Economic Issues

Prediksi Pertumbuhan E-commerce di Asia

Ilustrasi. Tokopedia menjadi salah satu e-commerce andalan dari Indonesia. (Tokopedia)

Dunia E-Commerce diprediksi akan terus berkembang dengan pesat. Namun karena ada ancaman resesi, pertumbuhan ekonomi diprediksi akan terganggu. Lalu bagaimana dengan nasib e-commerce?

Artem Prokofyev, Regional Director APAC platform analitik e-commerce berbasis AI 24TTL, menjelaskan bahwa pada dekade ini ekonomi dunia sangatlah menantang karena adanya pandemi dan kondisi geopolitik, terlepas dari wilayah dan industrinya. Meskipun beberapa industri telah mengalami pemulihan dan bahkan pertumbuhan, banyak yang masih berjuang untuk kembali pulih.

Hal ini dapat dilihat dari hasil Black Friday di seluruh dunia di mana pertumbuhan total penjualan dari tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya adalah sebesar 2,3%, yang sebagian besar disebabkan oleh inflasi. Pengecer memberikan rekor diskon sampai rata-rata 32% karena mereka bersaing dengan kelebihan pasokan dan lingkungan belanja konsumen yang melemah.

“Dalam lingkungan seperti itu, pengecer dan merek online tidak dapat bersaing hanya melalui diskon. Untuk mempertahankan penjualan dan pangsa pasar kunci untuk mempertahankan pelanggan adalah dengan menciptakan loyalitas,” ujarnya dalam IRDF Meetup Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Artem menjelaskan penjualan ritel e-commerce di seluruh dunia pada tahun 2022 mencapai US $5,7 triliun. Diprediksi hingga tahun 2026 mencapai US$ 8,2 triliun atau dengan pertumbuhan 43%. Untuk tahun 2023 ini, pangsa pasar e-commerce di Asia saat ini US$ 1,89 triliun.

“87% lebih pengguna internet di Indonesia kini berbelanja online. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam penetrasi perdagangan di APAC lalu ada Thailand dengan 83,6% dan Malaysia 82,9%,” ujarnya saat presentasi.

Sementara CEO 24TTL Yury Shishkin mengatakan, selama 20 tahun terakhir, ritel online telah banyak berkembang sebagai industri karena pertumbuhannya yang pesat. Namun, jika menganalisis cara pelanggan membandingkan, menelusuri, dan menjelajahi produk dalam rentang waktu yang sama, pengalaman pengguna yang ditawarkan situs web e-commerce tidak banyak berubah.

Namun lanjut Yury, pengalaman berbelanja seperti saat ini baru diperkenalkan dua tahun terakhir karena pertumbuhan konsumen yang pesat dan kebutuhan untuk bertahan di pasar, di mana teknologi seperti AR, server CDN, video dan gambar 3D muncul. Inilah sebabnya brand mulai bereksperimen dengan format yang berbeda, sebagian besar beralih ke social commerce, short videos, live videos, long length reviews dan UGC.

Teknologi inilah yang telah memacu ledakan dan evolusi pengalaman berbelanja. Dalam konteks ini, e-commerce di kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan tumbuh dengan kecepatan tinggi sebesar 8,2% antara tahun 2019 dan 2024. Ini jauh lebih tinggi daripada di AS dan Eropa, yang diproyeksikan akan meningkat sebesar 5,1% dan 5,2%, dengan penjualan yang naik dari USD $1,5 triliun selama 2019, hingga mencapai $2,5 triliun pada tahun 2024.

“Angka-angka ini menggambarkan selera konsumen APAC yang terus meningkat untuk belanja online dan minat pada produk asing meningkat. 66% konsumen di seluruh Asia Pasifik membeli secara online dari peritel internasional pada tahun 2020,” kata Yury.

Saat ini China masih menjadi pemimpin digital dan siap untuk tetap berada di e-commerce posisi itu dibantu oleh raksasa digital domestik seperti Alibaba, JD.com dan Pinduoduo. Tapi India, Vietnam, dan Indonesia termasuk dalam kategori modernisasi yang cepat. Tingkat gangguan dan kedewasaan mereka mungkin rendah saat ini, tetapi mereka siap untuk akselerasi digital yang tidak proporsional.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved