Trends

Faisal Basri Curigai Potensi Rente Vaksin Berbayar, Begini Alur Munculnya Rencana Pengadaannya

Kedatangan vaksin Covid-19 (Foto: istimewa).
Kedatangan vaksin Covid-19 (Foto: istimewa).

Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, merangkum alur perjalanan munculnya rencana vaksin individu berbayar yang berpotensi menjadi bancakan bagi para pemburu rente. Vaksin berbayar yang sedianya akan dilaksanakan PT Kimia Farma Tbk sebagai BUMN farmasi ini belakangan memperoleh kritik keras dari berbagai pihak.

“Menteri Kesehatan mengetahui pengadaan vaksin komersial ini mengingat ia terlibat dalam proses penjajakan ketika masih menjabat Wakil Menteri BUMN,” ujar Faisal dalam situs resminya, faisalbasri.com, Kamis, 15 Juli 2021.

Faisal Basri memaparkan, sejak awal pemerintah sudah memunculkan wacana vaksin berbayar. Pada November 2020, pemerintah menetapkan komposisi program vaksin berbayar mencapai 70 persen dan vaksin gratis hanya 30 persen.

Namun rancangan pemerintah mendapat sorotan masyarakat. Gelombang protes muncul disertai berbagai petisi. Masyarakat mendesak pemerintah memberikan vaksin secara gratis di tengah pandemi Covid-19.

Akhirnya pemerintah menetapkan vaksin diberikan secara gratis untuk seluruh penduduk, rencana untuk menggelar program vaksin berbayar tak hilang begitu saja. Dengan dalih percepatan vaksinasi, rencana membuka vaksin berbayar pun kembali muncul.

Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), pemerintah mengatur pelaksanaan berbayar atau yang secara resmi dinamai vaksin gotong royong. Di tahap awal, vaksin berbayar diperuntukkan bagi perusahaan.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sebagai organisasi yang menaungi para pengusaha menjadi pihak pelaksana vaksin gotong royong. Kadin menjalin kerja sama dengan PT Bio Farma (Persero) dan anak usahanya, Kimia Farma, untuk pengadaan vaksin. Berbeda dengan program vaksin gratis, vaksin berbayar menggunakan merek Sinopharm.

Sampai 13 Juli 2021, Kimia Farma telah mendatangkan 1,5 juta dosis vaksin Sinopharm untuk program vaksin berbayar. Pada tanggal yang sama, datang pula 1,4 juta dosis dan pada 16 Juli direncanakan tiba sebanyak 4 juta dosis. Total komitmen pengadaan vaksin gotong royong ini mencapai 15 juta dosis.

Namun seiring berjalan, realisasi vaksin gotong royong seret. Hingga 6 Juli, Kadin baru menyerap 281,6 ribu dosis dengan rata-rata penyuntikan 5.400 dosis per hari. Menteri Kesehatan diduga enggan mengambil alih atau membeli vaksin pengadaan BUMN karena harganya terlalu mahal. Apalagi pemerintah telah memperoleh vaksin Sinovac dengan harga yang lebih murah.

Alih-alih menyerap stok vaksin berbayar, dalam situasi ini muncullah inisiatif untuk menyalurkan vaksin gotong royong melalui program vaksin bagi individu. Vaksin individu dilaksanakan oleh Kimia Farma. Aturan yang memayungi vaksin individu itu digodok sejak 26 Juni dan diundangkan pada 6 Juli. Aturan ini berbentuk Permenkes Nomor 19 Tahun 2021 yang merupakan perubahan kedua atas Permenkes Nomor 10 Tahun 2021.

Dalam ketentuan itu ditetapkan harga dan margin vaksin berbayar. Sesuai dengan hitung-hitungannya, biaya maksimal pembelian vaksin ialah Rp 321.660 per dosis. Sedangkan biaya maksimal pelayanan Rp 117.910 per dosis. Adapun untuk biaya paket lengkap dua suntikan Rp 879.140.

Dengan demikian, margin penyediaan vaksin ialah 20 persen dan margin fasilitas penyuntikan 15 persen. Bila dikalkulasi, margin total per paket untuk dua kali suntikan ialah Rp 164.037 (berasal dari jumlah Rp 128.664 untuk margin vaksin ditambah Rp 35.373 untuk margin jasa). Maka, dengan target 15 juta orang untuk dua kali penyuntikan, total margin yang didapat adalah Rp 2,46 triliun.

Ia pun menyarankan pemerintah menyetop pelaksanaan program vaksin berbayar untuk mencegah praktik rente. Pemerintah bisa bertanggung jawab mengambil alih stok vaksin di Kimia Farma dan BUMN farmasi lainnya jika perusahaan pelat merah sudah kadung memesannya.

“Jika PT Kimia Farma (Tbk) dan BUMN farmasi lainnya sudah terlanjur pesan atau beli vaksin, pemerintah mengambil alih tanggung jawab karena pada awalnya BUMN farmasi hanya menjalankan penugasan pemerintah, sedangkan kebijakan pemerintah sudah berubah, maka rencana harus direvisi,” ujar dia.

Ia melanjutkan, saat ini lebih baik pemerintah segera mengoreksi hal-hal yang salah. “Jika dibiarkan (vaksin berbayar) akan menimbulkan rangkaian kesalahan yang semakin panjang yang kian menjauh dari rasa keadilan,” kata Faisal.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved