Management Editor's Choice Strategy

Duet Bima-Era Mengembangkan Warisan Iwan Tirta

Duet Bima-Era Mengembangkan Warisan Iwan Tirta

Kepergian Iwan Tirta tiga tahun lalu mengejutkan pelaku industri fashion Tanah Air. Sang Maestro Batik Klasik itu akhirnya tutup usia setelah berjuang melawan penyakit komplikasi. Kepergian Iwan sontak membuat bisnisnya terguncang. Rekan bisnisnya terkejut dan tidak mengira sang empunya merek pergi begitu cepat.

Jasad Iwan memang sudah tidak ada. Namun karyanya masih tetap dikagumi. Pria bernama asli Nusjirwan Tirtaamidjaja, ini hanya meninggalkan legacy yang menjadi roh bagi generasi penerusnya. “Ia pergi meninggalkan DNA,” singkat Johannes Bima, Chief Executice Officer Iwan Tirta Private Collection.

Pesimisme pasar bahwa merek Iwan Tirta akan tenggelam akhirnya terpatahkan. Buktinya setelah tiga tahun berlalu, merek ini semakin berkibar. Di tangan profesional muda, Johannes Bima dan senior desianer, Era Soekamto, merek itu menjelma menjadi barang mewah yang sakral dan berseni tinggi. Apa kunci suksesnya?

Latarbelakang yang berbeda menjadi senjata duo profesional ini. Kekuatan Johannes dalam melihat peluang bisnis, disatukan dengan kemampuan Era dalam mendisain menjadi kolaborasi yang ideal.

Bagaimana dua profesional ini berkolaborasi?. Apa saja inovasi dan gebrakan mereka?. Di sela-sela kesibukan mereka, reporter SWA, Ario Fajar, mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Johannes dan Era di Galeri Iwan Tirta, Senayan City, Jakarta. Berikut nukilannya:

Koleksi batik Iwan Tirta

Bisa dijelaskan, bagaimana prosesnya sehingga Anda bisa mengelola merek Iwan Tirta?

Johannes: Kami bergabung dengan Iwan Tirta sejak satu tahun lalu. Kami adalah profesional di dua bidang yang berbeda yakni bisnis dan fashion. Pada tahun 2006, ada grup investor yang menjalin kerjasama dengan alhamarhum Iwan Tirta. Sebelum tahun 2012, bisnis ini masih dikelola mereka sendiri. Namun , sepeninggalnya Iwan dan memasuki tahun 2012, mereka merasa bahwa bisnis atau merek ini harus dikelola oleh profesional. Maka dipilihlah kami berdua.

Apakah langsung mengambil alih pimpinan?

Johannes: Kalau saya sebelumnya menjabat sebagai Chief Marketing and Sales Officer. Kemudian saya dipercaya sebagai CEO pada tahun ini dikarenakan CEO sebelumnya menjabat sebagai komisaris. Sedangkan Era saat ini menjabat sebagai Direktur Kreatif dan product desainer.

Apa alasan investor menarik profesional dari luar?

Johannes: Kepergian Iwan sangat mengejutkan manajemen. Bahkan mereka tidak mengira Iwan pergi secepat itu. Almarhum meninggalkan banyak pesan agar bisnis yang telah berjalan terus dikembangkan.

Pemegang saham ingin bisnis yang telah dirintis oleh Iwan harus dijalankan oleh ekspertis atau profesional yang mengerti bisnis dan desain. Maka dikawinkanlah dua keahlian. Yang mereka cari adalah profesional bisnis yang mengapresiasi karya seni, dan desainer yang mengerti soal kepentingan bisnis.

Berarti, saat ini kepemilikan sahamnya dimiliki seluruhnya oleh investor?

Johannes: Tidak. Almarhum masih memiliki saham. Namun, kami tidak bisa menjelaskannya lebih detail.

Sebelumnya Anda berkarier di mana?

Johannes : Saya sudah lama berkecimpung di industri FMCG, Ritel. Saya mengelola merek Green Sands, kacamata Oakley dan Oke Shop.

Era : Saya mengurusi merek Urban Crew dan Era Soekamto.

Apakah Anda sempat bertemu dengan Iwan Tirta?

Johannes: Saya belum pernah bertemu. Saya hanya tahu merek, karya dan legacy-nya.

Era : Sebagai orang yang terjun di bidang yang sama, saya sangat mengagumi karya-karyanya.

Setelah duduk diposisi strategis, apa gebrakan Anda berdua?

Johannes : Dari sisi bisnis termasuk operasional, kalau dulu almarhum mengerjakan setiap karyanya sendiri dengan rentang waktu yang sangat lama. Maka kini, kami investasikan perusahaan berupa manajemen yang solid agar kinerjanya semakin gesit. Kami mulai dari artis/perajin batik binaan.

Seperti apa contohnya? Apakah inovasi diteknologi?

Johannes: Kami tidak berinvestasi di teknologi. Semua karya kami hampir 90% adalah buatan tangan manusia. Itu juga yang menjadi ciri khas merek ini. Kami sekarang membina 500 perajin batik di lima sentra seperti di Pekalongan dan Jakarta. Hasilnya, produktifitas bisa meningkat. Jika dulu almarhum hanya mampu memproduksi 10-20 helai karya setiap bulan, maka kini bisa ratusan helai, meskipun pengerjaannya dilakukan berbulan-bulan.

Kalau dari sisi desain, adakah ada perubahan atau pembaharuan?

Era: Almarhum meninggalkan identitas merek yang sangat jelas. DNA merek yang ia tinggalkan benar-benar jelas dan sangat membantu kami untuk meneruskan semua karya-karyanya. Contohnya, dia mendokumentasikan 10.000 desain/gambar dalam sebuah buku. Dari situlah saya meneruskan apa yang telah ditinggalkan oleh beliau. Namun dari 10.000 desain yang ia hasilkan, belum semuanya kami implementasikan karena saking banyaknya karya yang tinggalkan.

Apakah dengan adanya investasi-investasi tersebut akan merubah citra merek dari luxury ke komoditas?

Johannes: Tidak sama sekali. Kami adalah luxury brand, bukan merek mass production. Untuk mengerjakan satu karya pun dibutuhkan waktu berbulan-bulan. Penambahan SDM hanya untuk meningkatkan produksi tanpa bermaksud untuk menjadikan merek ini sebagai mass production product. Salah satu tantangan di sini adalah menjaga ekslusifitas merek Iwan Tirta sebagai merek lux. Dan itu hal yang tidak mudah.

Sejauh ini perkembangan bisnisnya seperti apa?

Johannes: Sangat pesat. Sejak tahun 2009, merek ini berkembang cepat sekali. Jika sebelumnya hanya ada satu galeri, hingga tahun itu bertambah menjadi lima galeri. Dan tahun ini akan menjadi delapan galeri. Bisnis tumbuh double digit setiap tahun. Penjualan pun semakin meningkat yakni mencapai ratusan potong setiap bulan.

Galerinya di mana saja?

Johannes: Di Jalan Wijaya, Plaza Indonesia, Kemang, PP, Senayan City, PS, dan Hotel Shangrila.

Apakah Anda diberi kebebasan dalam menjalankan bisnis?

Johannes: Mereka telah mempercayakan kami untuk mengelola bisnis. Otomatis kebebasan pun diberikan guna mengembangkan bisnis agar maju lagi.

Era: Kalau dari sisi desain, Almarhum memberikan clue yang sangat jelas, sehingga kami sudah tahu pakem-pakemnya. Ini sudah menjadi legacy sejak tahun 1960. Beliau begitu rapi dalam mengelola brand dan mendokumentasikan setiap karyanya. Merek ini sudah memiliki potisioning yang jelas. Singkatnya, beliau meninggalkan DNA yang jelas dan kuat.

Seperti apa karya yang ditinggalkannya?

Era: Ada enam kategori. Umumnya setiap desain menceritakan perjalanan sejarah Indonesia dan proses asimilasi. Misalnya, dengan bangsa Belanda, Vietnam, Cina, Persia dan lain-lain.

Apa salah satu pakem atau legacy yang ia tinggalkan?

Era: Setiap batik memiliki cerita dan filosofi. Beliau ingin batik sebagai kebanggaan orang Indonesia, beliau ingin agar kita bukan jadi warga negara kedua. Beliau berharap, orang yang memakai batik bukan hanya bangga, tetapi mengerti story yang sebenarnya.

Kami ingin seperti merek-merek internasional. Sebut saja: LV dari Prancis yang dekat dengan Kerajaan, Gucci dengan Monaco. Nah, Iwan Tirta akan menjadi merek yang seperti itu, yang khas Indonesia. Maka dari itu kami punya campagne yakni Royal Wisdom. Artinya, bagaimana mengedukasi masyarakat bahwa batik memiliki nilai cerita.

Apa maksud diubahnya nama Iwan Tirta menjadi Iwan Tirta Private Collection?

Johannes: Hal itu dilakukan karena Iwan Tirta melahirkan banyak karya yang belum dipublikasi. Inilah karya-karya pribadinya yang masih akan terus berkibar.

Berarti tugas Anda hanya melanjutkan apa yang ia buat sebelumnya?

Era: Memang benar kita melanjutkan visi dan misi beliau. Tapi tentu semuanya harus disertai dengan inovasi. Dari segi fashion misalnya, saya ciptakan cutting yang sesuai dengan pasar. Kami berharap, akan banyak lagi konsumen muda untuk merek ini.

Duet Era Soekamto dan Johannes Bima

Mencoba menarik segmen baru?

Johannes : Kenapa tidak?. Selama ini pelanggan kami adalah mereka yang berusia di atas 35 tahun dan mapan. Kami ingin merangkul usia muda sekitar 25 tahun yang memiliki kecintaan dengan batik, profesional, businessman, dan mapan.

Untuk menarik segmen ini memang tidak mudah. Perlu edukasi. Maka dari itu, biasanya kami mengundang beberapa orang untuk merasakan sendiri bagaimana melihat pembuatan batik Iwan Tirta.

Apa strategi untuk memperluas pasar, baik dari sisi marketing ataupun desain?

Johannes: Pertama, membuka akses yakni dengan membangun lebih banyak galeri sehingga pelanggan kami bisa dengan mudah mendapatkan produk yang diinginkannya. Kedua, membina hubungan baik dengan perajin. Mereka adalah aset kami, sehingga menjaga hubungan adalah hal mutlak. Ketiga, kami mendekatkan diri dengan komunitas. Misalnya,mengundang 20 orang, baik pelanggan dan calon pelanggan untuk merasakan dan tahu merek ini.

Kami ini bukan merek komoditas, sehingga cara menjual dan memperkenalkanya pun berbeda. Kami ingin pelanggan merasakan experince terhadap produk kami. Itulah yang membedakan barang biasa dengan barang luxury. Ada perbedaan, kebanggaan, dan kegigihan untuk mendapatkannya.

Kami juga tidak menjual produk melalui online. Kenapa? karena misi kami adalah menciptakan brand experience. Kami pun tidak pernah beriklan di media massa. Barang yang lux lebih rajin mendekatkan diri ke komunitas ketimbang jualan iklan di media massa. Fashion show juga dikurangi. Kini hanya tiga kali dalam setahun dan event-event kecil lainnya. Untuk pasar luar negeri juga belum giat betul, namun ada promosi kecil-kecilan. Misalnya ke Spanyol. Intinya, kami melakukan pendekatan “personal touch”.

Era: Dari segi desain Iwan Tirta tidak memiliki kompetitior. Pecinta batik akan tahu mana produk Iwan Tirta, mana yang bukan. Jadi,kami tidak merasa ada pesaing. Lagi pula, merek kami berada di atas yakni merek luxury. Segmennya pun berbeda. Harga yang dibanderol juga berbeda sekitar paling murah Rp 3 juta per potong.

Apakah akan ekspansi ke luar negeri?

Johannes: Itu pasti. Tapi kami saat ini lebih fokus untuk pasar domestik, khususnya Jakarta. Menurut saya, pride-nya masih sangat besar di Jakarta dibandingkan kota lain. Alasan lain kenapa kami ingin fokus di Jakarta dan belum ke luar kota atau luar negeri, karena kami ingin memastikan standar yang mumpuni.

Adakah perbedaan kepentingan antara bisnis dan karya seni?

Era: Itu yang menarik dari kami berdua. Perdebatan pasti ada. Maklum, kami berasal dari background yang berbeda. Tapi kondisi itu bukan jadi masalah besar karena kami selalu menemukan jalan keluar. Karena pemegang saham mencari profesional bisnis yang mengerti seni, dan desainer yang paham kebutuhan bisnis.

Sebagai One Man Show, yang mendirikan dan membesarkan merek, tentu nyawa dan karya Iwan Tirta tidak bisa lepas. Apalagi bagi pelanggan setia. Apakah ada diantara mereka yang pindah ke merek lain atau bagaimana agar merek ini besar karena manajemen bukan karena nama satu orang?

Johannes: Itu lah yang menjadi tantangan kami sekarang dan ke depannya. Saya pernah memikirkan hal itu. Pasalnya, nama dan pengaruh almarhum sangat kuat sehingga ada ketakutan akan kehilangan penggemar. Namun, karena beliau sudah meninggalkan legacy, dokumentasi, dan standar, kami bisa menjawab tantangan itu. Buktinya, hingga saat ini pelanggan kami semakin bertambah. Kalau pun ada, pelanggan setia itu hanya memberikan input dan saran yang membangun. Kuncinya, kami sudah dibekali DNA kuat dan jelas.

Apa rencana ke depannya?

Johannes: Kami sedang menciptakan portofolio baru yakni membuat furniture yang bekerjasama dengan desainer terkenal. Tahun depan kami targetkan akan ada 10-12 galeri. Sedangkan ambisi kami adalah bisa membawa batik sebagai merek yang mewakili Indonesia, mampu diapresiasi, dan menjadi merek luxury. Kami percaya, lima tahun lagi kita akan menjadi merek seperti itu.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved