Trends Economic Issues

Kemacetan dan Pertumbuhan Ekonomi, Bagaimana Faktanya?

Suasana lalu lintas di Jl. Sudirman-Thamrin. Apakah macet tanda adanya pertumbuhan ekonomi? (Dok. Korlantas Polda Metro)

Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis beberapa hari yang lalu membuat geger. Melalui akun Twitter peribadinya, Yustinus menjelaskan keterkaitan antara kemacetan dan aktivitas ekonomi. Hal ini membuat beberapa pihak tersulut dan menyayangkan penjelasan Yustinus.

Yustinus mengatakan bahwa macet yang biasa disebabkan volume kendaraan, tentu tak lepas dari peningkatan penjualan kendaraan. Pada 2022 penjualan mobil penumpang dan sepeda motor masing-masing naik sebesar 18,76% dan 3,24% (c-to-c), sebuah sinyal bahwa daya beli masyarakat tetap stabil dan terus terjaga.

“Macet kerap menjengkelkan, namun itu representasi aktivitas masyarakat. Makin menggeliat tentu makin mampu mendorong aktivitas ekonomi. Sejalan dengan itu, pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter yang kuat,” ujarnya, dikutip Senin (13/02/2023).

Dari sisi fiskal, lanjut Yustinus, penyaluran perlindungan sosial tambahan melalui BLT BBM, Bantuan Subsidi Upah, serta peningkatan realisasi subsidi plus kompensasi energi yang naik adalah salah satu bukti bahwa APBN bekerja keras menjaga perekonomian. Yustinus menyertakan foto data APBN sebagai shock absorber, di mana konsekuensinya subsidi dan kompensasi meningkat menjadi Rp 551,2 triliun pada 2022.

“Hasilnya, kemarin (6/2/2023) Badan Pusat Statistik merilis berita resmi yang menyebut bahwa secara tahunan perekonomian Indonesia 2022 tumbuh impresif 5,31% atau kembali mencapai level 5% seperti prapandemi, bahkan tertinggi sejak 2013. Recover stronger,” ucap Yustinus dengan menyertakan data pertumbuhan ekonomi Indonesia BPS pada 2022.

Lebih lanjut, konsumsi rumah tangga masih merupakan penyumbang utama PDB 2022 dengan kontribusi sebesar 51,87%, serta menjadi sumber pertumbuhan tertinggi yaitu 2,61%. Pertumbuhan tertinggi adalah komponen ekspor sebesar 16,28% (yoy), yang didorong oleh windfall komoditas unggulan.

Secara spasial, pertumbuhan ekonomi juga terus menguat khususnya kelompok provinsi di Jawa 5,31%, Sulawesi 7,05%, dan Maluku Papua 8,65%. Namun struktur ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa (56,48%) dan Sumatera (22,04%). “Sebuah PR bersama untuk pertumbuhan yang lebih merata,” ujarnya.

Di tengah melambatnya ekonomi global, positifnya pertumbuhan ekonomi membuat kita patut optimis, namun kita juga harus waspada. Tingginya harga komoditas ekspor unggulan menunjukkan tren penurunan, membuat windfall & surplus neraca perdagangan 2022 mungkin tak terulang di 2023.

“Maka sepanjang perjalanan pulang kantor yang macet ini, saya tak henti bersyukur karena Indonesia memiliki APBN sebagai instrumen fiskal. Pada 2023 akan terus dioptimalkan menjaga daya beli dan semoga dikuatkan dalam menjaga ekonomi,” katanya.

Cuitan ini dikritik Greenpeace Indonesia yang mengatakan bahwa macet sama dengan polusi udara, lalu polusi udara sama dengan kualitas kesehatan masyarakat menurun, setelah kesehatan masyarakat menurun klaim BPJS meningkat, lalu program JKN defisit, terus Kemenkeu naikkan iuran BPJS, lalu masyarakat lagi yang dikorbankan. “Pertumbuhan ekonomi gak harus bikin orang sakit dan lingkungan rusak terus,” sebut Greenpeace Indonesia.

Kerugian Ekonomi Akibat Kemacetan dan Solusinya

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, mengutip data Bappenas, tahun 2045 diperkirakan 230 juta penduduk akan bertempat tinggal di perkotaan. Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 Juta liter per hari.

“Salah satu permasalahan perkotaan adalah kemacetan lalu lintas yang diakibatkan oleh dominasi kendaraan pribadi vs angkutan umum. Tanggung jawab angkutan umum pada Pemerintah Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Namun Pemerintah Daerah tidak memiliki kemampuan finansial untuk menyediakan sendiri (kecuali Jakarta), meskipun nyatanya ada 7 kota memiliki anggaran untuk memberikan subsidi operasional angkutan umum,” kata Djoko.

Untuk mengatasi kemacetan, lanjut Djoko, pemerintah harus menyediakan angkutan massal (umum). Hal ini sesuai amanat Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di mana Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang. Mayoritas penumpang merupakan masyarakat rentan secara ekonomi, fisik, maupun sosial.

“Karena itu, sudah sewajarnya layanan transportasi umum dipandang sebagai layanan dasar yang memang harus tersedia dan bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat secara terjangkau, aman, selamat, nyaman, dengan menjunjung unsur kesetaraan serta keteraturan. Pemda tidak memiliki kemampuan finansial, oleh sebab itu perlu dukungan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan,” katanya.

Salah satu contohnya adalah pemberian subsidi pembelian layanan atau buy the service (BTS) di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. BTS dilakukan dengan membeli layanan dari operator dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal menjalankan push and pull strategy.

“Hal itu dilakukan dalam upaya untuk beralihnya masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Bukan hal yang mudah dilakukan di tengah kenyamanan penggunaan kendaraan pribadi terutama sepeda motor,” ujar Djoko.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved