Management Trends

Kemendesa Pacu Hilirisasi Produk Pertanian

Kemendesa Pacu Hilirisasi Produk Pertanian

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mendorong kelompok tani mengolah hasil pertanian menjadi produk bernilai tambah agar mendongkrak pendapatan petani. Hal ini ditunjukkan Kelompok Tani di Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta dan sejalan dengan program Kemendesa PDTT yang menjadikan satu desa, satu produk (one village, one product) serta memacu pedesaan menghasilkan produk unggulan.

Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) RI, mengatakan, pemerintah ingin merealisasikan desa unggulan melalui program one village, one product. Untuk mewujudkan hal ini, Eko menekankan setiap pihak harus memfokuskan tiga faktor agar mewujudkan desa unggulan. Ketiga faktor itu adalah fokus pada produk tertentu dan potensial di desa, skala ekonomi cukup besar, dan menjaga stabilitas harga pasca panen.

Eko, Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (Foto : Vicky Rachman/SWA).

Ek Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (Foto : Vicky Rachman/SWA).

Adapun, Desa Bunder kini menjelma sebagai penghasil kakao. Para kelompok tani di desa ini mengolah biji kakao menjadi aneka produk cokelat siap saji, antara lain cokelat batangan bermerek Gun-Kid (Gunung Kidul) Cokelat, getuk, dan minuman cokelat. Harga jual Gun-Kid Cokelat bervariasi sekitar Rp 5-Rp 15 ribu.

Kemendes PDTT berharap cokelat lokal merek Gun-Kid asal Gunung Kidul, Yogyakarta mampu menembus pusat perbelanjaan modern. Gun-Kid Cokelat, menurut Paryanto, Ketua Kelompok Tani Sari Mulyo, dibeli oleh mahasiswa, restoran, rumah makan, dan masyarakat setempat. “Sejak tahun lalu kami mengolah kakao menjadi cokelat dan minuman. Dalam sebulan omzet kami sekitar Rp 2,5 juta,” ujar Paryanto. Jumlah kelompok tani Di Desa Bunder, yang mengolah kakao sebanyak empat grup, yaitu Kelompk Tani Sari Mulyo, Kelompok Tani Sidoadi, Kelompok Tani Ngudi Subur, dan Kelompok Tani Ngudiraharji II. Menurut Paryanto, awalnya petani meragukan pengolahan kakao. “Ketika harga kakao meningkat dan kami memberikan bukti, maka petani semakin percaya dengan upaya pengolahan kakao,” ungkap Paryanto. Pengolahan kakao menjadi makanan dan minuman siap saji telah berdampak kepada peningkatan harga kakao menjadi Rp 30 ribu/kg pada 2015 dari sebelumnya 12 ribu/kg (2008-2014).

Direktur Jenderal Pembangunan Kawasan Pedesaan, Kemendes PDTT, Johozua Markus Yoltuwu, mengapresiasi upaya petani mengolah kakao menjadi aneka macam produk cokelat, seperti cokelat batangan, getuk, atau susu cokelat. “Kami mendorong petani dan warga di pedesaan untuk hilirasi produk pertanian. Kami sudah berbicara dengan Kementerian Pertanian untuk membantu warga pedesaan mengenai hiliriasi produk,” kata Johozua di Dusun Gambiran, Desa Bunder, Yogayakarta, pada akhir pekan lalu. Dia mengemukakan pihaknya bersama Kementerian Perindustrian sedang menyusun program Desa Industri dan Desa Kreatif yang sedang dibahas bersama Badan Ekonomi Kreatif.

Kemendes PDTT akan memberikan bantuan berupa teknologi pengupasan kakao, sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi. “Kami akan bicara dengan Perindustrian sehingga pengolahan kakao ini ada standar. Tidak hanya untuk konsumsi di lokal, tapi juga mulai mengarah ke mal dan supermarket,” ucap Johozua.Pengupasan kakao sebanyak 1 kg membutuhkan waktu selama satu jam. “Kalau pakai teknologi pengupas, bisa kira-kira lima menit atau tiga menit,” tambahnya. Bantuan teknis dan non tekni diberikan Kemendesa PDTT di 74.754 desa dan menggandeng dengan pemerintah daerah. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved