Management Trends

Hunian Sehat untuk Meminimalisir Penularan Covid-19

Arsitek Ren Katili dari Studio Arsitektropis

Dampak pandemi Covid-19 mengubah struktur kehidupan masyarakat, termasuk dalam perencanaan tata ruang kota. Bahkan lebih dalam lagi, pada hampir setiap cluster keluarga telah terjadi perubahan ruang privat hunian menjadi area produktif, rekreasi, ruang belajar, tempat ibadah dan lainnya. Hal ini tidak lepas dengan penerapan aturan work from home (wfh) yang diterapkan hampir semua pelaku dunia usaha bagi hampir seluruh karyawannya selama beberapa bulan terakhir.

Perubahan cara hidup “stay at home” yang dialami hampir semua orang itu menimbulkan banyak pertanyaan terkait hunian serta apa yang bisa kita lakukan di lingkup lingkungan pribadi dalam rangka pencegahan penularan Covid-19. Terkait pertanyaan tersebut, dr Yulia Muliaty, praktisi kesehatan yang berpengalaman sebagai Pembina Kota Sehat di wilayah Jakarta Timur mengingatkan masyarakat tentang karakter dan cara penularan Covid-19 yang cukup unik.

“Mengingat cara penularan Covid-19 adalah melalui droplet, masyarakat harus paham bahwa strain Sars-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) dapat bertahan hidup pada suhu 90 derajat Celsius selama satu jam,” ujarnya. Wanita yang biasa disapa dr Lia ini memberikan data tambahan dari laboratorium, bahwa untuk membunuh virus ini, tim peneliti harus memanaskannya hingga 92 derajat Celcius selama 15 menit.

Terkait dengan karakter virus tersebut, dr. Lia memberikan beberapa tips praktis untuk mendapatkan hunian sehat sebagai berikut. Pertama, pastikan terdapat ventilasi udara yang memadai pada tiap ruangan. Kedua, pastikan masuknya cahaya matahari ke dalam rumah. Hindari re-sirkulasi udara seperti yang terjadi dengan penggunaan AC terus-menerus.

Dia mengamati, saat ini terjadi peningkatan cluster yang rentan Covid-19 melalui sirkulasi udara yang berputar secara statis seperti pada ruangan yang menggunakan air conditioning (AC). “Walaupun kontak dekat menjadi faktor utama, namun kondisi berjejalan dengan ventilasi ruangan yang buruk bisa menjadi sebab bertahannya virus dalam ruangan,” jelasnya.

Menurut dia, usahakan memilih ruang penerima tamu di luar ruangan dengan udara bebas serta tidak bersinggungan langsung dengan ruang keluarga. Juga, pastikan tersedia fasilitas cuci tangan ataupun disinfektan di sekitar halaman sebelum masuk ke dalam rumah. Jangan lupa sediakan tempat penyimpanan sepatu atau alat-alat yang digunakan di luar rumah secara rutin.

Lalu, biasakan untuk membersihkan diri setiap kali sampai di rumah (sebelum bertemu dengan keluarga, terutama anggota yang rentan) dengan mencuci tangan menggunakan sabun setiap kali berkegiatan. “Hal-hal tersebut kalau diterapkan secara disiplin paling tidak dapat meminimalisir paparan virus Covid-19,” ujarnya sambil tak lupa mengingatkan masyarakat untuk menjaga kesehatan tubuh dengan konsumsi makanan sehat dan bergizi, serta semakin mendekatkan diri kepada Tuhan YME.

Terkait pilihan hunian saat ini, untuk masyarakat yang berencana membeli rumah/hunian baru, dr. Lia menganjurkan untuk mempertimbangkan health protocol, serta fasilitas sanitasi lingkungan perumahan yang beradaptasi dengan kondisi “new normal”. Lalu, bagaimana dunia arsitektur bisa mengakomodir protocol kesehatan dalam menghadapi ancaman Covid-19?

Dalam hal konsep hunian ideal untuk adaptasi dengan kondisi saat ini, arsitek Ren Katili dari Studio ArsitektropiS memaparkan beberapa standar arsitektur yang bisa diterapkan masyarakat. Berikut penjelasannya. Hunian yang adaptif untuk pencegahan penyebaran virus covid-19 sebenarnya sudah diakomodasi dalam konsep rumah sehat yang selalu memperhatikan unsur iklim daerah setempat.

Untuk daerah tropis seperti Indonesia, menurut Pendiri Studio ArsitektropiS tersebut, rumah harus memenuhi aspek kecukupan pencahayaan matahari dan memiliki sirkulasi udara yang baik, di samping fasilitas ruang terbuka hijau yang memadai. “Rumah yang memiliki sirkulasi udara baik dengan pancahayaan sinar matahari cukup akan mampu mereduksi kelembaban udara yang tinggi di daerah tropis. Dengan demikian, rumah tidak terasa lembab yang memudahkan berkembangbiaknya bakteri serta virus-virus berbahaya,” ujarnya.

Menguatkan pendapat dr. Lia, menurut Ren, hunian sehat idealnya memang tidak perlu menggunakan pendingin ruangan (AC) yang harus disimpan di ruang tertutup. Sesuai berbagai referensi yang ia dapatkan, droplet yang mengandung Covid-19 dapat menyebar lebih cepat di ruangan ber-AC ketimbang di luar ruangan atau di dalam ruangan yang memiliki ventilasi leluasa.

Lalu, bagaimana mengatasi problem overheating yang sering dikeluhkan orang pada ruangan yang tidak ber-AC? Ren mengamati, temperatur tinggi yang terjadi karena pencahayaan matahari berlimpah di daerah tropis, rata-rata dialami oleh rumah yang memiliki aliran udara rendah. Untuk menghindari kondisi overheat seperti itu, ia menyarankan, saat membangun rumah, bangunan sebaiknya diorientasikan pada arah utara-selatan.

Selain itu, bentuk bangunan yang pipih (desain persegi panjang) menurutnya juga lebih baik daripada denah rumah yang berbentuk gemuk (seperti kubus) karena udara akan lebih cepat keluar masuk. Dalam hal trafik udara, masih kata Ren, idealnya setiap rumah memang memiliki 2 lubang yang bisa menjadi pintu keluar masuk udara. Namun di kompleks perumahan yang padat saat ini, tidak bisa dihindari lagi, banyak rumah yang akhirnya hanya memiliki satu fasad karena bagian belakangnya ditutup rapat ketika penghuninya butuh ruang tambahan.

Untuk kondisi seperti itu, Ren menganjurkan dibuat bukaan atas agar udara panas bisa keluar leluasa. Selain bukaan untuk trafik udara, presentasi luas dasar terhadap luas lahan juga harus diperhatikan demi kualitas udara, tanah dan air sehingga tercipta keseimbangan kelestarian lingkungan. Lalu bagaimana untuk rumah yang sudah telanjur ditingkat? “Siasati dengan membuat jendela atau bukaan di atas tangga agar udara jangan sampai mampat,” ujarnya memberi saran.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved