Book Review Trends Review zkumparan

Kondisi Bisnis Berubah Cepat, Perhatikan Tiga Hal Penting Ini

Kondisi bisnis saat ini tidak bisa diprediksi seperti 10 tahun lalu. Semua berubah cepat. Kita mengenalmya dengan situasi VUCA (volatile uncertainty complexity ambiguity). Pengalaman Tya Adhiatma selama 35 tahun antara lain sebagai Pendiri & CEO PT Navigadhi serta Direktur PT Gobel Indonesia dibagikan dalam sebuah buku berjudul: Navigating Turmoil.

“Pengalaman selama 35 tahun tersebut saya tuanhkan dalam buku yang berisi pengambilan keputusan yang efektif dalam kedinamisan lingkungan bisnis,” tuturnya selepas diskusi di IPMI International Business School Jakarta (01/09/2018). Tya menggarisbawahi sekitar tiga tema dalam modelnya: “Govern, Challenge, and Strategize”, yang dilalui selama 35 tahun dalam kariernya memimpin perusahaan-perusahaan besar.

Buku itu menguraikan kumpulan kasus dari bisnis skala nasional dan multinasional, serta organisasi nirlaba yang sudah lebih dari 35 tahun ia jalankan.“Buku ini seperti sebuah panggilan. Mari bersama-sama kita berikan contoh yang baik dalam berbisnis, terutama untuk generasi pemimpin mendatang” kata Tya yang menulis sendiri buku ini. Buku 144 halaman berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh Afterhours ini menyoroti tiga peran utama yang harus dipenuhi pemimpin.

Derry Habir, Direktur Pusat Kasus IPMI, mengungkapkan, beberapa pemikiran utama dari peluncuran buku yang dirancang secara unik ini. “Saya percaya para eksekutif berpengalaman ingin melihat bagaimana perusahaan seperti Panasonic Gobel dan GE menyikapi isu-isu penting. Juga, untuk mereka yang baru memulai kariernya, akan menemukan buku ini sangat menarik. Maka dari itu peluncuran buku tidak hanya membedah buku biasa. Karena, selain Tya seorang penulis yang andal, dia adalah pembicara publik yang luar biasa dan berpengalaman. Kami ingin menunjukkan itu juga,” jelas Derry.

Selain itu juga hadir, Jusman Syafii Djamal (Menteri Perhubungan Indonesia periode 2007-2009, Komisaris Utama Telkom Indonesia, dan Komisaris Utama Garuda Indonesia) dan Handry Satriago (CEO General Electrics (GE) Indonesia). Keduanya berbicara tentang aspek “Governing, Strategizing and Challenging” pada perusahaan yang dipegangnya masing-masing.

“Dalam situasi yang ambigu, penting bagi para pemimpin untuk dapat membuat keputusan yang lebih cepat, konsisten, dan penuh keyakinan” ujar Jusman. Ditambahkan Aldi Loeis, Deputy Director of Executive Education di IPMI Business School. buku ini sangat cocok untuk dihadiahkan untuk para lulusan baru untuk membantu mengahadapi masa yang akan datang.

Butet Manurung pendiri Sokola Rimba, sebuah gerakan pendidikan alternatif untuk masyarakat terasing dan terpencil menceritakan betapa dia dan rekan-rekannya, membutuhkan restrukturisasi organisasi nir lama yang dibangun. Tya mengatakan awal bertemu Butet kala itu 2005 selepas tsunami Aceh, ia sangat mengagumi anak muda ini atas keputusan nekadnya membantu korban bencana di sana. “Tanpa restu orang tua, nekad, ke Aceh dengan kapal untuk membantu mereka yang terkena bencana. Lalu berketemu lagi pada 2015, ia mulai mengungkapkan keinginannya agar Sokola sebagai organisasi lebih rapih, efisien dan terstruktur,” ungkapnya.

Butet mengakui Sokola awalnya dibangun dia bersama teman-temannya dengan insting. Ia tidak ingin ketika ia sudah tidak ada, organisasi ini tidak ada, karena instingnya hilang. “Maka itu kami dibantu mbak Tya merestruktirasi organisasi. Agar bisa membantu 10 ribu anak-anak bahkan lebih banyak lagi anak di luar sana agar lebih baik dalam pendidikannya,” terang Butet yang hadir sebagai peserta diskusi yang didaulat mengungkapkan pengalamannya.

Henry Satriago CEO GE Indonesia,mengungkapkan, keberhasilan GE melalui kondisi bisnis yanb berubah cepat setelah melakukan banyak restrukturosasi. Ia yang mulai join GE pada 1996, melihat perubahan besar kondisi bisnis saat ini, memasuki VUCA yang memunculkan pemimpin-pwmimpin bisnis baru macam Jack Ma, Mark Zuckerberg, Nadim Makarim dan sebagainya. “Ini Era dimana bisnis membuat produk yang bisa menjual sendiri. Tidak seperti ilmu-ilmu njlimey yang dipelajari MBA sekolah-sekolah bisnis,” tuturnya. Dalam pandangannya strategi bisnis bisa berubah dalam 3 bulan, maka itu strategi manajemen jadi seperti tidak ada gunanya, dalam jangka panjang.

Dalam 5 tahun terakhir perusahaan industri di seluruh dunia hanya tumbuh sampai 1% saja. “Di sisi lain startup company dengan kemampuan digitalnya, bisa melakukan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan saat perusahaan-perusahaa lama itu di awal bisnisnya berdiri,” katanya. Digitalisasi membuat penbelian dan proses bisnis bisa lebih cepat, sehingga tidak heran jika startup bisa ada di Salatiga, mendesain di Venezuela, lalu memproduksi di China, dijual ke seluruh dunia. “Dengan kekuatan digital, mereka bisa mewujudkan itu semua dengan sangat cepat,” tambahnya. Ia menekankan, pemimpin bisnis tidak boleh baper—istilah slank untuk terbawa perasaan— dengan kondisi ini, harus menunjukkan optimisme ke bawahan. Pemimpin harus paham ke mana perusahaan akan menuju dalam kondisi seperti ini, apa yang akan dicapai perusahaan dengan terus menguatkan tim dengan kepercayaan.

“Jangan lupa untuk adaptif dengan kondisi yang cepat berubah. Tidak boleh alergi dengan startup company, justru belajar ke mereka bagaimana berbisnis; faster, cheaper, better,” saran Henry. Ia mengingatkan customer loyality di era digital menjadi hal langka. Setiap anak buah dari klien ketika diminta mencari barang tertentu, mereka akan mencari di Google, yang ada teratas di halaman pencarian itulah yang akan mereka pilih. Pelaku bisnis harus belajar dari apa yang dilakukan Facebook dalam mengelola bisnis dengan customer engagement.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved