Trends Economic Issues zkumparan

Inovasi dan Regulasi Memperkokoh Industri Farmasi Nasional

Bambang Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional. (Tangkapan layar : Vicky Rachman/SWA).

Pemerintah mempermudah pertumbuhan obat modern asli Indonesia (OMAI) seiring dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi. Perubahan penghitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) produk farmasi itu kian mempermudah produsen OMAI di dalam negeri. Demikian rangkuman diskusi virtual bertajuk Efek Covid-19: Urgensi Ketahanan Sektor Kesehatan di Jakarta, Senin (21/12/2020).

Bambang Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengemukakan utilisasi pabrik atau industri farmasi berpeluang meningkat apabila volume produksi OMAI bertambah serta memicu riset dan pengembangan (research & development/R&D) OMAI. ”Jika produsen ingin memproduksi OMAI yang lebih banyak, terutama obat-obatan untuk menangani penyakit-penyakit yang 10 besar menyebabkan kematian, maka saya meyakini industri farmasi akan makin aktif melakukan kegiatan R&D, baik yang dilakukan sendiri, maupun kegiatan yang melibatkan universitas atau lembaga penelitian. Jadi, di situlah benang merahnya,” tutur Bambang.

Riset mengenai OMAI, menurut Bambang, merupakan salah satu prioritas riset nasional di tahun ini.”Dan beberapa sudah menghasilkan produk yang baik . misalnya minggu lalu itu saya sudah menghadiri launching OMAI yang basisnya kumis kucing, untuk menurunkan kadar gula darah. Ini yang membuat IPB (Institut Pertanian Bogor) bekerja sama dengan perusahaan farmasi nasional. Inilah contoh yang bisa dilakukan,” ungkap Bambang.

Muhammad Khayam, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin), menegaskan komitmen instansinya dalam meningkatkan kemandirian industri obat nasional yang selama ini sangat bergantung pada bahan baku impor. “Sesuai aturan baru, menghitung TKDN obat tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based,” jelas Khayam.

Penghitungan nilai TKDN produk farmasi berdasar processed based dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku Active Pharmaceuticals Ingredients (API) sebesar 50%, proses penelitian dan pengembangan sebesar 30%, proses produksi sebesar 15% serta proses pengemasan sebesar 5%.Metode ini diharapkan dapat memperkuat dan mendorong pengembangan industri bahan baku obat (BBO), meningkatkan riset dan pengembangan obat baru. “Selain itu, dapat mengurangi impor bahan baku obat dan mendorong kemandirian bangsa di sektor kesehatan,” ucap Khayam menjelaskan.

Kebijakan TKDN di sektor farmasi ini bertujuan untuk berkontribusi dalam program pengurangan angka impor yang ditargetkan mencapai 35% pada 2022. Pasar dalam negeri dinilainya sangat potensial untuk berbagai produk farmasi dan alat kesehatan dengan kandungan lokal tinggi. “Potensi pasar yang besar bagi industri farmasi juga menjadi peluang untuk menarik investor agar mengembangkan bahan baku obat di Indonesia,” sebut Khayam.

Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2020, terdapat 129 industri obat tradisional, namun hanya 22 perusahaan yang memproduksi obat herbal terstandar (OHT). Adapun, lima perusahaan di antaranya telah mengembangkan fitofarmaka. Selebihnya, tergolong dalam industri ekstrak bahan alam. Saat ini yang telah terdaftar di BPOM sekitar 11 ribu produk jamu, tetapi yang merupakan produk OMAI sejumlah 23 produk fitofarmaka dan 69 OHT.

Sepanjang tahun ini, pandemi Covid-19 memberikan pengaruh signifikan terhadap industri manufaktur. Ada sektor industri yang terdampak berat akibat menurunnya permintaan, juga karena tersendatnya arus logistik, namun ada pula industri yang bisa tumbuh optimal maupun berpotensi untuk berkembang di tengah pandemi. Kemenperin mencatat pertumbuhan sektor industri sub sektor manufaktur pada triwulan III 2020 terkontraksi -4.02%. Namun jika dicermati lagi, ada sub sektor yang mampu tumbuh positif dan menjadi penopang keseluruhan pelaku industri, diantaranya industri kimia, farmasi, dan obat tradisional yang tumbuh sebesar 14,96%, kemudian industri logam dasar sebesar 5,19%, industri pengolahan lainnya, jasa reparasi, pemasangan mesin dan peralatan sebesar 1,15%, serta industri makanan dan minuman sebesar 0,66%.

Menyokong OMAIPada kesempatan ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Selama ini, beleid tersebut dinilai menghambat pengembangan dan pemanfaatan OMAI karena obat-obatan berbahan dasar herbal tidak masuk dalam daftar obat rujukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bisa dicakup oleh BPJS Kesehatan.

Sekretaris Jenderal Kemenkes, Oscar Primadi menyatakan untuk bisa masuk dalam daftar obat JKN, maka instansinya perlu memastikan persoalan mutu, manfaat obat, kualitas, serta faktor keamanan dari OMAI yang diusulkan. “Bukan tidak mungkin dilakukan perubahan sesuai perkembangan selama itu berpihak pada kepentingan publik. Karena ini kan demi kesehatan masyarakat,” ujar Oscar. Kemenkes bersama BPOM akan melakukan evaluasi sebelum menerbitkan izin edar suatu produk OMAI, sampai memasukkannya ke dalam JKN. “Nanti payung besarnya adalah JKN, kami perlu melakukan pembahasan pronas tersendiri mengenai Fitofarmaka ini. Perlu duduk bersama karena untuk relaksasi harus dilakukan sesuai international practice dari WHO,” jelas Oscar.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto, menyatakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, telah memberikan arahan kepada jajarannya untuk mendorong relaksasi daftar obat JKN agar OMAI bisa masuk ke dalamnya dan digunakan oleh dunia medis di Indonesia. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 itu diapresiasi lantaran dinilai telah mendorong kemandirian industri obat nasional dengan bahan baku herbal dari dalam negeri. “Kita harus kompak memasukkan TKDN sebagai komponen utama, dan bahan bakunya ada di domestik. Namun, kita juga ingin pemain farmasi domestik bisa memberikan harga obat yang kompetitif. Jangan karena sudah diakomodir masuk dalam TKDN, lalu harganya dibuat tinggi,” tegas Seto.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved