Management Trends

Ini Alasan FSP BUMN Strategis Tekan DPR

demointerkoneksi

Sekitar 9 tahun Jowvy Kumala, salah satu manajer di Telkomsel merasakan harus jauh dari keluarga karena harus merasakan tugas di pelosok Nusantara. Meski tidak lama setiap penugasan, tiga hingga seminggu, tapi bukan hal mudah bagi ibu tiga anak ini harus merasakan itu bolak-balik dalam 9 tahun. “Apa yang saya rasakan tidak seheroik yang dirasakan teman-teman saya di Network Operation kala buka jaringan, jangan tanya gimana tantangannya merambah Papua, Maluku Utara dan Tenggara, Kalimantan dan pucuk-pucuk Sulawesi,” ungkapnya. Menurutnya, ketika Menkominfo, Rudiantara menyampaikan pernyataan bahwa pemerintah tidak mewajibkan Telkom Group membangun daerah terluar Indonesia, itu bagai mengucuri cuka diatas luka.

Sedikit emosi, Jowvy yang juga seorang penyelam ini, menganggap Rudiantara tidak berperasaan. Bagaimana tidak, demi membangun fasilitas telekomunikasi di pelosok Timur Indonesia, banyak pegawai Telkomsel yang merupakan anak usaha Telkom Group, yang harus berdarah-darah, meneteskan air mata dan merasakan betapa beratnya membangun telekomunikasi di sana. “Mereka menjalaninya, demi tanggung jawab memberikan layanan telekomunikasi ke seluruh pelosok negeri,” sergahnya.

Cerita Jowvy, bisa mewakili rasa seribuan karyawan BUMN yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (30/8) berdemo di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta. Unjuk rasa dilakukan pada pukul 9.30 hingga 11.30 WIB tersebut menuntut pemerintah, dalam hal ini Menkominfo, membatalkan rencana penurunan tarif interkoneksi yang dinilai akan merugikan operator telekomunikasi milik negara atau BUMN (Telkom dan Telkomsel), dan menguntungkan operator lain, yang notabene adalah operator milik asing.

Jaringan Telkomsel di Timur Indonesia

Jaringan Telkomsel di Timur Indonesia

“Wacana bahwa penurunan tarif interkoneksi otomatis akan menurunkan tarif pulsa adalah tidak berdasar. Biaya interkoneksi hanyalah salah satu elemen tarif yang prosentasinya sangat kecil terhadap tarif end user, Jadi apabila tarif interkoneksi diturunkan tidak serta merta tariff pungut ke pelanggan akan turun. Namun yang sudah pasti terjadi adalah bahwa akan ada operator yang dirugikan sementara operator lainnya diuntungkan. Hal ini sangat tidak adil,” ujar Wisnu Adhi Wuryanto, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis.

Saat demo, Wisnu menyampaikan FSP-BUMN Strategis membela operator yang dirugikan atas perubahan tariff interkoneksi tersebut, karena operator yang selama ini berkomitmen membangun jaringan di seluruh pelosok negeri adalah milik BUMN. “Kami adalah elemen masyarakat yang sangat mencintai negeri ini, sehingga kami membela dengan semangat nasionalisme,” kata Wisnu. Ia menambahkan operator yang akan diuntungkan oleh perubahan tariff interkoneksi kebetulan sebagian besar adalah milik asing. Bagi karyawan yang mendemo kebijakan tersebut kemarin, kebijakan Menkominfo justru merugikan bangsa sendiri.

“Kami Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis sangat mendukung kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk perbaikan industry telekomunikasi secara keseluruhan di negeri ini. Namun aturan-aturan main yang sudah berlaku harus diikuti dengan konsisten. Persoalan industri yang efisien harus dilihat secara komprehensif dari hulu ke hilir,” tegasnya.

Masyarakat pengguna, Pemerintah dan pelaku industry harus sama-sama mendapat manfaat dan memikul tanggung jawab yang seimbang. Itulah gunanya Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 yang mengatur industry telekomunikasi ini, agar amanah Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terwujud. Kami minta masalah ini segera dapat dicarikan solusi yang adil, transparan dan sesuai kesepakatan semua pihak yang berkepentingan langsung, yaitu para operator. Dalam pandangannya, tantangan kita ke depan sungguh sangat berat, teknologi telekomunikasi berkembang sangat pesat dan semua negara di dunia berlomba-lomba mengeksploitasi kecanggihan teknologi ini untuk kepentingan bangsa masing-masing. Kalau kita terus gaduh maka Indonesia ini akan semakin ketinggalan dan hanya akan menjadi korban kemajuan.

“Kami minta Menteri Kominfo memperhatikan kondisi ini dan segera berkonsentrasi untuk menatai ndustri telekomunikasi secara lebih baik. Jangan bikin kegaduhan yang tidak perlu. Apabila mengikuti tradisi yang sudah-sudah, soal proses penetapan tariff interkoneksi ini tidak menjadi isu karena dilakukan atas dasar kesepakatan,” tuturnya.

Dalam jumpa pers di Bandung, Minggu, 28 Agustus 2016, Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis telah menyatakan, Rencana Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melakukan penurunan tarif Interkoneksi mencari popularitas dengan merugikan negara dan menguntungkan operator asing yang beroperasi di Indonesia.

“Penurunan Tarif Interkoneksi oleh Menkominfo tidak menjamin penurunan tarif ke pelanggan, ini hanya langkah mencari popularitas bagi pengguna jasa saja, yang sudah jelas adalah menguntungkan operator asing dan merugikan negara karena pihak yang dirugikan adalah BUMN,” katanya

Wisnu menyoroti disamping prosesnya yang terkesan terburu-buru, azas kepatutan penandatangan diabaikan, untuk kondisi sekarang tanpa adanya Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) seharusnya tidak layak seorang PLT DIRJEN menandatanganinya. Isi surat tersebut juga terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khusus mengenai penetapan tarif interkoneksi yang seharusnya didasarkan pada Pasal 22 dan 23 PP tersebut. Dimana Pasal 22 menyebutkan bahwa “Kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis”. Artinya tarif interkoneksi tersebut harusnya merupakan kesepakatan seluruh operator. Sedangkan di pasal 23 ayat (1) juga dijelaskan “Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi”. Kemudian dilanjutkan di ayat (2) bahwa “Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil”. Sementara sebagian operator tidak sepakat hasil penetapan pihak Kominfo karena perhitungannya tidak tratsparan, merugikan, dan tidak adil.

“Karena terindikasi melanggar, surat edaran ini potensial dilakukan gugatan ke PTUN, atau bila nantinya dikeluarkan melalui Peraturan Menteri maka potensial diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung,” Wisnu menambahkan.

Dari sisi besar keuntungan operator asing dan kerugian negara, Wisnu menjelaskan jika melihat besaran tarif interkoneksi yang ditetapkan Rp. 204, sedangkan pada Rapat dengar pendapat antara kOMISI I DPR dengan para CEO operator pada tanggal 25 Agustus 2016 lalu, dengan Cost Recovery Rp 65,- per menit XL akan untung Rp. 139/menit, untuk Indosat Ooredoo dengan Recovery Rp 87 per menit akan untung Rp 117 per menit, untuk Hutchinson dengan Cost Recovery Rp 120 per menit akan jadi untung Rp 84 per menit, Khusus ntuk Telkomsel dengan Cost Recovery Rp 285 per menit akan rugi Rp 81 per menit. Jika trafik interkoneksi antar operator 10 milyar menit per bulan, bisa dihitung berapa keuntungan operator asing tersebut dan kerugian Telkomsel, misal kerugian Telkomsel di sini Rp 800 milyar per bulan.

“Idealnya Kementerian menetapkan tarifnya tidak sama rata, tetapi konsisten berbasis biaya masing masing operator. Melihat indikasi kerugian negara karena Telkomsel adalah anak usaha BUMN dan indikasi memperkaya pihak lain ini, walau kebijakan ini populis, kami sedang mengkaji dengan serius untuk melaporkan kebijakan ini KPK dan BPK,” jelasnya.

Jowvy ditempat terpisah melihat ketidakadilan penerapan kebijakan ini, menurutnya tidak adil sekarang dengan mudah operator milik asing menggunakan jaringan milik BUMN tapi meminta menteri membuat tarifnya murah. “Tidak mau membangun infrastruktur untuk network dengan alasan kompetisi tidak sehat. Tapi dulu jor-joran tarif murah supaya terkesan modal banyak, tapi ternyata mau menipu alias tidak mampu membangun jaringan,” ujarnya sinis.

Sementara itu di Bandung, Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana menyatakan bahwa kebijakan tarif interkoneksi dari Menkominfo memang akan membuat Telkomsel sebagai anak usaha Telkom rugi 2 kali yaitu dibayar lebih rendah dari biaya yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel dihubungi pelanggan non Telkomsel dan membayar lebih tinggi dari yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel menghubungi, sehingga Serikat Karyawan Telkom menolak kebijakan tersebut dan mendukung apa yang akan dilakukan Federasi Serikat BUMN Strategis. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved