Management Strategy

Waspadai Perang Mata Uang dan Kenaikan Fed Rate

Waspadai Perang Mata Uang dan Kenaikan Fed Rate

Pemerintah dan stakeholder terkait seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan mesti mewaspadai dua tantangan besar di hadapan, yakni perang mata uang dan risiko kenaikan Fed Rate.

“Tiongkok telah mendevaluasi mata uangnya. Vietnam baru saja mengikuti. Tidak ada yang tahu sampai kapan currency war ini berlangsung. Hal ini diperparah dengan rencana kenaikan Fed Rate pada September mendatang,” kata Rektor Paramadina, Firmanzah dalam seminar bertajuk “Penguatan Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Kualitas Manusia” di Jakarta.

Menurut dia, perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan dunia. Sehingga, apa yang terjadi di dunia internasional akan berdampak pada ekonomi domestik. Perlambatan ekonomi di Tiongkok dan mulai pulihnya ekonomi Amerika Serikat memiliki dua implikasi yang sama beratnya.

“Ekonomi AS mulai pulih dan Bank Sentral (The Fed) siap menaikkan suku bunga. Tapi, dalam rapat FOMC, masih ada dua kubu berbeda tentang rencana kenaikan Fed Rate. Tiongkok adalah partner strategis Indonesia. Kalau ekonomi mereka melemah, ekspor komoditas juga akan ikut menurun,” kata dia.

IMG_20150820_121457

Dia menjelaskan, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia telah merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Langkah pemerintahnya mendevaluasi Yuan diambil untuk mencegah perlambatan ekonomi semakin dalam. Sementara, kenaikan Fed Rate akan meningkatkan risiko terjadinya pembalikan modal (capital outlow) di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

“Oleh karenanya, kita harus realistis. Target pertumbuhan ekonomi di APBN-P 2015 sepertinya sulit terwujud. Dengan asumsi Fed Rate naik pada September mendatang, ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 4,8-4,9% pada tahun ini. Tapi, realisasi pertumbuhan sebesar itu tak terlalu buruk di tengah gejolak dunia,” ujar mantan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi ini.

Dia menambahkan, Indonesia sudah pernah melewati masa-masa sulit seperti saat ini. Saat krisis subprime mortgage meledak di tahun 2008, ekonomi RI pada tahun 2009 hanya tumbuh 4,5%. Namun, setahun kemudian, ekonomi RI mampu tumbuh 6,1% seiring fundamental ekonomi yang terjaga baik.

“Sekarang, yang harus dibangun adalah optimisme. Krisis akan segera berlalu. Meski melambat, fundamental ekonomi harus dijaga. Cadangan devisa, inflasi harus terjaga baik. OJK baru saja merilis data kredit yang belum ditarik meningkat menjadi lebih dari Rp 1.100 triliun. Ini harus menjadi perhatian,” katanya.

Bank Sentral AS menilai, kondisi perekonomian AS sudah mendekati titik untuk dapat meningkatkan suku bunga. Dalam risalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 28-29 Juli, para pejabat The Fed mempertimbangkan pelemahan di pasar tenaga kerja dan perlambatan ekonomi Tiongkok dalam menaikkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya dalam lebih dari 9 tahun.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved