Management Trends

Kontroversi Percepatan Aturan Larangan Ekspor Nikel

Kontroversi Percepatan Aturan Larangan Ekspor Nikel
Kegiatan penambangan nikel

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI, Luhut Binsar Pandjaitan, memberikan pernyataan bahwa pemerintah akan mempercepat larangan ekspor ore (bijih nikel). Tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah terhadap produk hilirisasi dan investasi. Ia memperkirakan sampai tahun 2023 bisa mencapai sekitar Rp168 triliun.

Rencana ini mendapat penolakan keras dari perusahaan nikel. Alih-alih untuk meningkatkan nilai investasi, rencana percepatan larangan ekspor bijih nikel ini justru tidak mendengar masukan langsung dari para pengusaha nikel. Padahal, pemerintah sendiri melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membentuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) untuk wadah bagi para penambang agar bisa saling tukar pikiran. Namun kenyataannya, untuk masalah ini asosiasi tersebut tidak dilibatkan, justru hanya sepihak mendengar masukan dari pengusaha asing.

Menurut Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin, pengusaha berpotensi mengalami kerugian hingga Rp50 triliun bila larangan ekspor bijih nikel dipercepat. Kerugian tersebut di antaranya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat karena dihentikannya ekspor nikel. Karena pengusaha mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter.

Kekhawatiran lainnya yakni tambang nikel yang berada di sekitar wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunan smelter tidak dapat dilanjutkan. Selain itu, perekonomian masyarakat sekitar di lingkar tambang seperti pemilik warung serta pekerja akan kehilangan mata pencaharian.

“Satu tambang memiliki 38 operator alat berat. Operator tersebut terdiri dari operator eskavator 200 dan 300 dozer, dan dump truck. Ada pula petugas helper maintenance, dapur, pengecekan lab, dan pekerja kantor. Jika dijumlah, pekerja tersebut berjumlah 98 orang, ini baru satu tambang ore (bijih nikel),” kata Meidy.

Hal senada juga disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebagaimana dikutip dari CNBC Indonesia. Dikatakan, ekspor Indonesia bisa terdampak dengan adanya larangan ekspor bijih nikel (ore). Bahkan disebutkan nilai ekspor yang terganggu bisa sekitar US$ 4 miliar atau setara Rp 56,7 triliun.

Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Cirrus), Budi Santoso, mengatakan, ketika larangan ekspor bijih nikel dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, maka berpotensi terjadi permainan harga. Praktik ini sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga US$ 20, sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya US$ 32.

Dampak lainnya, menurut Budi, yakni ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri, apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa tahun ke depan. “Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel,” katanya.

Sehingga jelas, alasan Menko Maritim yang ingin mempercepat larangan ekspor bijih nikel untuk meraih investasi besar tak sebanding dengan kerugian yang ada. Bahkan, larangan ini berpotensi menguntungkan segelintir pihak saja. Karena jika larangan ekspor diberlakukan segera maka harga nikel di dalam negeri akan anjlok. Padahal sebagaimana diketahui bahwa salah satu perusahaan nikel yang telah beroperasi di Morowali , Tsing Shan sedang membangun pabrik baterai lithium yang membutuhkan bahan baku nikel yang jika harganya turun akan sangat menguntungkan.

Menko Maritim memang membantah jika ada lobi-lobi smelter China. Bahkan, ia memamerkan sederet angka dengan mengatakan bahwa jika ekspor nikel maka RI hanya mendapat Rp US$ 600 juta sampai US$ 700 juta. Sementara jika ada nilai lebih, tahun lalu misalnya bisa ekspor stainless steel mencapai US$ 5,8 miliar setahun. Tahun ini bahkan bisa mencapai US $ 7,5 miliar dan tahun depan bisa US$ 12 miliar.

Jika melihat alasan tersebut, pastinya pasokan bijih nikel dalam negeri akan melimpah. Tapi, bagaimana mau mengolah jika smelternya tidak ada? Pasalnya, sampai dengan 2018, smelter sudah bisa beroperasi baru separuh dari target pemerintah yang sebanyak 57 smelter, atau baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.

Jadi pernyataan Luhut itu sangat menyederhanakan masalah dengan asumsi pendapatan yang dikatakan bisa memperoleh ratusan triliun, karena jika ditutup saat ini investasi baru membutuhkan waktu sampai tiga tahun. Jadi apa jaminannya jika Indonesia melakukan percepatan larangan ekspor bijih nikel akan mendapat investasi yang totalnya sangat besar tersebut, karena ini tidak ada jaminan banknya?

Sebenarnya bantahan tegas Menko Maritim ini semakin menimbulkan pertanyaan lanjutan, mengapa ia begitu menggebu-gebu ingin mempercepat melakukan larangan ekspor bijih nikel? Sebagaimana dikutip dari redaksi CNBC Indonesia, gagasan melarang ekspor bijih nikel ini muncul usai pertemuan para investor smelter China dengan Presiden Joko Widodo pada saat ada HUT Bhayangkara, pada Juli 2019.

Meski tidak mengetahui pasti apa yang diperbincangkan para pengusaha raksasa di bidang smelter tersebut, namun diketahui salah satunya membahas upaya percepatan hilirisasi. Apalagi dengan program mobil listrik yang siap dikebut, momennya pun semakin jadi.

Saat ini memang beberapa smelter China sudah beroperasi di Indonesia, sebut saja perusahaan asal China Tsingshan Holding Group yang merupakan produsen stainless steel dan telah menanamkan investasi ke Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Perusahaan ini juga menjadi bagian dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang ikut melakukan pembangunan Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera Tengah. IWIP diklaim bakal menjadi kawasan industry terpadu pertama di dunia yang mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang menjadi produk akhir berupa besi baja dan baterai dan kendaraan listrik.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved