayan Resources yang berada pada titik impas atau lebih baik. “Sebaliknya, menurut perkiraan kami, Bumi Resources, ABM Investama dan Geo Energy Resources (pemilik sejumlah perusahaan batu bara Indonesia yang listing di Singapura) merupakan paling berisiko karena gearing ratio mereka lebih tinggi dan sekarang harga break–even mencapai US$ 63/ton untuk Bumi, US$ 61/ton untuk ABM Investama, dan US$ 60/ton untuk Geo Energy Resources,” tutur Pheh menambahkan.

Apabila penurunan harga batu bara terus berlanjut, perusahaan-perusahaan ini tidak akan dapat mengelola beban utangnya. IEEFA juga menemukan perusahaan batu bara Indonesia besar memiliki pinjaman sebesar US$ 3,8 miliar kepada bank asing dan domestik termasuk Bank Mandiri, BNI, BRI, dan Permata. “Pertanyaan selanjutnya apakah bank-bank tersebut dilindungi dari kemungkinan kerugian lebih lanjut? Karena perusahaan batu bara sedang kesulitan memenuhi kebutuhan sementara obligasi sektor batu bara yang saat ini sebesar US$ 3,1 miliar juga tidak mungkin untuk didanai kembali,” kata Peh.

Dengan total utang US$ 6,4 miliar, bantuan keuangan apa pun yang diberikan kepada industri batu bara akan langsung jatuh ke tangan pemberi pinjaman. Sementara, pasar energi secara global terpengaruh oleh perlambatan yang diakibatkan oleh Covid-19, sejumlah pemerintah, termasuk Amerika Serikat, mundur dari memberikan bantuan keuangan kepada perusahaan batu bara karena penurunan tajam nilai aset yang mencerminkan penurunan struktural industri tersebut.

Hampir 140 pemberi pinjaman global yang signifikan, asuransi, dan manajer aset telah mengumumkan divestasi mereka dari pembiayaan batu bara, dan perusahaan pertambangan besar termasuk Anglo American, Rio Tinto, dan BHP telah menjual atau sedang menjual aset batu bara mereka. Pergerakan ini menandakan pandangan negatif terhadap profil ekonomi dan risiko aset batu bara dan mendukung pandangan bahwa penurunan nilai ekonominya lebih bersifat struktural daripada siklikal.

Sementara itu, harga batu bara masih akan tertekan akibat naiknya sumber energi terbarukan, terutama tenaga angin dan surya. Berdasarkan analisis IEEFA, pemerintah Indonesia mengumpulkan US$ 1,1 miliar dalam bentuk royalti dan US$ 1,2 miliar dalam bentuk pajak pada 2019 dari 11 perusahaan batu bara. Setiap bailout pemerintah untuk industri batu bara akan melindungi perusahaan berkinerja buruk yang gagal menghasilkan laba yang ditargetkan dan hal ini akan menimbulkan risiko pada keuangan negara.

Saat ini, menimbang kondisi perekonomian di masa pandemi, membiarkan tambang dan perusahaan batu bara yang berkinerja buruk dan memiliki fundamental lemah merupakan pilihan yang tepat secara ekonomi. “IEEFA merekomendasikan agar pemerintah tidak memberikan dana talangan (bailout) maupun insentif fiskal ke sektor batu bara,” kata Peh.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved