Trends Economic Issues

Indonesia Bisa Memainkan Peran Penting dalam Perjanjian RCEP

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar

Pandemi COVID-19 telah memukul pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan Bank Dunia minus 2,2 persen hingga akhir 2020. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat kembali positif pada 2021 di kisaran 3 persen. Karena itu pemerintah dan masyarakat bisnis harus memanfaatkan setiap potensi ekspansi untuk mendukung berbagai peluang yang ditimbulkan dari paket stimulus yang besar.

Penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP), perjanjian kerja sama dagang terbesar di dunia memberikan harapan bagi masyarakat internasional bahwa perdagangan bebas tetap menjadi arah yang tepat untuk ekonomi dunia. Pandemi juga telah meningkatkan keinginan banyak negara untuk bersatu melawan virus Covid-19. Karena itu, harus ada cara untuk menghadapi pandemi dan mengembalikan pertumbuhan ekonomi serta yang tidak kalah penting adalah mempertahankan rasa percaya diri negara-negara di dunia terhadap pembangunan di masa depan.

RCEP bisa dijadikan sebagai stimulus tambahan pascapandemi karena berpotensi meningkatkan perdagangan dan investasi di negara anggota. Namun demikian, manfaat RCEP tidak akan bisa didapatkan Indonesia secara maksimal, bila tidak dilakukan perubahan secara mendasar, berupa program penguatan daya saing di berbagai sektor. Implementasi RCEP bisa menjadi salah satu jalan dalam upaya pemulihan perekonomian Indonesia pada 2021.

Indonesia sejatinya bisa memainkan peran yang cukup dominan dalam RCEP jika mampu meningkatkan daya saing. Salah satunya dengan menyetak tenaga kerja terampil dan profesional yang sesuai dengan tuntutan perkembangan industri dan mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital.

Alasan ini pula yang menjadi fokus Universitas Prasetiya Mulya dalam dunia pendidikan untuk terus berupaya menyetak generasi unggul berwawasan di bidang bisnis dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis teknologi dan sains terapan. Selama ini Universitas Prasetiya Mulya juga terus berupaya membangun ekosistem bisnis kepada para mahasiswanya agar dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan lanskap ekonomi.

Menurut Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof. Dr. Djisman S. Simandjuntak, tahun 2021 sangat mungkin menjadi momentum pemulihan akibat dampak pandemi Covid-19. Karena itu pertumbuhan baru sesudah 2021 juga harus disiapkan dari sekarang. Pembangunan yang berpusarkan berdasarkan kesehatan, investasi yang besar dalam modal manusia, yaitu pendidikan dan pelatihan, perlunya katalisasi kewirausahaan, serta investasi infrastruktur, termasuk infrastuktur digital menjadi sangat penting.

“Kita perlu dekarboniasasi, serius menangani investasi yang sifatnya dekarbonisasi seperti renewable energi, kita perlu membangun brand Indonesia maju, yang sudah banyak jadi buah bibir, Indonesia yang terbuka, connected, decarbonized,” ujar Djisman.

Terkait pembangunan modal manusia, Djisman menekankan pentingnya keuntungan bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Menurutnya bonus demografi hanya bisa terwujud jika generasi muda Indonesia bisa menikmati pendidikan dan kesehatan yang baik.

Memang dalam kondisi saat ini membuka kembali persekolahan dengan pola pembelajaran tatap muka cukup berisiko. Namun dengan perkembangan teknologi digital, pola pendidikan hybrid, perpaduan tatap muka dengan aktivitas pembelajaran online bisa menjadi salah satu solusi. “Kami di Prasetiya Mulya sudah membangun hybrid classes. Di mana peserta didik bisa ikut pendidikan secara fisik, namun sebagian besar mengikuti online. Jadi kita gilir,” jelas Djisman

Saat ini, kata Djisman, digitalisasi menjadi satu keniscayaan untuk membangun daya saing manusia Indonesia. Digital connectivity harus bisa menjangkau seluas mungkin di wilayah Indonesia dan sebanyak mungkin seluruh masyarakat Indonesia demi membangun human capital yang jauh lebih baik.

Sepanjang 2021 hingga 2022 lanskap ekonomi dunia diprediksi masih akan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat COVID-19. Meski sepanjang 2020 pemerintah di seluruh dunia telah menggelontorkan paket stimulus secara besar-besaran untuk meminimalisir dampak COVID-19, namun kebijakan tersebut tidak mampu mencegah pertumbuhan negatif, angka pengangguran yang meningkat, kegagalan bisnis, termasuk UMKM, penurunan perdagangan barang dan jasa, penurunan investasi langsung asing dan gejala-gejala kontraksi lainnya.

Kondisi tersebut membuat 10 negara anggota ASEAN, bersama Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia pada November lalu menandatangani RCEP. Perjanjian RCEP adalah kawasan ekonomi yang sangat besar menurut wilayah, penduduk dan angkatan kerja, pendapatan nasional, perdagangan internasional, dan investasi internasional. Sebagai gambaran, kawasan ini mencakup 2,1 miliar orang (30 persen populasi dunia) dan menyumbang sekitar 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Menurut Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, RCEP adalah kendaraan untuk meningkatkan peran dan kontribusi dan keberadaan Indonesia dalam perdagangan serta investasi dunia. Secara paralel, pemerintah juga sudah mengesahkan UU Cipta Kerja. UU ini merupakan elemen penting dalam memperbaiki pekerjaan rumah yang dihadapi selama ini terkait investasi. Karena itu, RCEP dan UU Ciptaker harus dijadikan momentum untuk mencapai pemulihan ekonomi yang sustainable pada tahun ini. Mahendra mengatakan, RCEP adalah lokomotif ekonomi dunia untuk 10-20 tahun ke depan. Bukan itu saja, RCEP akan membuat kawasan Asia menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia.

“Selama ini Asia selalu menjadi factory atau pabrik, pasar dan motor pertumbuhan ekonomi dunia. Karena itu, Indonesia harus memanfaatkan momentum RCEP ini untuk meningkatkan ekspor. Karena selama ini, mayoritas ekspor Indonesia adalah ke negara-negara anggota RCEP,” kata Mahendra dalam webinar “Stimulus Covid-19 dan RCEP: Pemacu Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Dunia 2021-2022” yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya, Ikaprama dan Katadata (20/1/2021).

Tujuan kesepakatan ini untuk menurunkan tarif, membuka perdagangan barang dan jasa, serta mempromosikan investasi. Melalui penandatanganan ini diharapkan dapat menjadi salah satu motor penggerak ekonomi para anggotanya.

Menurut Managing Director Bank Dunia Mari Pangestu, salah seorang inisiator RCEP pada KTT Asean di Bali pada 2011 silam, kerjasama dagang ini akan menguntungkan ASEAN, karena kelahirannya justru dimaksudkan untuk mengimbangi kekuatan ekonomi Asia Timur (Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan).

RCEP diharapkan dapat memangkas biaya dan waktu bagi perusahaan dalam mengekspor produknya ke negara-negara dalam lingkup perjanjian ini. Sebab, eksportir hanya perlu menggunakan satu macam Surat Keterangan Asal (SKA) untuk bisa mengekspor ke seluruh negara anggota RCEP. Selain itu, diharapkan terdapat spill-over effect, yang memperluas jangkauan Indonesia ke negara-negara di luar anggota RCEP dan rantai pasok global.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved